Setelah berteriak kalimat itu, Xiao Bei langsung masuk ke dalam keadaan bengong. Seketika ribuan pikiran berkecamuk di kepala saya—apakah perhitungan Xiao Bei salah? Bahkan dia sampai kena? Ini pikiran pertama saya! Selanjutnya, pikiran mulai kacau...
Prioritas utama adalah menyelamatkan Xiao Bei, tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain. Tapi sebelum sempat memeriksa masalah Xiao Bei, Zhao Hong berteriak lagi, maju selangkah dan tiba-tiba berkelahi dengan udara, bahkan dengan emosi mengeluarkan senjata...
Lao Hui dan Mas Yuan Yi segera berusaha menghentikannya, tak sempat memperhatikan sosok itu. Sementara aku dan Gao Ning memeriksa kondisi Xiao Bei. Hanya Huigen yang berteriak: "Ada apa ini? Menurutku ini cuma ruang kosong!"
Ucapan Huigen ini membuatku menoleh melihat sosok itu. Hanya sekali pandang, aku langsung terpaku. Bag...bagaimana mungkin? Apakah itu dia?
Jubah hijau kehitaman, rambut panjang terurai, wajah pucat cantik tapi dipenuhi kesedihan yang membuatnya terdistorsi—Li Fengxian!
Bukankah rohnya sudah hancur lebur? Kenapa Li Fengxian muncul di sini? Pikiranku seketika kacau. Tiba-tiba kusadari aku tidak lagi di depan gudang, tapi berada di sebuah ruangan yang familiar...
"Kamar ini pernah terus menghantui pikiranku, bukankah ini rumah tempat tinggalku semasa kecil? Jika ingatanku tak salah, ini kamar tempat Kakak sulung dan Er Jie tinggal bersama. Cat putih di dinding sebelah sana sudah mengelupas, di kaki ranjang ada gambar orang kecil bertopi Tentara Merah hasil coretanku... Semuanya terasa begitu familiar, tiba-tiba aku merasa linglung."
"San Wa'er, ngapain kau berdiam di situ? Bawa ini keluar. Kondisi Er Mei tidak baik, kau harus lebih mengerti, jangan membuat orang tua khawatir!" Suara yang familiar memasuki telingaku. Kulihat ke atas, itu pasti Kakak sulungku!
Hanya saja di dunia nyata, Kakak sulungku sudah berusia paruh baya dengan garis-garis halus di wajah yang menambah pesak kematangan. Namun sekarang ia terlihat begitu muda, polos, dengan kuncir hitam berkilau, pakaian sederhana, dan wajah cemas memperhatikan Er Mei - semua bertumpuk dengan ingatanku tentang dia!
Tidak, ini benar-benar Kakak sulung! Hari-hari saling mendukung dalam kesulitan yang pernah kami jalani sebagai keluarga sederhana tiba-tiba muncul di benak. Kukira takkan pernah bisa kembali ke masa itu, tapi kini aku ada di sini. Seketika, kepalaku semakin pusing...
"Masih diam saja?" Kakak sulung mendekat, menyodok mangkuk ke tanganku lalu berbalik membersihkan wajah Er Mei dengan handuk basah.
Aku... Aku selalu merasa ada sesuatu yang tidak beres, tapi sekejap kemudian aku linglung, apa yang harus kulakukan? Bukankah harus meletakkan mangkok di dapur? Aku benar-benar tidak mengerti, seluruh keluarga cemas memikirkan Er Jie, sementara aku di sini melayang-layang tak keruan.
Sambil berpikir, aku berbalik menuju dapur untuk menaruh mangkok, tapi melihat Ayah dan Ibu masuk dengan wajah cemas. Hidungku tiba-tiba terasa pedih, sebuah pikiran tak terbendung muncul: Orang tuaku masih sangat muda di masa ini!
Aku tak tahu mengapa terpikir seperti itu. Seketika kuletakkan mangkok, kusambar tubuh Ibu dan menangis histeris, berulang kali memanggil: "Ibu, Ibu..."
Ibu saya awalnya bingung memandangiku, tapi akhirnya tanpa sadar memeluk kepalaku, berkata dengan suara sendu: "Kenapa anak ini tiba-tiba begini?"
Aku juga tak mengerti kenapa begini? Bukankah wajar saja orang tua masih muda? Mengapa aku menangis?
Tiba-tiba Ayahku menepuk-nepuk kepalaku: "Sedih karena Er Jie, ya? Sudahlah, Master Jiang sebentar lagi datang. Jangan begini, nanti Ibu semakin sedih. Lupa apa kata Ayah? Kau juga pria dewasa di keluarga ini!"
Aku tersedu-sedu sambil mengusap air mata. Sebenarnya ada perasaan ganjil yang terus menghantui hatiku, tapi aku tak bisa mengingat apa itu!
Di bawah atap, aku dan Ayah berjongkok di sini, menatap pintu gerbang, dengan rasa keputusasaan di hati. Kondisi Er Jie semakin parah, bahkan makanan cair pun sulit ditelan. Waktu sadarnya semakin sedikit, tapi kenapa Guru Jiang yang Ayah sebut-sebut belum juga datang?
Sebenarnya aku tak tahu apa yang kupikirkan. Aku merasa punya kesan familiar terhadap orang yang akan datang ini. Apakah aku mengenalnya?
