Jelas, Du Qin sudah bulat tekadnya. Saat ini, dari dirinya memancar cahaya keibuan yang sanggup mengguncang bumi, aku pun percaya akan hal itu.
Ucapan Du Qin membuat Dian Dian yang mengamuk itu ragu. Kukira si kecil ini hanya bisa berkata "bunuh", tapi setelah Du Qin selesai berbicara, makhluk itu tiba-tiba bersuara: "Aku sudah membunuh pria itu. Tidak akan kubunuh kau. Akan kusiksamu, kusiksamu terus-menerus."
Suaranya masih terdengar polos seperti anak-anak, tapi konten perkataannya begitu kejam. Jika direnungkan baik-baik, jelas bahwa 'itu' mengatakan telah membunuh ayahnya, menyisakan Du Qin sebagai ibu untuk disiksa.
Ini juga menjelaskan mengapa Du Qin muncul di desa itu dalam keadaan gila, dan mengapa pada malam ketika aku melarikan diri, seharusnya aku dibunuh oleh si kecil, tapi begitu Du Qin muncul, si kecil langsung mengikuti Du Qin pergi.
Di hatinya, awalnya tidak ada yang lebih penting daripada menyiksa Du Qin. Mungkin dalam hati makhluk baru, posisi ibu begitu istimewa—melebihi segalanya, bahkan ayah! Maka sedalam cintanya, sebesar perhatiannya, sebesar pula kebenciannya.
Terhadap anak laki-laki yang berbuat kesalahan, 'itu' langsung menghukumnya dengan kematian. Terhadap Du Qin, 'itu' tidak membunuh, tapi menyiksanya tanpa henti. Dari sudut lain, mungkin hanya Du Qin yang tidak bisa 'itu' bunuh!
Ini adalah jenis ikatan khusus antara ibu dan anak. Seperti orang yang sangat kau cintai, kau berharap dialah satu-satunya kehangatanmu. Ketika dia mengkhianatimu, sebesar apapun kebencianmu, tetap tak tega menyakitinya.
Inilah satu-satunya perasaan yang dimiliki si kecil!
Anak yang malang, menatap si kecil di langit, makhluk yang telah melakukan begitu banyak pembunuhan, bahkan sampai membunuh ayahnya sendiri. Tapi aku tidak bisa membencinya, karena aku teringat proses kejam Lu Fanming dalam mengerjakan si kecil. Sebelum berubah menjadi si kecil dan mati, hidupnya lebih kejam daripada neraka. Yi Hui lebih beruntung, ada aku dan Lao Hui yang mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya. Sedangkan anak bernama Dian Dian ini, hanya memiliki keputusasaan tak berujung dan harus pasif menanggung segalanya.
"Kalau begitu siksa saja aku! Jika menyiksaku bisa membuatmu merasa lebih lega, lebih bahagia, dan tidak terus melakukan kesalahan, apa salahnya aku membiarkanmu menyiksaku seumur hidup? Titik-titik, itu hutang Ibu padamu. Biarkan Ibu melunasinya dengan seumur hidup! Aku tahu kau takkan percaya, tapi tetap ingin kusampaikan: Ibu salah. Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah melahirkanmu tapi gagal menjalankan tanggung jawab sebagai ibu. Tak kuharap pengampunanmu, hanya ingin kau tahu: setelah kau dikirim pergi, Ibu sangat sedih, merindukanmu. Khawatir apakah kau kenyang di sana, menangis tengah malam sampai merepotkan orang lain lalu kau diperlakukan buruk. Masih kuingat saat kau baru lahir, Ibu memelukmu sambil menangis. Tangan mungilmu yang tembem menepuk-nepuk wajahku seolah menghapus air mataku. Waktu itu kau sangat menggemaskan! Setiap kali Ibu memanggil 'Titik-titik', kau langsung tersenyum..." Suara Du Qin tercekat, tubuhnya ambruk berlutut di lantai. Rangkaian monolognya itu - apakah penyesalan, pengakuan dosa, atau kesakitan hati - sebagai pria aku tak mampu menebak. Hanya merasakan sendu yang menggelitik kerongkongan.
Kulihat Wang Wu di sampingku tanpa alasan jelas matanya memerah!
Anehnya, perkataan ini justru membuat si kecil Dian Dian diam. Ia berdiri di langit, memandang Du Qin dengan ekspresi seperti tangisan sedih anak kecil. Ekspresi bengis yang sebelumnya sudah menghilang. Sepertinya ia sangat menderita, kesakitan yang membuat orang iba. Bahkan mulut yang sedikit terbuka dengan taring menakutkannya pun terlihat menyedihkan.
Sebenarnya, apa kesalahan anak-anak! Aku tak tahan mengusap hidung, lalu menyalakan sebatang rokok lagi. Mereka hanya menjadi korban pasif dari coretan-coretan pertumpahan darah!
