Di hamparan salju luas ini, di tengah hutan lebat ini, menemukan serigala berbulu terang memang sulit. Tapi di malam yang remang ini, mata hijau seperti lampu pijarnya mustahil terlewat. Seperti dua bola lampu, dia berdiri di lereng bukit tak jauh dari kami.
“Si bedebah ini!” Kata "bedebah" dalam dua hari terakhir sering muncul dari mulut Si Kakek yang baik hati, menunjukkan betapa marahnya dia dibuat oleh serigala besar 'arwah Yin yang tak kunjung pergi' ini.
Saat berbicara, Si Kakek menggigit sebuah peluru di mulutnya. Tangannya tak berhenti bergerak, memasukkan peluru ke dalam senjata buruan laras tunggalnya. "Makhluk arwah Yin yang tak kunjung pergi begini, tembak saja habis!"
Aku sangat percaya pada keahlian menembak Si Kakek. Melihat rangkaian gerakannya, aku yakin ini langkah tepat. Aku berkata pada Ruxue: "Bagaimana kalau kau lepas lebah racunmu untuk membantu?"
Ruxue melirikku, menjawab: "Tidak bisa. Peluitnya sudah hancur. Lebah racun tidak bisa membantu."
"Iya juga. Cuaca sedingin ini, lebah racun dilepas pun tidak akan bisa terbang jauh. Beku sampai mati, ya?" Kataku sambil tersenyum. Bersamaan dengan suara Si Kakek menarik pelatuk senjata, kupikir dalam hati: Keren sekali, benar-benar gaya! Pisau dan senjata memang pasangan pria sejati. Membayangkan diriku memegang jimat terasa kurang epik. Di film, pahlawan mana yang muncul tanpa membawa senjata atau pisau menyelamatkan orang dalam bahaya, sementara aku cuma pegang jimat...
Aku akui pikiranku melayang terlalu jauh, tapi bayangan pemandangan itu membuatku tak bisa menahan tubuh menggigil.
Ruxue hendak mengatakan sesuatu, namun suara tembakan Lao Zhang sudah terdengar. Tapi sekejap kemudian, terdengar Lao Zhang memaki: "Bangsat ini larinya kenceng banget, sampai nggak kena, Goblok!" Sambil bicara, Lao Zhang tak tahan meludahkan air liur ke hamparan salju menunjukkan kemarahannya, lalu sibuk mengisi peluru. Aku memandang sekeliling tapi tak melihat mata menyala serigala siluman itu, mungkin bersembunyi di balik puncak gunung.
Licik sekali. Hanya perlu selangkah saja, dia bisa memanfaatkan lereng gunung untuk menghindari peluru Lao Zhang.
"Mungkin kita sudah membuatnya kabur. Mulai sekarang kita harus ekstra hati-hati. Serigala itu kejam, licik, dan pendendam. Sedikit lengah di perjalanan, pasti dia muncul mengganggu kita," kata Lao Zhang sambil mengisi peluru, memanggul senjata, lalu memimpin kami melanjutkan perjalanan. Tak lupa dia berpesan dengan ragu-ragu.
Kami tentu percaya. Ruxue menyela dengan bijak: "Lebah racun memang tak mungkin hidup di salju. Tapi mereka sengaja dikembangbiakkan. Begitu dilepas langsung bertarung sampai mati. Setelah menyengat, mereka sendiri juga tewas. Dorongan inilah yang membuatnya bisa mengejar target sampai satu dua li tanpa beku."
Ruxue yang telah berbicara panjang lebar seolah kelelahan, menarik napas panjang. Aku pun tak banyak berdebat lebih lanjut tentang hal ini. Bagaimanapun, seni pengembangbiakan ulat di perbatasan Miao memang penuh keajaiban. Banyak ulat yang dibiakkan sampai melanggar instingtif alaminya sendiri bukanlah hal mustahil. Singkatnya, sebagaimana orang biasa tak bisa membayangkan kehebatan ilmu Tao, aku pun tak bisa membayangkan seberapa dahsyatnya Ilmu Gu.
