Jika kau tahu menghargai petir, kau akan menemukan itu salah satu fenomena alam terindah. Keindahannya bukan kelembutan, juga bukan kedamaian, melainkan keindahan kekuatan yang maskulin. Sekilas pandang saja, hatimu langsung tergetar, jantung seperti mengencang.
Di masa depan saat jaringan informasi telah maju, kau akan mudah menemukan foto-foto petir yang tertangkap kamera. Kau akan merasa petir adalah keindahan yang cocok untuk pria, karena kekuatannya yang maskulin seperti lengan pria, penuh kejantanan. Karena itu ia bisa menjadi pedang hukuman Langit bagi praktisi spiritual!
Tapi momen terindah petir bukanlah saat ia menari di langit, melainkan benturan paling dahsyat setelah menyambar. Bagai kembang api yang meledak, megah namun sarat keganasan. Laksana lengan perkasa pria yang telah mengumpulkan kekuatan, tinju hukuman akhirnya menghantam kejahatan dengan 'peng'! Saat kilat menyambar tubuh Lu Fanming, seakan ada melodi indah bergema di hatiku. Walau bukan orang kejam, kali ini kuayunkan kedua tangan tanpa malu, mengiringi simfoni dalam jiwaku.
Di balik kilatan petir, kulihat Huigen mengangkat pisau pantangannya. Otot yang ramping bagaikan baja menampilkan ukiran Vajra bermata menyala berwarna darah yang hidup. Ekspresinya yang seperti dewa pelindung, sungguh memukau di bawah cahaya petir.
Bersamaan dengan sambaran petir, pisau Huigen menyapu. Saat Lu Fanming terpelanting, butiran darah merah berhamburan dari mata pisau, berpadu dengan asap tipis dari tubuh sang musuh.
'Bruk'! Tubuh Lu Fanming menghantam tanah. Jeritannya menyatu dengan suara jatuhnya lawan di depan Huigen.
Saat itu, senyum di wajahku adalah senyum balas dendam. Di depan mataku terbayang punggung Lao Hui yang tanpa ragu berlari ke arah gerombolan mayat hari itu. Bukankah ini baru permulaan?
Huigen juga menunjukkan ketenangan yang berbeda. Mungkinkah ini penjahat pertama yang dihadapinya? Tanpa gejolak emosi maupun rasa takut, dia hanya meninggalkan siluet kepala yang sedikit miring, otot-otot tegang, tubuh Vajra berlumuran darah dengan luka-luka bersilangan, dan pisau di tangan kanannya yang masih meneteskan darah segar.
Benar, dia tak perlu emosi apalagi takut. Sejak di Ruang Rahasia, Huigen telah bersumpah akan meletakkan tasbih dan menggenggam pisau pantangan. Pisau itu akan meminum habis darah para penjahat!
Satu sambaran petir jelas tak cukup untuk melukai 'makhluk superior' seperti Lu Fanming. Apalagi ini bukan Pedang Hukuman Langit sejati—petir surgawi, hanya petir biasa. Seandainya lima petir surgawi... Kuhentikan pikiran itu. Setidaknya, hal itu masih di luar kemampuanku.
Lu Fanming perlahan bangkit. Mungkin dia bertanya-tanya, mengapa serangan pertama dalam Pertarungan Ilmu justru mengincarnya, sementara dia dan empat orang berjubah lainnya sama sekali belum bergerak?
Kutatapnya dengan senyum sinis. Hadiah pertama ini jelas belum cukup 'bermakna'. Tapi aku tak terburu-buru. Kali ini, tekadku bulat untuk membalas dendam Lao Hui—bahkan nyawaku kurelakan demi membabat Lu Fanming dengan pisau ini.
Huigen mengaum dan kembali bergabung dalam pertarungan. Dia beruntung menghadapi musuh yang lemah, namun lawan orang lain sangat sulit dihadapi. Pertempurannya takkan berhenti dalam waktu singkat. Di saat yang sama, ritual sihir seseorang telah selesai - ritual pemanggilan roh. Aku tak membuka Mata Ketiga, jadi tak bisa melihat jenis roh yang dipanggil. Yang kurasakan hanyalah hembusan angin kencang yang langsung menerjang ke medan perang di sana!
Ini keuntungan kami yang memulai ritual lebih dulu. Tapi di sana juga ada ahli. Menghadapi angin kencang yang hendak menghujam, pihak lawan membalas dengan angin kencang lainnya yang berbau anyir samar dan berwarna kemerahan yang hampir terlihat mata telanjang.
Benar saja mereka sekelompok orang jahat! Setelah melakukan begitu banyak kejahatan melanggar hukum alam dan menelan banyak nyawa manusia, mungkin mereka merasa sayang jika tak memanfaatkannya untuk kultus gelap.
Dua angin kencang itu bertubrukan dahsyat, menciptakan pusaran angin. Sebatang pohon pendek yang malang berada di pusat pusaran itu terangkat sampai akar-akarnya, terhembus sejauh satu dua meter, berputar dua kali sebelum jatuh dengan suara "Braak!" keras.
Tabrakan angin roh ini persis seperti tatapan mata antara aku dan Lu Fanming - sama-sama tak terdamaikan seperti air dan api yang tak bisa bersatu, dipenuhi kebencian yang ingin mengukir ribuan goresan di tubuh lawan.
Harus diakui Lu Fanming ini benar-benar punya kelebihan. Meski sudah berubah jadi zombie monster, nalurinya tetap tajam. Begitu bangkit, pandangannya langsung tertuju padaku yang berdiri di puncak gunung. Sorot matanya seperti ular berbisa yang penuh racun yin.
