Menghadapi pertanyaanku, Jiang Yi berdiri dan mulai mondar-mandir perlahan. Sepertinya jawaban untuk pertanyaan ini juga tak bisa membuatnya tenang. Dia butuh ketenangan untuk mengatur pikirannya sebelum menjawab.
Aku tetap menunggu dengan sabar, meski tak tahu sampai kapan kesabaranku bertahan. Aku memaksakan diri untuk menahan diri. Saat aku hampir mencapai suhu kritis, akhirnya Jiang Yi bicara: "Aku tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu. Bahkan staf yang kembali dan bercerita pun bicara berantakan, mungkin terlalu terangsang oleh kejadian itu. Aku akan menyusun poin pentingnya: Pertama, tak ada alat kita yang bisa memotret Penglai. Hanya mata manusia yang bisa melihatnya. Jadi foto terakhir yang kau lihat hanyalah laut luas."
Aku menyesap bibirku. Ini benar-benar bisa kumengerti. Sampai sekarang, adakah perangkat canggih yang bisa menyamai kemampuan mata manusia? Bahkan dalam hal piksel dasar pun masih sangat jauh tertinggal. Lagipula, mata manusia jelas bukan organ penglihatan tercanggih di antara makhluk hidup yang diketahui. Perangkat tak bisa merekam, apa yang aneh dari itu? Mata manusia juga tak bisa melihat roh.
Tentang alasan spesifiknya, aku tak bisa menebak. Baik Kunlun maupun Penglai, bagiku adalah entitas yang terlalu misterius. Tebakanku mungkin hanya akan menjadi bahan tertawaan.
Aku diam membisu. Jiang Yi melanjutkan: "Kedua, berdasarkan deskripsi, Penglai sebenarnya bukanlah pulau. Lebih tepat disebut benda terapung. Maaf, ini juga tak bisa kukonfirmasi karena saat itu... situasinya sangat kacau. Penglai dari awal sampai akhir diselimuti kabut tebal. Seperti apa benda terapung itu, mereka tak bisa menjelaskan dengan jelas."
Aku mengangguk, menunjukkan penerimaan. Dengan tenang kutunggu Jiang Yi melanjutkan jawabannya.
"Untuk yang ketiga, inilah inti masalahnya. Alasan keraguan apakah gurumu masih hidup atau tidak." Sambil berkata demikian, Jiang Yi mengeluarkan foto terakhir itu. Berbeda dengan faks sebelumnya, foto ini berwarna dan jauh lebih jelas. Ia menyodorkannya ke hadapanku.
Karena sebelumnya sudah melihat faks foto ini, ditambah fokusku tertuju pada luka guru, aku tak terlalu memperhatikan foto ini. Aku tak paham maksud Jiang Yi mengeluarkan foto ini lagi sekarang.
"Lihat di sini!" Tempat yang ditunjuk Jiang Yi adalah perairan berwarna biru tua. Sebenarnya, wilayah laut seperti ini tidak terlalu mencolok. Aku tadi hanya melihat sekilas, secara instingtif merasa perairan ini mungkin sudah mencapai wilayah laut dalam. Tapi setelah ditunjuk Jiang Yi, barulah aku terkejut menemukan ada potongan kecil tubuh makhluk di sana. Warnanya yang hampir sama dengan biru tua, pantas saja tadi tidak kuperhatikan, dan juga tidak terlihat di fax.
"Menurutmu ini apa?" Jiang Yi menatapku dan bertanya.
Aku tentu bisa mengenalinya. Bukankah Cap Leluhur Mas Yuan Yi juga menyegel roh makhluk seperti ini? Ini adalah potongan tubuh jiao. Tidak terlihat jika tidak diperhatikan, tapi begitu kulihat, langsung kuberi jawaban: "Ini jiao, kan?"
"Benar. Yang penting ini adalah jiao yang sedang berproses menjadi Naga. Gurumu dan rombongannya telah mengikuti dan bahkan bertarung beberapa kali dengannya. Saat itu, si jiao terburu-buru ingin ke Penglai untuk menyelesaikan tahap terakhir transformasinya, jadi malas meladeni rombongan gurumu. Sedangkan gurumu..." Jiang Yi berhenti bicara tiba-tiba.
Tapi aku sudah menebaknya. Sesuai sifat nekat Guruku yang kuterima dari aliran yang sama, dia pasti terjun ke laut tanpa mempedulikan keselamatan diri, ingin pergi ke Pulau Penglai bersama si jiao itu, 'menari bersama' di dalam laut. Sungguh tindakan yang sangat berbahaya! Aku yakin ini sama sekali tidak menguntungkan. Tidak mungkin Guruku memiliki keahlian sehebat itu untuk bertarung ilmu di laut. Saat itu, Guruku benar-benar menjadi 'nekat', dan di belakangnya mungkin juga diikuti oleh sekelompok 'orang nekat'!
Meski berusaha membayangkannya dengan santai, tapi hatiku tak bisa menahan diri untuk tidak mengkhayalkan adegan menegangkan itu. Suaraku mulai terdengar serak saat bertanya, "Lalu... lalu setelah itu? Apakah jiao menyerang Guruku dan mereka, sehingga kau bilang tidak tahu apakah Guruku masih hidup? Mengapa Guruku tidak hanya mencari jiao, tapi juga pergi ke gurun, hutan, dan berperang melawan hal-hal lain yang... mungkin tidak nyaman untuk kau sebutkan?"
