Segalanya tampak tenang. Medan perang yang tadinya begitu panas kini hanya menyisakan suara angin dan hujan, diselingi petir yang sesekali menyambar. Rintik hujan yang jatuh dalam lingkaran cahaya lampu terlihat halus dan rapat, membawa aroma malam khas hutan pegunungan yang menyusup ke hidung setiap orang.
Sudah selesai? Pertanyaan itu kembali mengusik hatiku. Wang Wu yang duduk di sampingku dengan wajah lelah berkata: “Masih tiga belas menit lagi formasi besar akan selesai beroperasi. Masih sempat kita periksa apakah ada yang selamat di lembah?”
Aku mengusap air hujan di wajah, tak peduli lagi dengan lumpur di tanah. Dengan lepas aku merebahkan diri. Semua saudaraku terluka parah pingsan. Satu di antaranya bahkan sudah meninggal, tapi masih berdiri tegak di sana. Apakah dia masih menyimpan keinginan yang belum tersampaikan? Mengapa masih berdiri seperti itu?
Aku tidak bisa berpikir, aroma rumput, aroma tanah, aroma air hujan, menyelimutiku bersama hembusan angin gunung yang lembut. Tapi ketenangan ini hanya bertahan kurang dari setengah menit. Aku terus merasa ada bau darah yang terselip di antara semua aroma itu, tak kunjung hilang.
Ada apa ini? Aku langsung duduk dengan sigap! Sebelum sempat mengamati lebih jauh, suara helikopter terdengar dari ufuk langit. Apakah bala bantuan sudah datang? Baru saja aku lega, tiba-tiba kulihat langit di atas area pertempuranku tadi mulai memancarkan warna merah muda yang aneh, tersamar di balik kegelapan. Tidak terlalu jelas, tapi benar-benar ada.
"Goblok!" Umpatan itu meluncur refleks dari mulutku sambil kubangunkan diri. Mataku menatap tajam ke arah semburat merah yang melayang-layang itu. Suara mesin helikopter sudah terdengar, tapi belum kelihatan wujudnya. Kuharap mereka cepat sampai.
Perilaku anehku segera menarik perhatian semua orang yang baru saja relaks. Mengikuti arah pandanganku, mereka pun melihat semburat merah itu. Tapi di saat bersamaan, deru helikopter juga semakin jelas.
Arti semburat merah itu dipahami semua yang menyaksikan pertempuran sengitku dengan si kecil tadi. Wang Wu bangkit dengan susah payah, berdiri di sampingku. Suaranya gemetar saat bertanya, "Bagaimana ini?"
Bagaimana ini? Aku menghela napas getir, akhirnya mengingat kembali adegan terakhir itu. Si kecil tercerai-berai oleh petir siluman Si Bodoh. Simbiote spiritualku dengan Si Bodoh juga terlihat lemas tak berdaya akibat benturan itu, hanya butuh sedikit tekanan lagi akan hancur berantakan. Dalam kondisi ini, kesadaran instingtif Si Bodoh tiba-tiba mendominasi. Dengan sisa tenaga terakhir, ia menggigit serpihan terbesar milik si kecil dan menelannya bulat-bulat, lalu menyambar potongan lain. Kelelahan akibat menggunakan petir siluman bawaan dan guncangan energi mendadak ini membuatku dan Si Bodoh tertidur lelap.
Masih adakah kesempatan bertarung? Aku tak berani sembarangan bertaruh dengan perlombaan melawan waktu. Dengan cermat kuperiksa tubuhku. Si Bodoh secara misterius tertidur sendiri, sementara kekuatan jiwaku juga mencapai suhu kritis. Jika terus bertarung, aku akan kembali ke kondisi seperti dulu. Lalu, apakah kali ini aku masih punya hoki seperti sebelumnya? Bukankah persediaan obat di tempat Wang Feng juga sudah habis?
Kulemparkan pandang ke langit. Seolah belum cukup buruk, warna merah itu kian menguat. Dalam kondisi terpaksa, kubuka Mata Ketigaku. Di bawah penglihatan supranatural itu, bayangan samar seorang anak kecil mulai muncul.
Ekspresi wajahku berubah pucat. Tiba-tiba, kalimat familiar yang pernah mengguncang jiwa semua orang itu kembali bergema di benak masing-masing: "Bunuh, bunuh! Aku akan membasmi kalian semua!"
Si kecil bangkit kembali!
Benar saja seperti ini, monster yang hidup dari Dendam itu, selama Dendam masih ada, pasti takkan mati dan musnah. Ternyata memang begini, kemampuanku ternyata belum cukup!
Tak ada waktu untuk ragu. Di kejauhan, siluet helikopter akhirnya muncul. Tapi masih terlalu jauh. Aku bertaruh kecepatannya takkan mengalahkan si kecil. Rasa pahit seperti menyebar di mulutku. Dengan tenang kuucapkan: "Bertarung habis-habisanlah, asalkan bisa menunda waktu sedikit saja."
Usai bicara, kumulai melangkahkan langkah Gang. Sekalipun nanti tak bisa lagi menjadi Taoist, aku tak boleh mengorbankan nyawa semua orang. Guru leluhur pernah berkata tak boleh mundur, sedangkan Guruku bilang: "Manusia harus selalu punya hati yang tulus tanpa penyesalan."
