Menghadapi ekspresi kegiranganku, senyum Ruxue samar. Ia berkata: “Kau tahu Benming Gu-ku sudah hilang. Beberapa tahun lalu saat nenek buyutku pergi, dia meninggalkan ulat muda untukku. Baru setelah kondisi tubuhku pulih, Dàwū yang memberitahuku. Sebelumnya aku tak tahu.”
“Ruxue kembali memiliki Benming Gu, ini memang hal yang patut disyukuri. Tapi aku bingung, kutanyakan: 'Ruxue, apa hubungan Benming Gu ini dengan rencanamu ikut ke hutan tua timur laut bersamaku?'”
Ruxue merapikan rambutnya dengan lembar, lalu berkata datar: "Bahaya di hutan tua sangat banyak. Kalian bisa waspada pada binatang buas, hantu dan siluman gunung, tapi bisakah mengantisipasi berbagai jenis serangga? Kalian juga bukan pemburu berpengalaman atau pengumpul obat... Selain itu, Benming Gu-ku masih ulat muda. Membesarkannya sulit, butuh banyak bahan. Hutan tua timur laut kaya hasil alam, aku perlu mencari bahan-bahan disana."
"Bagus! Sungguh harus! Ya, harus ikut!" Aku terlalu gembira sampai bicaranya kacau-balau, intinya Ruxue wajib ikut.
Kuhargai setiap detik bersamanya! Meski dalam bahaya, aku ingin tetap di sisinya. Tentu, akan kujaga nyawanya dengan nyawaku sendiri.
Tapi sikapku yang terlalu gamblang ini membuat Ruxue tak tahan tersenyum. Aku paling suka lihat senyumannya, cerah menyentuh hati. Akhirnya tak kuasa memeluknya perlahan.
Tubuh Ruxue bergetar halus, bisiknya lembut: "Cheng Yi, agak berlebihan."
"Tidak, jangan bergerak. Malam ini, biarkan aku memelukmu sebentar." Kubenamkan wajah di rambutnya, tekanan yang terpendam terlalu lama hanya bisa terobati dengan pelukan ini.
Akhirnya, Ruxue tetap tidak bergerak, bersandar lembut padaku, membiarkanku memeluknya.
Langit, cahaya bulan seperti air...
Setelah menyelesaikan urusan Ai Lin, aku harus meninggalkan Yueyan Miao Zhai. Aku dan Ruxue sudah berjanji, begitu aku berangkat ke hutan tua timur laut, aku akan menjemputnya dulu di sini. Sebelum itu, masih ada beberapa urusan kecil yang harus kuselesaikan, semuanya terkait transaksi di pasar hantu.
Kukira ini akan cepat selesai, tapi hasilnya di luar perkiraanku. Ini cerita belakangan, tak usah dibahas dulu.
Dalam rencanaku, urusan harus dimulai dari yang mudah ke sulit. Pertama aku akan menyelesaikan masalah fengshui keturunan yang disebut nenek itu, lalu mengurus masalah penerusan ilmu pejabat tengkorak...
Tapi sebelum semua itu, aku harus pulang ke rumah dulu. Rindu keluarga, apalagi Liu Chunyan sebentar lagi melahirkan.
Di bandara, Surou yang menjemputku. Setelah beberapa waktu tak bertemu, si nak ini malah kurusan. Ini 'peristiwa aneh' yang belum pernah terjadi selama puluhan tahun kami kenal, lebih mengejutkan daripada orang biasa melihat hantu.
Melihatku dan Huigen keluar, Surou langsung menghampiri. Belum sempat kutanya kenapa dia kurusan, dia sudah berteriak: "San Wa'er, kau main dunia hitam di Tianjin ya? Pulang bawa anak buah preman?"
Begitu Surou selesai bicara, dagunya ditepuk Huigen. Surou tertegun, lalu berteriak: "Dasar preman kecil, cari pukul ya?"
"Tentu saja, Surou tidak akan benar-benar memukul orang yang mengikuti di sampingku, tapi dia paling benci jika bagian kepala mana pun disentuh orang, pasti akan langsung kambuh."
Di sisi lain, Huigen sudah melepas kacamata hitamnya, berkedip-kedip matanya yang besar memandang Surou dengan sedih, berkata: "Paman Surou, dua tahun tak bertemu, baru ketemu langsung mau pukul gua?"
"Gua..." Surou terdiam, mungkin citra 'kekinian' Huigen ini membuatnya sama sepertiku sulit menerima, lama baru bereaksi lalu mencubit pipi Huigen, berkata: "Ayo, Paman ajak beli baju! Dasar anak kecil, menderita sampai pakai baju seperti ini?"
Sepanjang jalan tertawa riang keluar bandara, di dalam mobil kutanyakan alasan Surou kurus, dia bilang Liu Chunyan sebentar lagi melahirkan, dia yang rawat langsung pasti kurus!
"Urusan anak penting, tak percaya kalau diurus orang. Belakangan perusahaan kuserahkan ke dua wakil direktur, hanya keputusan penting saja yang dilaporkan." Surou terus mengoceh curhat bahagia padaku.
"Bertahun-tahun sudah, hubunganmu dengan Liu Chunyan tetap harmonis." Entah kapan bisa seberuntung Surou, jadi kukomentar lirih.
"Ah, ngomong apa! Hubungan kita juga tetap baik bertahun-tahun! Lihat, urusan perusahaan bisa kutunda, tapi kalau kamu pulang pasti ku jemput." Surou berkata sambil menyetir.