"Dian Dian, jika aku tahu kamu dikirim keluar dan mengalami siksaan seperti ini, dijadikan si kecil oleh orang-orang, aku pasti tidak akan pernah setuju untuk memberimu ke orang lain! Ini adalah penyesalan terbesar kedua dalam hidup ibumu! Andai waktu bisa berputar kembali, andai aku bisa mengetahui semua ini sebelumnya, aku akan memelukmu erat-erat, tidak akan membiarkan orang-orang itu membawamu pergi hari itu! Bahkan jika nenek dan kakekmu mengusirku dari rumah, bahkan jika orang-orang mengejekku, bahkan jika hidupku menjadi lebih sulit! Aku bisa bekerja untuk menghidupi kita berdua, asal tidak mati kelaparan. Aku masih bisa menantikanmu tumbuh besar, melihatmu sekolah, melihatmu menikah dengan istrimu, melihatmu bahagia... hu hu hu... Tapi apakah penyesalan masih berguna? Kamu malah dijadikan si kecil oleh binatang-binatang itu, bahkan kesempatan untuk reinkarnasi pun hilang. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Hu hu hu..." Suara terisak-isak Du Qin bergema di seluruh lembah, membawa penyesalan dan rasa sakit hati yang tak berujung. Tapi bisakah waktu diputar ulang? Tidak mungkin!
Kesalahan terbesar di dunia ini adalah tidak menghargai sebuah nyawa dan tidak bertanggung jawab pada diri sendiri! Pada akhirnya, meski kau punya ribuan alasan dan penyesalan, takdirmu akan menertawakanmu dengan kejam. Ini adalah karma, ini adalah benih yang kau tanam sendiri, buah pahitnya harus kau telan juga!
"Jadi, Guruku benar. Orang hidup harus punya batasan diri. Di atas batas itu, manusia harus berpikir tiga kali sebelum bertindak! Sebagai penuntun kehidupan orang lain - orang tua, jangan sampai terbalik prioritas. Jangan terus memaksa anak mengejar nilai rapor dan prestasi. Di atas semua itu, ajari mereka menghargai nyawa dan mencintai kehidupan!"
Narasi menyedihkan Du Qin yang tulus ini lebih efektif dari ritual pelepasan arwah mana pun. Sekarang, aura darah di sekitar si kecil mulai memudar. Ia perlahan turun dari langit, berhenti di samping Du Qin. Sepasang tangan mungilnya menggapai, lalu ditarik kembali.
"Dian Dian, anakku..." Du Qin mulai terisak keras, lalu berkata: "Bertahun-tahun ini Ibu hidup dalam kegelapan, tidak sadar diri. Tapi Ibu tahu kau menemukan Ibu. Saat Ibu linglung, selalu kudengar tangismu di telinga. Dian Dian, Ibu hanya ingin memelukmu. Sekali lagi memelukmu."
Usai bicara, Du Qin menatap Dian Dian dengan harap yang nyaris histeris. Dian Dian tiba-tiba kembali ke ukuran anak normal, masih terikat rantai kekuatan pikiran emas. Ia mengulurkan tangan, menyentuh wajah Du Qin, dan berkata kalimat yang membuat semua pria dewasa di lembah ini nyaris menangis: "Ibu, jangan menangis."
"Kalimat ini membuat Du Qin menangis histeris. Ia mengulurkan kedua tangannya. Si kecil Dian Dian, makhluk mengerikan ini, dengan patuh merangkak ke pangkuan Du Qin dan bersandar di dadanya. Seketika Du Qin merangkul erat anaknya!
Dian Dian adalah roh, tak mungkin dipeluk. Tapi saat itu, seolah punya koneksi khusus, Du Qin mengelilinginya dengan kedua tangan, memeluknya dengan tepat.
"Dian Dian, jika ada kehidupan berikutnya... beri Ibu kesempatan. Biarkan Ibu jadi ibumu lagi. Aku akan memberimu kasih sayang terbaik..." ujar Du Qin terputus-putus.
Tapi Dian Dian berkata: "Ibu nyanyikan lagu, Dian Dian ngantuk."
Mungkin, di tengah siksaan tak berujung, satu-satunya keinginan anak ini hanyalah pelukan hangat ibunya, dan lagu pengantar tidur lembut agar ia bisa terlelap.
"Lepaskanlah arwah anak ini," kata Du Qin sambil menunduk. Perlahan ia meletakkan kotak di sampingnya. Jika tebakanku benar, itu pasti kotak abu Dian Dian, sisa tubuhnya yang kutekan dulu.
Ini persiapan untuk skenario terburuk. Meski roh tak terbatas, tapi terikat pada raga fisiknya. Jika dendamnya tak terhapuskan, Du Qin terpaksa menggunakan metode rahasia untuk mengurungnya dalam kotak abu ini.
Namun hanya keluarga dekat yang bisa menenangkannya setiap hari, jika tidak masih ada kemungkinan batasan itu terpecahkan.
Sekarang tampaknya tidak diperlukan lagi. Si kecil Dian-dian terlihat sangat kelelahan, bersandar di pelukan Du Qin. Untuk pertama kalinya ia menutup mata yang sebelumnya dipenuhi kebencian dan dendam. Du Qin bergumam lembut lagu nina bobo sambil memeluk Dian-dian. Di malam hujan rintik ini, tercipta lukisan paling hangat.
Suara ritual pelepasan arwah masih terus bergema, seikat demi seikat dendam berhasil dihilangkan.
Bersamaan dengan itu, formasi besar akhirnya berhenti! Kabut menghilang. Apakah Lu Fanming sudah mati? Aku berdiri, membiarkan rambut basah menempel di dahi. Tak sempat mengusap air hujan di wajah, dengan perasaan benci yang kompleks, aku melesat turun dari puncak gunung!
