Kejadian ini terlalu mendadak. Aku dan Kak Cheng Xin yang berada di belakang tidak sempat bereaksi. Lao Zhang berlari terlalu cepat, mungkin melewati lubang salju itu seketika. Tapi lubang salju yang sudah di ambang runtuh itu malah menjerat Ruxue yang berada di posisi kedua.
“Ini adalah satu-satunya pikiran yang bisa muncul di kepalaku. Melihat siluet Ruxue yang tiba-tiba terperosok ke dalam sarang salju, kepalaku serasa dipenuhi darah. Suara teriakan arwah tua Wu, Kak Cheng Xin yang berusaha menyambar Ruxue, dan teriakan Lao Zhang 'Kenapa bisa ada sarang salju di sini?' – semua itu seperti samar-samar tak kurasakan.”
“Refleks satu-satunya yang kulakukan adalah tanpa ragu menerjang masuk ke dalam lubang salju itu. Dengan tenaga terjangan, kuraih dan kupeluk erat Ruxue. Hanya itu yang bisa kulakukan. Detik berikutnya, tubuhku mulai terhisap turun deras. Kupeluk Ruxue semakin erat, justru merasa lega.”
“Bahaya terbesar jatuh ke sarang salju adalah salju yang tiba-tiba ambles dan menguburmu. Nanti tak sempat lagi menggali orang.”
“Atau mungkin tak terkubur, tapi tekanan salju yang tiba-tiba akan mengunci tubuhmu. Terjepit rapat, tak bisa bergerak atau merangkak naik. Beberapa hari saja akan mati beku. Kalau sarang salju itu sangat dalam, jatuhnya saja bisa mematikan.”
“Kuakui tindakanku sangat impulsif. Tapi saat itu, ini murni refleks bawah sadar – atau mungkin perasaan 'hidup mati bersama'? Namun selama jatuh, justru nasihat Lao Zhang tentang sarang salju yang teringat. Baiklah, jika kugunakan kedua lenganku untuk membuka ruang bagi Ruxue, mungkin dia bisa bertahan lebih lama?”
"Sungguh baik, di Desa Miao Heiyan, dua kali aksi mengorbankan nyawa untuk membawa nyawaku, akhirnya aku bisa membalasnya." Di pelukanku, Ruxue menunjukkan ekspresi tertegun dan kesal namun penuh kehangatan. Aku belum pernah melihatnya menunjukkan begitu banyak perasaan. Aku hanya tersenyum. Sungguh baik, benar-benar sangat baik.
Proses jatuh terasa lambat dalam tatapan saling kami ini, namun sebenarnya hanya beberapa detik. Kami akhirnya mendarat di dasar lubang bersama aliran salju. Beruntung, karena ini adalah area yang sebelumnya diinjak Lao Zhang, salju turun cepat membentuk bantalan di bawah tubuhku dan Ruxue. Jatuh kami tidak terlalu menyakitkan.
Dengan cepat aku memposisikan diri di atas Ruxue, mengangkat tubuhku dengan kedua lengan untuk melindunginya dari aliran salju. Namun kaget, aliran salju dahsyat yang kubayangkan tak kunjung datang. Masih terlihat langit biru di atas.
"Batuk...batuk..." Suara batuk Kak Cheng Xin di telingaku membuatku tersadar. Posisi kami berdua saat ini memang agak...
Ruxue memiringkan wajah yang sedikit memerah. Aku tidak bergeser, malah memperhatikan sekeliling. Lubang salju ini sangat dalam, hampir 10 meter dengan mulut yang sangat lebar. Pantas salju sekitar tidak menutupinya, hanya meluncur perlahan di tepian.
Saat ini, Kak Cheng Xin dan Lao Zhang sedang meluncur turun melalui salju di sekitar, suara 'gonggongan anjing' kawanan serigala masih terdengar dari segala penjuru.
