Ya, tak heran aku tidak percaya ini masih ruang bawah tanah yang sama tadi. Semua terasa sunyi mencekam, seolah monster-monster yang tadi berhamburan, aura yin yang dingin, bahkan Lao Hui yang bertarung berlumuran darah hanyalah halusinasiku belaka!
Tapi bagaimana mungkin begitu banyak hal bisa menghilang seketika? Aku tak bisa langsung mencerna ini.
Justru Jiang Yi yang tadi di perjalanan sempat menanyakan kejadiannya secara singkat terlihat sangat tenang. Menghadapi ruang bawah tanah yang sunyi ini, dia hanya berkata datar: "Turun dulu lihat situasi. Kalau sampai mudah dikepung seperti itu, bukan gaya mereka."
Benar juga. Orang-orang ini bahkan bisa bersaing diam-diam dengan departemen negara sebesar itu selama bertahun-tahun. Aneh kalau sampai mudah dikepung.
Maka tak ada yang bertanya lagi. Kami pun mengikuti Jiang Yi menuruni tangga menuju ruang bawah tanah.
Aku ditopang Mas Yuan Yi dan Huigen melewati jalan yang tadi kulewati bersama Lao Hui. Sunyinya membuatku merasa seperti berada dalam mimpi. Seolah-olah kami baru saja syuting film di sini, dan karena terlalu larut dalam peran, sebentar lagi Lao Hui akan muncul menepuk bahuku sambil berkata: "Bro, aktingmu keren banget! Layak dapat piala!"
Tapi setelah masuk ke terowongan, aku sadar semua yang terjadi sebelumnya nyata. Tempat ini memang sunyi, tapi di koridor masih ada potongan anggota tubuh yang tercecer, darah berwarna aneh, bau anyir darah menyengat, bahkan zombie monster yang belum mati sempurna masih menggeliat. Saat melihat kami datang, mereka meronta ingin menerkam dan menyerang kami.
Tiba-tiba aku diliputi ketakutan. Takut melihat mayat Lao Hui tiba-tiba muncul, tapi juga takut tak menemukannya. Tapi tidak, tidak ada Lao Hui! Yang ada hanya kekacauan bekas pertempuran!
Melihat semua ini, aku tak berani membayangkan seberapa sengit pertempuran Lao Hui sampai meninggalkan pemandangan seperti ini. Meski berusaha menghindar, seolah aku bisa melihat seorang pria pernah bertarung habis-habisan di sini, menggunakan tubuhnya untuk menghadang bahaya mengerikan demi membukakan jalan aman bagiku...
Aku tak ingin menangis, itu terlihat lemah. Tapi air mata tak bisa ditahan. Kulihat Xiao Bei seperti orang linglung mengelus dinding dingin itu, tanpa sadar air mata mengalir deras. Saudara-saudara lain juga sama. Melihat pemandangan ini, siapa yang bisa tahan? Pertempuran seperti apa sampai medan perang jadi berdarah-darah begini?
Jiang Yi diam membisu berjalan di depan. Di belakang kami, beberapa orang sibuk menangani zombie-zombie yang masih meronta sambil membersihkan medan perang dengan hati-hati.
Berjalan ke depan jendela kecil, Jiang Yi menjulurkan kepala untuk melihat. Aku yang sensitif menyadari alisnya sedikit berkerut, mungkin saat berdiri di depan jendela kecil merasakan energi jahat dari kolam darah. Meski telah tenang seperti dirinya, tetap ada sedikit gejolak perasaan.
Di depan jendela kecil pun tak terlihat apa-apa. Bagaimanapun juga, setelah pertempuran besar tadi, lampu-lampu telah padam semua. Jiang Yi berdiri di depan jendela kecil selama setengah menit, lalu berkata: "Kita turun. Jika hidup harus melihat orangnya, jika mati harus melihat mayatnya. Turun lihat apakah Lu Fanming itu sudah mati."
Bagaimanapun bawah sana gelap total, sama sekali tak jelas posisi mayat Lu Fanming.
Kami menyusuri tangga turun dalam keheningan. Di sini tak banyak jejak pertempuran. Dengan kemampuan Lao Hui, mustahil dia bisa 'membunuh' sampai ke bawah. Jadi tangga spiral ke bawah cepat kami tempuh hingga ujung, tiba di ruang bawah tanah ini.
Berdiri di ruang bawah tanah, Jiang Yi tak bicara. Orang-orang di belakang kami sibuk menyalakan lampu. Tapi tepat saat itu, kudengar suara mengaum. Sebelum sempat melihat jelas, terasa bayangan hitam menerjang ke arah Jiang Yi.
Jiang Yi tampak tak peduli. Saat itu lampu-lampu di belakang kami mulai menyala redup. Kulihat Jiang Yi dengan santai membuat segel tangan, berteriak "Zhen!", bayangan hitam itu pun menggelepar tak bisa mendekat.
Jiang Yi masih terus mencubit segel tangannya, aku bisa mengenali bahwa itu adalah sihir terkait 'api'. Bagaimanapun, yang menyerang pasti adalah zombie monster. Untuk membunuh makhluk seperti ini sepenuhnya, hanya bisa menggunakan api atau petir. Di ruang bawah tanah ini, jurus petir jelas merupakan mantra yang melelahkan, menggunakan api adalah yang terbaik.
Namun sebelum Jiang Yi menyelesaikan segel tangannya, dia tiba-tiba berhenti. Dengan suara terkejut dia mengeluarkan "Hah?", kemudian disusul helaan napasnya.