Sambil mengobrol santai, kami berjalan lagi lima menit. Lao Zhang berkata, "Malam ini makhluk itu muncul, lebih baik kita jangan begadang. Cari tempat aman untuk berkemah. Api unggun sudah cukup nakut-nakuti banyak binatang buas."
Kami setuju. Entah mengapa, setelah kejadian semalam, berjalan di hutan tua ini saat malam terasa menggelisahkan. Lebih baik istirahat saja.
Arwah tua Wu kali ini berganti 'kostum' lagi. Bukan lagi jas bunga, jeans, dan sepatu kulit. Ia menciptakan topi telinga hangat, mantel kulit tebal, dengan kombinasi aneh celana formal dan sepatu olahraga di bawahnya. Sepanjang hari tangannya tersembunyi dalam lengan baju, katanya biar sesuai suasana. Mendengar usulan Lao Zhang untuk beristirahat, ia tersenyum 'misterius' dengan wajah penuh arti.
Kak Cheng Xin yang heran tak tanya, "Arwah tua Wu, kau memikirkan apa?"
“Hehe, hehe... Aku ingat sebelum berangkat, gadis Ruxue bilang di hutan tua kita tidak bisa pilih-pilih. Dia bahkan bertanya pada Lao Zhang apakah mungkin mandi seminggu sekali? Sudah hampir seminggu sejak kita berangkat.” Hantu Wu tersenyum lebar, mungkin terlalu girang sampai tanpa sengaja mengungkapkan isi hatinya.
Mendengar itu, wajahku langsung pucat. Untuk apa dia senang-senang kalau Ruxue mandi? Ku-ingat lagi, roh ini memang makhluk yang suka berkeliaran. Lagipula Ruxue bukan Tao Nun. Jika dia sengaja tidak ingin terlihat oleh Ruxue... Aku diam saja sambil mengeluarkan sebuah jimat, langsung mengejar Hantu Wu tanpa basa-basi.
Hantu Wu menjerit ketakutan, melayang tinggi ke atas. Aku berteriak dari bawah: “Jangan kira bisa kabur dengan terbang tinggi, aku tetap bisa menghajarmu!”
Awalnya Ruxue juga tidak tenang. Tapi melihat amarahku yang meluap, malah jadi tenang. Dia duduk santai di salju, menopang dagu, memandangiku tanpa berkedip dengan ekspresi puas.
Kak Cheng Xin menghela napas, wajah Lao Zhang berkedut-kedut. Sepertinya si orang jujur ini tak pernah membayangkan bahwa hantu ternyata makhluk yang tidak bisa diandalkan!
Tiba-tiba Hantu Wu berteriak ketakutan: “Adik Cheng Yi, Tuan Muda Cheng Yi! Aku salah! Tapi kurasa kita semua akan binasa!”
“Binasa? Yang akan binasa cuma kau!” Aku masih mengamuk, sama sekali tidak memikirkan makna teriakan Hantu Wu.
“Cheng Yi, wah, serigala! Banyak sekali serigala, mengelilingi kita dari segala penjuru.” Suara arwah tua Wu menjadi nyaring dan tipis, menunjukkan betapa 'teror' yang ditimbulkan oleh 'kejutan' ini.
“Kau bilang apa?” Ekspresi wajahku langsung berubah. Hubunganku dengan arwah tua Wu bisa disebut sebagai 'bermain-main', tapi dia pasti tidak akan bercanda tentang hal ini.
Arwah tua Wu langsung melayang turun, melambaikan tangan dan kaki sambil berkata tanpa arah di hadapanku: “Aku tadi terbang tinggi, di dalam hutan terlihat hamparan hijau pekat (warna hijau), serigala-serigala dari segala penjuru...”
Wajahku langsung pucat. Sebenarnya cara arwah tua Wu bercerita bukan masalah utama. Yang terpenting, kami semua melihat dengan mata kepala sendiri - dari hutan di sekeliling muncul banyak 'lampu pijar kecil hijau', diperkirakan ada dua hingga tiga ratus ekor serigala.