Saat kakiku menari dalam langkah Gang, sosok si kecil mulai samar-samar muncul. Wajahnya yang terdistorsi penuh Kebencian dan kekejaman itu kembali menghadangku.
Masih ada waktu? Masih ada waktu? Sekalipun ritual ini kulakukan, berapa lama bisa bertahan? Tapi aku tak berani kehilangan fokus - saat melakukan ritual, kehilangan konsentrasi adalah pantangan terbesar.
Situasi sudah merosot ke jurang keputusasaan, tapi tiba-tiba dua siluet muncul di ujung lembah. Salah satunya terasa sangat familiar, namun aku tak langsung ingat siapa. Sedangkan siluet satunya terlihat agak aneh, samar-samar kulihat seolah dia punya tambahan sepasang tangan, membuatnya terlihat sangat gemuk. Soalnya lampu tidak mengarah ke sana. Tapi, sekejap kemudian kulihat sebuah sosok melompat dari tubuh yang gemuk itu, memeluk sesuatu sambil terhuyung-huyung berjalan ke depan, terlihat sangat emosional.
Baru saat itu aku lega. Tadinya kukira kami bertemu monster, ternyata salah satu orang itu sedang menggendong orang lain! Apakah ini titik balik bagi kami?
"Amitabha, semoga aku dan Guruku yang datang lebih awal bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa! Cheng Yi, apa kau baik-baik saja?" Suara familiar terdengar dari ujung lembah - Jue Yuan! Si nak Jue Yuan itu, kenapa dia datang?
Tapi, kulemparkan pandangan ke langit. Sosok si kecil hampir sepenuhnya terkonsolidasi. Teriakku, "Kalau tidak cepat, nyawaku segera melayang!"
Tak ada jawaban dari sana. Jue Yuan dan gurunya duduk bersila. Sosok lainnya perlahan turun ke lembah. Lalu, kudengar suara membaca sutra yang penuh welas asih dan sangat kukenal itu.
Hui Dàye dan Huigen secara ketat adalah biksu bela diri. Dalam hal kemampuan ritual pelepasan arwah, mereka jelas tidak setara Jue Yuan. Kali ini Jue Yuan bersama gurunya yang turun tangan. Kekuatan pikiran dalam ritual pelepasan ini luar biasa kuat.
Tapi si kecil takkan mati maupun musnah, sama sekali bukan makhluk yang bisa diselamatkan. Bisa dikatakan seluruh tubuh rohaninya tersusun dari dendam. Tanpa menghilangkan kebencian dalam hatinya, semua ritual pelepasan sia-sia belaka.
Namun adegan berikutnya memberiku sedikit petunjuk. Tubuh si kecil yang hampir selesai mengkristal tiba-tiba membeku. Seiring lantunan mantra, gumpalan merah dendam yang mengelilinginya perlahan memudar.
Inilah kekuatan pikiran welas asih dalam ritual pelepasan yang melumerkan dendam! Ini benar-benar efektif!
Aku menghela napas lega dan duduk terjatuh di tanah. Tapi sebelum sempat sepenuhnya rileks, raut wajah si kecil berubah menyeringai kesakitan. Aura kebenciannya semakin pekat. Perlahan ia menoleh, bola mata penuh dendamnya menatap tajam ke arah Jue Yuan dan gurunya.
Jue Yuan dan gurunya tetap tak bergeming. Suara lantunan mantra penuh kasih sayang terus bergema. Di medan perang yang mengenaskan ini, kulihat arwah-arwah korban yang masih menyimpan dendam mulai memutih bersih seiring ritual pelepasan, lalu berangsur menghilang...
Tapi welas asih seperti ini tak mampu memengaruhi si kecil. Tiba-tiba ia menengadah ke langit mengeluarkan suara seperti tangisan anak kecil. Seketika, aura dendam di sekitarnya menjadi lebih pekat, tubuhnya pun mulai dengan cepat terkonsolidasi membentuk wujud.
Seperti inilah! Mataku langsung terbelalak. Guruku pernah berkata: "Jika sesuatu sudah benar-benar tak bisa dibebaskan, maka jangan dipaksa. Karena ritual pelepasannya dan belas kasihmu hanya akan memicu kebencian yang lebih dalam di hatinya."
Benar-benar provokator! Pasangan guru-murid Jue Yuan ini! Apa aku harus tetap turun tangan membantu mereka? Di kejauhan, bayangan helikopter semakin jelas, hampir tiba di lembah ini...
Sementara di sini, siluet si kecil sudah sepenuhnya terbentuk. Tapi segumpal kebencian telah dengan cepat beralih ke pasangan guru-murid Jue Yuan. Dasar! Tetap harus bertindak. Kalau sudah begini, tak perlu ragu lagi. Bakar roh, gunakan kekuatan sihir instan!
Saat aku berpikir demikian, tiba-tiba suara seorang wanita menggema di lembah: "Dian Dian, pulanglah... Dian Dian, pulanglah..."
Suara yang begitu familiar. Aku langsung membeku. Siapa ini?
Tapi dengan ingatanku yang selalu tajam, aku segera teringat. Pasti pernah mendengar suara ini! Aku baru sadar, ini adalah orang yang pernah kudatangi bersama Lao Hui di desa itu. Wanita sinting dan linglung itu. Ya, dia!