Mengapa dia menghela napas? Secara instingtif hatiku berdebar kencang. Sebelum sempat berkata apapun, mataku sudah silau oleh lampu yang tiba-tiba menyala di belakang, refleks kuangkat tangan untuk meneduhkan pandangan.
Tapi sebelum tanganku sempat turun, terdengar teriakan memilukan "Ya Tuhan!" Itu suara Xiao Bei. Kupalingkan kepala bingung ke arahnya, dan kulihat dia berlari seperti orang gila menuju zombie monster itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan mayat hidup itu sambil menangis histeris.
Ada firasat menggelayut di benakku, tapi aku tak mau percaya. Leherku terasa beku, enggan mengangkat kepala untuk melihat jelas. Tapi akhirnya kuangkat juga pandanganku. Saat itu juga, tiba-tiba kurasakan hatiku remuk berkeping-keping, setiap serpihannya dipenuhi kegilaan... Ya, saat itu juga kuyakin diriku telah kehilangan akal!
"Kaos compang-camping, celana pendek legendaris yang jadi ciri khas, sandal jepit yang tinggal sebelah masih menempel di kakinya. Ekspresi wajahnya yang terdistorsi, bahkan dipenuhi jejak darah dan luka—tapi aku tetap langsung mengenalinya: itu Lao Hui, yang baru saja bertarung mati-matian untukku.
Dengan gerakan kaku seperti orang linglung, aku menyentak lengan Mas Yuan Yi dan Huigen yang sedang menyangga tubuhku. Langkah demi langkah, aku mendekati monster zombie itu... bukan, ini Lao Hui. Tanganku bergetar saat kuulurkan, ingin menaruh telapak tangan di bahu Lao Hui. Tapi yang kudapat adalah gigitan ganasnya. Meski tak bisa bergerak, dia masih meronta-rona ingin menggigitku...
"Hati-hati!" Jiang Yi menggenggam lenganku. Tapi dengan gerakan gila, aku melepaskan diri dari peganganannya. Jiang Yi hanya menghela napas, lalu mundur tanpa sepatah kata.
Telapak tangan ini masih menempel di bahu Lao Hui. Aku ingin bicara, tapi tiba-tiba kerongkongan tercekat. Air mata mengalir deras... Tiba-tiba saja, air mata ini tak terbendung!
"Graaa..." Lao Hui menggeram garang. Gigitannya tak sampai, tapi cakar tiba-tiba mencengkram lengan. Kuku tajamnya menusuk dagingku. Tapi aku tak merasakan sakit. Malah kuharap dia mencengkram lebih keras, semakin keras! Biar rasa perih di hati ini tenggelam oleh luka fisik.
Darah mengalir keluar, cairan hangat itu seperti merangsangku. Aku menengadah ke langit dan berteriak: "Takdir langit, bangsat kau!" Ini pertama kalinya aku memaki langit. Seberapapun penderitaan yang kualami sebelumnya, tak pernah kusumpahi takdir. Aku menerima nasib, tahu bahwa takdir adalah aliran sungai yang jalurnya telah ditetapkan. Jangan berharap bisa mengubah arahnya. Jika dipaksa seperti sungai dalam sejarah yang tiba-tiba berbelok, konsekuensinya adalah bencana!
Tapi hari ini aku tak tahan lagi. Harus kusumpahi langit: Mengapa menyiksa seorang heroik seperti ini? Mengubahnya menjadi monster yang dibencinya, apakah ini memang takdirnya?
Rasa sakit yang mencapai puncak membuatku bisu. Aku menatap langit sambil menangis tanpa suara, air mata mengalir sunyi. Di sekelilingku, saudara-saudara yang pernah hidup mati bersamaku kini berkumpul, memeluk monster zombie sambil terisak.
Lao Hui kami peluk erat. Meski meronta-ronta, untuk sementara belum bisa melukai kami. Kecuali cakar yang menusuk lenganku. Kularang yang lain melepaskannya. Jika ini masih bisa menjadi kontak terakhir dengan saudaraku, kusanggup menanggung rasa sakit apapun. Inilah keintiman yang kubrikan untuk saudaraku.
Jiang Yi akhirnya hanya menghela napas. Ia menyuruh orang mulai menyelidiki ruang rahasia ini. Kesedihan yang menusuk saat ini memang tak bisa dihibur dengan kata-kata.
Tak lama kemudian, ada yang melapor: Di ruang bawah tanah ini terdapat terowongan rahasia yang belum diketahui. Mereka meminta instruksi Jiang Yi apakah akan dieksplorasi. Sebelum sempat menjawab, datang laporan lain: Di sudut sana terdapat coretan-coretan tak beraturan.
Tanpa menghibur kami yang berduka, Jiang Yi berjalan pergi. Kami tetap di tempat, seolah terperangkap dalam alam semesta penuh kesedihan, sama sekali tidak bisa merasakan sekeliling, juga tak peduli lagi.
Inikah pelukan terakhir untuk saudara kita sendiri? Meski dia sudah tak mengingat kami, meski jarak antara kami bukan sekadar hidup-mati?
Tak terasa berapa lama waktu berlalu, seseorang datang dan berkata dengan hati-hati di samping kami: "Bos memanggil kalian. Tulisan di sana... mungkin ditinggalkan rekan seperjuangan kalian."
Apa? Aku segera tersadar, apakah Lao Hui meninggalkan surat wasiat?