Aku memegangi kepala tapi tak kunjung paham. Tak ada citra jelas di benakku yang membuatku merasa familiar dengan orang yang akan datang ini!
Di saat yang sama, ketukan pintu terdengar. Ayah berlari kegirangan membukakan pintu. Tiba-tiba aku merasa takut. Takut apa? Takut melihat sesuatu? Meski begitu, aku tetap mengikuti langkah Ayah dari belakang.
Waktu membuka pintu terasa seperti 10.000 tahun lamanya. Suara 'kreek' pintu kayu yang familiar bergema panjang di kepalaku. Kuangkat pandanganku, terlihat seorang pria berwajah tegas dengan rambut dan jenggot yang acak-acakan membuatnya terlihat mesum. Usianya sulit ditebak, mungkin setengah baya.
Pakaiannya berantakan bahkan sedikit kotor. Seluruh penampilannya tidak rapi, sama sekali tidak menimbulkan kesan terpercaya.
"Tapi tiba-tiba air mataku mengalir deras, tenggorokanku tercekat sampai tak bisa bicara. Dia terlalu melekat dalam ingatanku. Hanya dengan sekali pandang, aku seolah melintasi ruang-waktu. Aku tahu setelah ini dia akan memukul pantatku, tahu dalam beberapa hari aku akan bergabung sebagai anggota seperguruan, tahu tak lama lagi aku akan mulai sial mengurus masak dan cuci baju..."
Tapi masa-masa bersamanya membuatku paham, meski setelah ini aku akan 'ditimpa banyak musibah', aku tetap ingin mengalaminya sekali lagi!
"Shi..." Aku berjalan mendekatinya sambil menangis, sementara dia memandangiku dengan heran!
Kehadirannya membuatku sadar sedang berada dalam ilusi. Seperti pernah kukatakan, dia hampir menjadi obsesi dalam hidupku. Hanya dengan sekali pandang, semua ingatan langsung kembali. Masih belum sadarkah ini cuma khayalan?
Tapi aku tak mau terbangun. Kuterus melangkah mendekatinya, suara tersedu-sedu akhirnya berhasil menyebut utuh: "Shi... Guruku...!"
Lalu aku berlari menghampiri, ingin menggenggamnya, ingin berteriak: "Puluhan tahun lagi nanti, jangan pergi, oke?"
Tapi tiba-tiba semua pemandangan di hadapanku hancur berkeping. Sekejap kemudian, aku sudah kembali di depan pintu gudang gelap itu. Di mana ada kakak perempuan? Di mana ada orang tua? Di mana ada Guruku?
Kuraba wajahku yang basah oleh air mata, melihat sekeliling yang sudah dikerumuni orang-orang.
Lao Hui berkata padaku dengan rasa takut yang tertahan: "Itu adalah Mei Ling, Mei Ling yang sangat kuat. Dia bisa membangkitkan ingatan paling menakutkan dan paling hangat dalam diri orang. Jika bukan karena Huigen selalu sadar, mungkin kami semua akan terjebak dalam hukum spiritual."
Mei Ling? Ini adalah jenis hantu yang sangat ahli dalam menipu hati manusia dan membuat orang terperangkap dalam ilusi. Jika dilatih secara intensif, kekuatannya bahkan melebihi zombie dengan daya penghancur yang mengejutkan!
Lagi pula, sudah berapa lama sejak kejadian itu? Aku pernah tahu ada Mei Ling di Makam Hantu Kelaparan, sayangnya tidak pernah mengalami sendiri atau melihat langsung. Tak kusangka bertahun-tahun kemudian, di tempat ini aku bertemu lagi dengan Mei Ling!
Hal-hal di dunia fana ini benar-benar tak terduga. Seperti tahun lalu aku tak bertemu dengannya di jalan sempit, kini tetap harus berjumpa. Seperti jodoh, mungkin hari ini kita terlewat, tapi siapa tahu esok apakah kita akan bersinggungan, saling tersenyum, lalu berpisah?
Huigen ini sungguh luar biasa, pantas menjadi murid yang dicari-cari Hui Dàye selama bertahun-tahun. Dia memiliki luka hati sepertiku, tapi tanpa rasa takut. Dengan keberanian dan kematangan mental yang utuh, tentu Mei Ling tak berpengaruh besar padanya.
Aku tak bisa. Aku terlalu penuh ketakutan. Rupanya perasaan ketika Er Jie hampir mati dulu adalah hal paling kutakuti dalam hatiku! Karena itu pertama kalinya aku panik kehilangan orang penting!
“Cheng Yi, aku jelas melihat matamu sempat sadar sejenak, tapi sepertinya kau sendiri tak mau bangun, hanya berdiri di sana menangis tersedu-sedu?” Yang bertanya adalah Mas Yuan Yi.
Tapi, aku tak tahu bagaimana menjawab. Mungkin ketakutan kalian justru menjadi pelipur hatiku. Bahkan seolah aku sengaja terbenam dalam kenangan dan enggan sadar. Seberapa dalam obsesi ini? Aku tak ingin memikirkannya lagi.
Tanpa alasan, angin bertiup. Aku menghadapi angin, menyalakan sebatang rokok, tetap membisu...
