Langkah demi langkah, akhirnya Jenny sampai di samping motor besinya, satu tangan memegang stang motor...
Jantungku berdebar kencang, tercampur kekecewaan yang menyiksa. Apakah akhirnya Ia akan pergi? Dibandingkan denganku, Yan Yi terlihat tenang luar biasa, seolah sudah mengetahui di manakah batasan diri Jenny. Dia yakin Jenny akan pergi, lalu setelah Ia pergi, dengan leluasa menghajar kami.
Mungkin gudang yang dibakar ini sangat penting baginya, sehingga api kemarahannya telah 'penuh semangat' hingga ingin menguji, memprovokasi batasan diri Jenny.
Sepertinya taruhannya menang.
Menghadapi ketenangannya, yang cemas justru kami. Kukuat pil itu, hampir saja kuminum, tiba-tiba melihat Jenny tidak naik motor, malah mengambil sesuatu dari gerbong kereta lalu berbalik dengan energi dahsyat menghampiri Yan Yi!
Ia tidak berlari, tapi gerakannya luar biasa cepat. Jika diamati, setiap langkahnya melangkah dengan jarak yang tak masuk akal. Ini adalah ilmu lari ringan yang unik, detilnya aku pun tak tahu.
Jangan menganggap teknik lari ringan dalam novel silat terlalu berlebihan. Mereka memang hiperbolis, tapi tidak keterlaluan. Sebenarnya banyak warisan Tiongkok yang hilang, termasuk ilmu lari ringan.
Jelas terlihat Jenny menggunakan ilmu lari ringan ajaib semacam ini!
"Saat Jenny menoleh, hatiku langsung berbunga. Sebelum sempat bereaksi, dia sudah berdiri di depan Yan Yi. Seketika, benda di tangannya menempel di kepala Yan Yi."
Baru sekarang kulihat jelas - yang dipegangnya ternyata senapan laras ganda!
Sungguh... Aku tak bisa mendeskripsikan perasaan ini. Hanya bisa bilang: keterlaluan! Tubuhnya jauh lebih pendek dari Yan Yi, tapi saat mengarahkan senjata ke kepalanya, sikapnya seperti sedang memandang rendah.
"Jenny..." Akhirnya Yan Yi tidak lagi bicara dengan intonasi penyiar berita. Suaranya mulai terdengar geram.
Jenny sama sekali mengabaikannya. Dengan tangan satunya, dia mengeluarkan rokok dari jaket kulit, menyalakannya, lalu menghembuskan asap dengan gaya cool. "Jangan panggil aku Jenny. Panggil Jennifer. Jenny itu panggilan akrab. Kau pikir kita dekat? Seperti kau pikir pantas mendapat penjelasan dariku? Dasar tolol!"
Kami semua tertegun. Bukannya ini wanita karir yang elegan dan rasional? Kenapa sekarang jadi liar dan kurang ajar begini? Apa yang sebenarnya terjadi?
Meski situasi tegang, aku tak bisa menahan diri menepuk jidat. Karena terus terlintang di pikiran: Jangan-jangan si Kakak Jennifer ini benar-benar anggota dunia hitam?
“Kau berani membunuhku?” Suara Yan Yi mendadak dingin. Bersamaan dengan itu, si kecil yang selama ini tergeletak di bahunya tiba-tiba mengaum. Suara itu runcing menusuk telinga, membuat kami semua gemetar tak tertahan.
“Goblok, diamlah kau!” Wajah Jenny kini dipenuhi rasa jengkel. Aura energinya meledak seketika, langsung menghapus pengaruh yang dibawa si kecil. Bahkan makhluk itu yang menanggungnya langsung lesu tak bertenaga.
“Sepandai apapun tenaga dalammu, satu peluru dariku cukup meledakkan kepalamu! Berani taruhan aku tidak akan membunuhmu?” Jenny menyampingkan pandangan ke Yan Yi sambil menjepit rokok di bibir. Ekspresinya persis seperti gadis preman yang sudah lama berkeliaran di dunia persilatan.
“Bunuh aku, akan terjadi gempa. Percaya tidak?” Suara Yan Yi semakin membeku. Mustahil monster tua sepertinya yang punya banyak cadangan bisa mati semudah itu.
Jenny menjatuhkan rokok yang baru dihisap dua kali, menginjaknya habis dengan sepatu bot pendeknya, lalu menghembuskan asap dengan anggun. “Buatku marah, juga akan gempa. Percaya tidak?”
Setelah ucapan itu, keduanya tiba-tiba hening. Di musim panas terik ini, angin misterius mulai berhembus di sekitar mereka - pengaruh aura energi terhadap aliran udara. Persis seperti teknik film, duel antar ahli selalu diiringi angin kencang!
"Ini sebenarnya adegan yang diambil dari kehidupan nyata, menggambarkan Aura Energi seseorang. Tentu saja teknik penyutradaraan film selalu lebih dramatis daripada kenyataan."
Angin bertiup sesekali, tidak membawa sedikitpun kesejukan di malam musim panas yang terik ini, malah justru menambah ketegangan yang luar biasa.
Dentuman di belakang kami semakin keras. Dengan menahan stres, aku berkata pada semua orang: "Ayo kita ke sana! Tempat ini bisa berbahaya kapan saja!"
Dari kejauhan, suara kerumunan mulai terdengar berbarengan dengan sirene polisi. Bukankah polisi biasanya baru muncul setelah segalanya selesai? Kenapa kali ini gerakan mereka begitu cepat? Sungguh membuat hati penuh keraguan.