Aku merasa ada hal krusial dalam cerita ini, jadi aku sekalian menanyakan semuanya secara bersamaan.
Jiang Yi kali ini raut wajahnya langka berubah, menghela napas getir sambil berkata: "Sebenarnya, jiao saat dua pencatat itu masih bisa melihat, tidak menyerang gurumu mereka. Hanya pada saat itu, bagaimana aku harus mengatakannya? Singkatnya, kau bisa membayangkan: angin bertiup dan awan bergulung, ombak besar menggelora, kabut tebal yang terus mengental tiba-tiba menyebar. Perahu tempat mereka berada terombang-ambing sedemikian rupa hingga terpaksa bersembunyi di dalam. Setelah itu, petir menyambar, hujan badai yang deras. Seorang pencatat nekat melihat sekilas—Penglai telah menghilang. Karena itu aku bilang tak bisa memastikan apakah gurumu mereka masih hidup."
Aku tak bisa berkata-kata. Siapapun yang menghadapi situasi seperti ini pasti tak bisa memberi kepastian. Kecuali... Aku kembali menyesap bibir. Hanya satu pengecualian: jika aku sendiri yang langsung mengalami, pasti akan tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Maka saat itu, anehnya hatiku tak terlalu khawatir. Rupanya sudah tumbuh lebih dewasa. Karena kusadari, tak ada lagi orang tua yang bisa kandelakan. Tak boleh biarkan hatiku kacau.
Setelah hening sejenak, kutanya Jiang Yi: "Kau belum menjawab, pertarungan sebelumnya bagaimana ceritanya?"
Jiang Yi menatapku. Kali ini dia tak langsung menjawab, malah balik bertanya: "Kau, pada akhirnya akan menapaki jalan ke Kunlun juga, bukan?"
Kuanggukkan kepala. Tak perlu menyangkal hal ini. Sekali gagal, kedua, ketiga kalinya akan tetap kucoba mencari.
"Sederhananya, Gurumu mendapatkan lebih banyak petunjuk darimu, persiapannya lebih matang sejak lama. Pergi ke Penglai, menuju Kunlun, apakah itu bisa dilakukan sembarang orang? Meski tahu jalan ke Kunlun, tetap diperlukan persiapan khusus. Cheng Yi, maaf aku tak bisa menjelaskan detail karena ini menyangkut rahasia negara. Hanya bisa kukatakan, jika suatu hari kau juga akan menapaki jalan ke Kunlun dan memilih kerja sama dengan kami, akan kuceritakan semuanya." Jiang Yi berkata dengan serius. Kali ini jelas bukan siaran berita biasa.
Aku tahu tak punya alasan untuk membantah. Jalan menuju Kunlun adalah perjalanan yang mungkin tak akan kembali. Aku tak seluwes Guruku. Di dunia fana ini masih terlalu banyak ikatan yang kumiliki. Tak mungkin aku segera menjejakkan kaki di jalan itu.
Tapi siapa yang tahu tentang masa depan? Mungkin takdir tak memberiku pilihan?
Kuhela napas dalam-dalam tanpa bersuara. Jiang Yi justru mengambil keping CD itu sambil bertanya, "Tak ingin melihat?"
"Di hotel, bagaimana caranya?" gumamku kesal.
"Siapa bilang tak ada persiapan? Sebelum datang kemari, sudah kusuruh orang bawa pemutar DVD." Setelah berkata demikian, Jiang Yi mengeluarkan ponsel dan menelepon. Kurang dari sepuluh menit, seseorang benar-benar datang membawa pemutar DVD dan dengan gesit memasangnya.
Jiang Yi memasukkan CD itu ke dalam pemutar lalu menatapku, "Cheng Yi, mungkin ini bisa memberimu sedikit penghiburan."
Aku tak paham maksud Jiang Yi, menatapnya bingung. Tapi dia berkata padaku: "Kepingan DVD ini boleh kau simpan. Perlihatkan pada pihak terkait. Setelah selesai menonton, baru tanya aku."
Aku mengangguk. Saat itu pemutar DVD sudah selesai membaca, gambar muncul. Tampak hutan belantara, kualitas gambarnya jelas tak sebagus televisi, bahkan kadang bergetar. Jelas yang merekam bukan profesional!
Masuk akal sih, tujuan utamanya kan menyampaikan pesan penting, bukan membuat film dokumenter. Tapi apa pentingnya ini? Yang kupedulikan cuma kabar tentang guruku.
Kamera tak profesional ini merekam sekeliling. Di sini, aku sensitif menangkap pemandangan yang sangat indah. Ada suara riuh orang-orang, tapi terlalu gaduh sampai tak jelas ucapannya.
Beberapa detik kemudian, jelas kudengar suara Hui Dàye: "Suruh gua duluan ngomong? Dasar Kakek Jiang licik! Kau juga takut hadapi kenyataan? Lebih parah dari gua! Eh, ngapa gua harus nurut kau? Kau bukan paman dari pihak ibu gua! Mana ada tulisan 'Si Tolol Berkepala Batu' di muka gua?"
Hui Dàye... Aku yang selama ini menahan diri, menahan air mata, akhirnya tak kuasa lagi. Air mata mengalir deras.
Tiba-tiba, muncul siluet yang compang-camping di depan kamera, seolah ditendang keluar. Lalu kulihat sosok guruku muncul di depan lensa.