‘Cih!’ Lao Zhang meludahkan air liur dengan kasar, berkata: “Sepertinya semua serigala di hutan tua ini sudah berkumpul di sini.”
Kak Cheng Xin dengan polos menimpali: “Berlebihan. Di hutan tua ini mungkin ada ribuan serigala. Yang ini belum seberapa.”
Ruxue yang biasanya tenang juga terlihat terkejut, diam tak bergerak. Tapi dia masih cukup waras dan berkata: “Sepertinya kita dikepung.”
Arwah tua Wu buru-buru menambahkan: “Benar! Lihat topografi tempat ini, lembah kecil terpencil, kebetulan lagi tanah lapang tanpa pepohonan. Ini konspirasi, konspirasi!”
Tak ada banyak pohon, aku langsung tersadar. Dulu pernah ada yang bilang, kawanan serigala akan menyuruh pengintai mengikuti musuh dari jauh, lalu mengepung di saat tepat. Kukira itu cuma omongan kosong, tapi pelajaran dari semalam sampai malam ini membuktikan, perkataan itu sama sekali tidak bohong.
Untunglah kami sekelompok 'orang nekat' ini masih bisa berdiskusi soal berapa banyak serigala di hutan tua. Menghadapi situasi seperti ini, aku hanya bisa berteriak: "Lari, lari ke area berpohon dan panjat!"
Ini satu-satunya cara. Begitu kawanan serigala mengepung, baik ulat Ruxue maupun racun Kak Cheng Xin tak akan berguna. Aku juga tak mungkin melangkahkan Gang dengan santai di tengah gerombolan serigala. Soal Lao Zhang, meski dia bawa senjata mesin Tyrannosaurus sekalipun, takkan bisa habisi semua anak serigala itu.
Teriakanku membuat semua orang tersadar. Mereka mulai berbalik dan berlari sekencang-kencangnya menuju pohon terdekat. Asal satu orang bisa naik, sisanya yang berpegangan pada batang pohon masih bisa bertahan sebentar.
Lao Zhang langsung melesat ke depan sambil berteriak: "Ikuti aku! Di malam gelap begini, kalau jatuh ke lubang salju bisa tamat! Daerah ini memang tak terlalu kukenal, tapi pengalaman masih bisa diandalkan untuk menilai."
Kami diam seribu bahasa, paham betul bahaya yang Lao Zhang maksud. Hanya berlari membuntutinya dengan kepala tertunduk.
Begitu kami berlari, kawanan serigala pun bergerak. Mereka mulai bermunculan dari berbagai sudut hutan, mengejar kami dengan kecepatan penuh.
Dibandingkan kawanan serigala, lari kami tidak memiliki keunggulan. Salju ini belum mencapai kedalaman maksimal, tapi satu langkah saja sudah bisa menenggelamkan mata kaki. Di area yang lebih dangkal, tanah licin membuat kami sulit berlari. Bisa dibilang kami bukan berlari, tapi benar-benar merangkak sambil terguling!
Cakar besar serigala jauh lebih cocok untuk berlari di atas salju. Jarak antara kami dan mereka semakin dekat... semakin dekat...
Lebih parah lagi, meski di hutan dalam ada rute tetap yang tercatat di peta Lao Zhang sebagai jalur teraman, karena panik kami lari sembarangan hingga menyimpang dari rute itu, semakin menjauh ke lembah terpencil yang asing.
'Gukgukguk!' Suara kawanan serigala di belakang seperti lautan gonggongan anjing. Sambil lari, aku sempat berpikir: "Serigala ini tidak sok gagah dengan melolong ke bulan, suaranya sama saja seperti anjing. Pada dasarnya mereka cuma sekawanan anjing!"
Aku mencoba menenangkan diri dengan pikiran itu. Tapi tiba-tiba kudengar teriakan Ruxue. Kulihat dengan mata kepala sendiri hamparan salju di depan kami ambles masuk - lubang salju?!