Tapi kalau dipikir lagi, tak perlu ragu! Karena peristiwa ini menyangkut persaingan antar departemen.
Saat kami bergerak pelan-pelan menuju tempat aman, Yan Yi tiba-tiba membuka mulut: "Mereka datang."
"Jadi di depan umum, kami para orang tua sebaiknya tidak mempermalukan diri. Kau mengerti?" kata Jennifer.
"Apa yang kau inginkan?" Kali ini Yan Yi yang mengajukan pertanyaan yang sama pada Jennifer.
"Biarkan mereka pergi. Anggap saja tak terjadi apa-apa. Aku tak suka basa-basi. Beri jawaban langsung: Setuju atau tidak?" tanya Jennifer.
"Aku memberimu muka..." Suara Yan Yi menyimpan kemarahan yang tertahan.
"Kubilang!" Jennifer terdiam sejenak lalu tiba-tiba berteriak: "Jangan banyak omong!"
"Baik." Yan Yi menjawab singkat lalu berbalik pergi, sambil melontarkan kalimat: "Jennifer, jangan kira aku benar-benar takut padamu."
“Jangan kau pikir kau bisa memelihara si kecil seenaknya di sini dan merusak sekitarnya.” Jenny dengan dingin menyimpan senjata buruan double-barrel-nya!
Yan Yi tiba-tiba menghentikan langkah, berbalik menatap Jenny dengan nada mengejek: “Si kecil? Si kecil mana? Maksudmu yang di pundakku ini? Maaf, ini cuma hantu peliharaanku yang mirip anak kecil, ada masalah?”
“Munafik! Berkeliling membawa tiruan yang tercipta dari energi jahat si kecil, dasar idiot! Yan Yi, lebih baik jangan sampai orang menemukan bukti!” kata Jenny.
“Hahaha...Dia saja?” Yan Yi tiba-tiba menoleh padaku. Ini pertama kalinya dia menatapku langsung. Energinya begitu dahsyat, hampir saja aku mundur, tapi kutahan tegak di tempat dengan punggung lurus.
“Hng... Murid Lao Li memang menyebalkan, seperti Jennifer itu. Kau juga! Di depan pura-pura rasional dan tenang, padahal perempuan gila. Mungkin kegilaan pun bukan wajah aslimu. Tapi bagaimanapun, aku tak takut padamu.” Sambil bicara, Yan Yi sudah masuk ke mobil mewahnya yang segera melesat pergi.
“Sial, dari tadi pengin memaki idiot ini! Setelah memaki, hati jadi plong! Memang gila disuruh berdebat dengannya. Andai bukan karena harus menjaga citra elegan...” Jenny bergumam sendiri sambil berbalik pergi, sama sekali mengabaikanku.
Tapi, kalau aku tidak salah lihat, saat tadi aku berdiri tegak dengan punggung lurus, di matanya jelas terlihat sorotan penghiburan.
"Jen... Kakak sulung Jenny." Entah dari mana keberanianku, tiba-tiba memanggilnya. Tapi begitu bicara, aku langsung menyesal. Bagaimana mungkin memanggil orang tua dengan sebutan "kakak sulung"? Lagipula, bukankah dia sudah bilang? Jangan panggil Jenny kalau tidak akrab.
Ia berbalik dengan muka merah padam, meneriakiku khasnya: "Mau ngomong apalagi? Cepetan! Lihat kelakuan kalian, kotor dan memalukan! Dasar menyebalkan! Dengar ya, ibu tua ini suka cowok ganteng, ngerti? Cowok ganteng! Jangan buang-buang waktuku, aku masih mau merayu cowok!"
Merayu cowok ganteng? Aku membeku. Apa ini candaan atau serius?
Tak berani berlama-lama, kusambung cepat: "Kakak sulung Jenny, terima kasih."
Kukira dia akan kesal, tapi tak disangka ia malah tertawa hehe sambil melambaikan tangan, berbalik pergi tanpa komentar soal panggilan "kakak sulung Jenny" tadi!
Melihat punggungnya, Huigen yang sempat lemah tiba-tiba berteriak kencang: "Kakak sulung Jenny, gua rasa kamu keren banget! Kamu idolaku!"
Jennie mendengar tiba-tiba berbalik, tertawa terbahak-bahak, lalu menatap Huigen sambil berkata: "Biksu kecil ini masih segar, lumayan, tampan juga. Sayang masih terlalu muda, tunggu sepuluh tahun lagi, kau akan sudah matang. Keluarlah dari biara, nanti gua masukkan ke harem gua, hahaha..."
Sambil bicara, Jennie pergi tanpa menoleh, menaiki motor trailnya. Senjata buruan laras ganda ditempelkan di badan motor. Ia mengedipkan mata ke Huigen: "Penampilan Terminator ala gua keren kan?"
"Keren banget!" Kepala Huigen mengangguk-angguk seperti ayam patuk beras.
"Haha..." Jennie tertawa sambil mengenakan helmnya. Deru mesin motor yang sombong menggema, ia pun melesat pergi seperti angin.
Huigen bengong memandangku: "Kak, idolanya tadi sedang menggoda gua ya?"
Aku tak paham sama sekali, hanya bisa menjawab bodoh: "Gua nggak tau." Baru kemudian tersadar, dari mana si nak ini belajar kata 'menggoda'?
Di saat yang sama, mobil polisi pun tiba di lokasi...