“Nanti, antarkan aku sampai rumah saja, lalu buru-buru jagain istri adikmu. Aku mau nyetir dulu ke rumah orang tua saya, nemenin mereka dua hari, terus nemenin kamu nunggu anak laki-lakimu lahir.” Aku bersandar di sandaran kursi sambil berkata.
“Oke, emang sudah waktunya kamu jenguk Paman dan Tante.” Sambil bicara, Surou merogoh saku dan mengeluarkan setumpuk uang, “Beliin sesuatu buat Paman dan Tante, sebagai tanda terima kasihku. Aku sibuk banget akhir-akhir ini, nggak sempat beliin atau dateng sendiri.”
Aku nggak basa-basi, langsung terima uang itu. Hubunganku dan Surou sekarang udah kayak gini. Setiap ketemu orang tuanya, aku juga pasti kasih sesuatu. Ini bukan urusan hutang budi, murni bentuk perhatian ke orang tua masing-masing.
Kalau anak Surou lahir, pasti orang tua saya bakal dateng. Surou juga bilang, waktu itu Qinhuai sama Ruyue juga mau datang. Si nak ini udah ngasih tau tanggal perkiraan lahir istrinya ke mana-mana!
Soal beliin baju buat Huigen, jelas Surou nggak ada waktu. Akhirnya uang itu berubah jadi baju ala ‘bajingan’ yang sekarang dipake Huigen.
Aku juga nggak ngerti selera sama baju-baju penuh logam begini. Biarin aja deh si nak ini. Di bawah pengaruh Jue Yuan, mana mungkin selera estetikanya normal?
Karena akan menemui orang tua saya, Huigen si nak ini tak berani kurang ajar. Ia mengganti pakaian rapi dan ikutku berangkat. Hal ini mengingatkanku pada diriku dahulu kala, yang bergaya 'Cui Jian' bersama Qinhuai di luar. Saat Guruku kembali, aku harus cepat-cepat berganti pakaian mahasiswa baik.
Tahun-tahun itu seharusnya sudah sangat lama berlalu, namun bayangan Guruku yang menungguku sambil minum teh di rumah tradisional Siheyuan masih jelas terukir.
Sebelum berangkat, aku menghubungi orang tua. Mereka kembali tinggal di desa kecil tempat kami dulu, seperti setiap musim panas. Alasannya hanya: kota terlalu bising, musim panas terlalu panas, dan mereka tak tahan bau AC.
Apakah kehidupan semakin membaik? Atau justru semakin menyiksa diri? Dapatkah kemewahan lampu neon dan kemeriahan benar-benar mengalahkan keasrian hijau pegunungan dan air jernih? Ini bukan pertanyaan yang bisa kujawab, melainkan pilihan seluruh umat manusia.
Saat tiba di desa kecil yang familiar, langit sudah dipenuhi bintang. Bertahun-tahun berlalu, desa terpencil ini mengalami perubahan besar.
Jalan beton rapi telah dibangun. Rumah-rumah kecil itu kini tertata rapi dengan dana negara. Tapi pegunungan dan sawah di lereng tak banyak berubah. Memandang desa ini, kucoba menahan nestapa – takut teringat Guruku. Orang tuaku datang setiap tahun, tapi aku selalu menghindar. Kali ini, karena akan lama pergi, aku harus datang...
"Mendapat kabar aku pulang, orang tua saya sudah menunggu di pintu desa sejak pagi. Sekarang bahkan ada halte bus di sini. Dari kejauhan kulihat siluet mereka, hati ini terasa tersentuh oleh keakraban yang tak terungkap. Bertahun-tahun lamanya, perasaan ini tak pernah kulupakan.
Menghentikan gerbong kereta di depan orang tua, aku dan Huigen buru-buru turun. Kebahagiaan telah membuat ibu saya sekarang tampak lebih gemuk, berpakaian cukup modis seperti nenek yang gaya. Waktu mengalir seperti air, sekilas usiaku 32 tahun, ibu hampir 60.
Baru turun dari gerbong, ibu langsung menyambutku, memeluk erat sambil tertawa riang: "Anak sulungku pulang."
Setelah memelukku, ia beralih memeluk Huigen sambil mencubit pipinya, berbinar-binar: "Huigen, anak ganteng."
Huigen langsung sumringang. Ayahku batuk-batuk kecil di samping, bergumam kesal: "Nenek itu, apaan sih. Nonton drama Hong Kong terus, seharian ngomong kata-kata aneh. Benar-benar tidak tahu menjaga harga diri di usia tua!"
"Kau bilang apa? Berani kau ulangi lagi?" Ibu tak mau mengalah.
Ayahku mengeluarkan suara "hng" seperti ayam jago yang sombong, sama sekali tak menghiraukan ibu. Dengan tangan terkait di punggung, ia membelakangi dan berbalik pergi beberapa langkah—tapi jelas tak berani mengulang omongan tadi! Biasanya pasti dia sudah minta maaf, tapi di depan anak lelaki, harga diri harus dijaga.
Aku merasa lucu, menarik Ayahku kembali dan berkata, “Ayah, mau ke mana? Kita naik mobil pulang! Kali ini aku bawain rokok pilihan dan arak enak.”
“Rokok apa? Aku nggak suai Zhonghua, nggak cocok sama aromanya...”
“Sudahlah, kebiasaan Ayah mana mungkin anak laki-lakinya nggak tahu?”