Aku tak perlu takut padanya. Dengan santai kutatap balik, tak kusembunyikan kebencian mendalam di matanya. Tangan tak berhenti bergerak, mengeluarkan lima jimat biru. "Tuan Muda bawa semua warisan leluhur kali ini. Mau lawan bagaimana?"
Senyum mengejek mengembang di wajahku sambil menatap Lu Fanming. Ia membalas dengan gerakan mencoret leher. Di pihak mereka, tampaknya ahli lain telah memanggil 'petir siluman' merah menyala yang melesat ke arah kami. Petir siluman lebih dasyat dari petir biasa, karena membutuhkan persembahan roh binatang bertapa yang berenergi spiritual. Roh semacam ini sebenarnya termasuk kategori siluman juga!
Kuyakin dia bukan tipe yang bisa langsung memanggil 'petir siluman'. Hanya bisa lewat ritual persembahan. Kalau tidak, pasukan kita pasti sudah tercerai-berai.
Tapi aku tak khawatir. Petir persembahan semacam ini bertentangan dengan hukum Langit, pondasinya rapuh. Benar saja, dari pihak kami muncul rentetan petir sambung-menyambung yang menggerogoti kekuatan petir siluman.
Petir sungguh indah, tabrakan dua unsur itu bagaikan kembang api sejati yang mekar di langit, diiringi gemuruh bumi dan deru angin kencang. Pada momen inilah pandanganku pertama kali bersilang dengan Lu Fanming. Dia menyeka lehernya, aku hanya tersenyum sinis. Tak perlu menghiraukan provokasinya. Kutatap dia sambil mengucap perlahan: "Ini baru permulaan!"
Kemudian, selembar jimat kugenggam dan kumasukkan ke dalam formasi. Ya, ini baru permulaan!
※※※
Jika kau pecinta olahraga, datanglah menyaksikan pertarungan praktisi spiritual. Di sini ada berbagai batas ekstrim yang diperkuat metode rahasia: kecepatan melampaui batas manusia, kekuatan melebihi kemampuan fisik...
Bagi kalian penggemar efek spesial film, tontonlah pertempuran praktisi spiritual. Di sini ada efek visual yang menantang imajinasi: bunga petir mekar di angkasa, pusaran angin menyeramkan yang mengaburkan pandangan, bahkan Mata Ketiga bisa kauanggap sebagai kacamata 3D untuk menyaksikan roh-roh tak wajar saling bertabrakan, mencabik, dan menelan di langit, diiringi gempa bumi.
Menarik bukan? Tapi jangan datang jika kau berhati lemah atau punya masalah jantung. Di sini kau harus menanggung kekejaman medan perang yang lebih menyentuh jiwa daripada pembunuhan dengan senjata api...
Aku tidak tahu berapa banyak serigala yang datang, berapa yang mati. Mayat-mayat mereka yang jatuh satu per satu hanya membuktikan betapa dahsyatnya kekuatan monster berjubah itu. Kecepatan seperti angin, kekuatan menyimpang, tubuh yang tak kenal lelah, bahkan kemampuan menahan luka akibat cakaran... Yang Sheng, inikah hasil penelitianmu? Monster-monster buatanmu?
Jika mayat serigala belum cukup mengguncang, kekacauan di tanah pun belum cukup menggetarkan, lihatlah mayat pejuang yang bertempur dengan darah di depan. Ya, hingga saat ini, tujuh orang dari pihak kami di garis depan telah gugur, sementara sepuluh orang dari pihak lawan juga tewas. Setiap kematian adalah hasil perkelahian sampai titik darah penghabisan, setiap luka dari pertarungan itu menantang batas ketahanan manusia. Ini adalah kepedihan dan kesedihan yang tak terungkap dengan kata-kata...
Mereka yang masih bertarung pun menanggung luka dan kesakitan di ambang batas kemampuan manusia!
Pejuang di depan gugur, mereka yang bertarung ilmu di belakang juga tak kalah menderita. Dalam Pertarungan Ilmu, kekalahan berarti kematian. Tak ada yang menahan diri, setiap serangan adalah Ilmu Besar. Bahkan sisa-sia kekuatannya pun tak bisa ditahan tubuh manusia.
Lima ahli ilmu dari pihak kami telah gugur. Di pihak lawan tak bisa kuhitung karena aku sibuk terus merapal mantra. Hanya bisa menyaksikan satu per satu orang jatuh. Inilah perang.
Tiga puluh tujuh pria yang datang, baru bertempur 41 menit, dua belas di antaranya telah gugur.
Tapi pertempuran masih berlanjut, tak ada yang bisa menghentikannya. Aku terluka oleh gelombang sisa Pertarungan Ilmu, darah mengalir dari sudut bibir. Terbakar oleh sisa petir, tubuhku hitam di beberapa tempat. Tanganku terus meraba setiap saku—semua kosong, hanya tersisa satu kantung terakhir. Di dalamnya ada 5 jimat petir ungu. Sampai sejauh mana aku bisa bertahan?
Melihat Mas Yuan Yi di sampingku, dia juga sudah di batas kemampuan. Alasan aku masih utuh di tengah serangan bertubi-tubi ini karena Mas Yuan Yi terus bertarung di sisiku. Gao Ning sesekali memberi bantuan. Tentang Qiangzi, aku tak tahu apa yang dilakukannya. Mas Yuan Yi berulang kali melarangku menengok.
Huigen nyaris menjadi manusia darah, tapi pisau di tangannya masih terkepal...
Kulihat Xiao Bei—dia sudah masuk dalam kondisi obsesif mutlak. Rautnya tenang tapi tatapannya gila. Apakah formasi besar hampir selesai? Kurasakan getaran aneh aura energi alam semesta!
Hah, bertarunglah! Kumasukkan satu jimat ungu ke dalam formasi. Ini 5 jimat bantuan petir ungu terakhirku, warisan satu-satunya dari Guruku...