"Jika kau ingin, tapi bukan di sini." Suara Ruxue sangat lirih, seperti nyamuk yang berdengung di dekatku, sambil tangannya sedikit mendorongku.
Apa maksudnya ini? Jika aku ingin? Bukan di sini? Aku langsung menyadari implikasinya, harus diakui meski cuaca sedang membeku ini, perut bagian bawahku tiba-tiba terasa panas.
"Ruxue..." Aku memanggil pelan. Antara kami tak perlu banyak bicara untuk saling mengerti. Mungkin Ruxue tak paham maksudku tiba-tiba menahan tubuhnya, tapi untuk menghindari rasa canggungku, ia sengaja berkata demikian sebagai cara halus menghapus kegugupanku sekaligus ekspresi perasaannya. Bukankah ikatan hidup mati bersama ini memang seperti itu? Apa yang tak rela diberikan? Bukankah dulu di malam terakhir itu, ia juga yang lebih dulu membuka pembicaraan?
Gadis Miao itu panas dan langsung, meski Ruxue berusaha menampilkan sifatnya yang tenang, darah perempuan Miao tetap mengalir di tulang sumsumnya.
Ruxue berusaha tampil tenang, namun kelembutan di matanya telah mengungkap segalanya. Ia ingin mengalihkan topik dengan santai, tapi tak sadar betapa provokatif ucapannya bagiku. Sungguh aku tak ingin melepas kehangatan tubuhnya. Ingin rasanya aku membungkuk dan menciumnya dalam-dalam.
"Batuk... batuk..." Lao Zhang juga mulai batuk. Kak Cheng Xin malah berdiri di samping sambil menyalakan rokok dengan tenang, berkata: "Cepatlah bermesraan. Nanti saat kawanan serigala datang, mati pun tak akan menyesal. Lagipula, aku dan Cheng Yi adalah saudara seperguruan satu aliran. Aku rela menemani hidup mati bersamanya, yang penting mati dengan cepat."
Hantu Wu berteriak histeris: "Tuan Muda Cheng Yi! Mulai hari ini kau adalah junjunganku! Sungguh jantan! Sungguh mengharukan! Menggoda gadis desa di bawah kejaran kawanan serigala, betapa heroiknya! Jangan takut, kalau mati nanti kita mengambang bersama ke Makam Dewa."
Goblok! Aku yang sedang larut dalam gejolak perasaan tiba-tiba merasa pelipis berdenyut-denyut mendengar ucapan Hantu Wu. Disebut apa itu "menggoda gadis desa di bawah kejaran serigala"? "Mengambang ke Makam Dewa"? Membayangkan pemandangan itu saja sudah membuatku merasa dunia ini terlalu absurd.
Perasaan mesra itu pun lenyap. Aku berguling turun dari tubuh Ruxue, melirik tajam ke Hantu Wu dengan geram, tapi tak bisa menemukan kata-kata untuk membalasnya.
"Sudahlah! Kedatanganku ke hutan tua ini mungkin akan berakhir di sini. Tapi melihat sikap Lao Wu, aku jadi tak takut mati, hahahaha..." Lao Zhang tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, menunjukkan sisi humor yang jarang terlihat.
Ini juga bisa disebut mencari kebahagiaan dalam penderitaan. Sekarang semuanya terperangkap dalam sarang salju, menghadapi kawanan serigala yang mengepung ini, masih ada cara apa lagi?
Kak Cheng Xin mendekat, menepuk bahuku lalu duduk di sebelahku. Dia mengeluarkan bungkusan serbuk sambil berkata, "Tidak sepenuhnya putus asa. Mari gunakan strategi tanpa ampun. Telan dulu penawarnya, semua karma akan kutanggung."
Usai berbicara, Kak Cheng Xin mengeluarkan botol kecil dan menuangkan beberapa butir pil. Ini benar-benar sudah menjadi pilihan terakhir.
Tak disangka, Lao Zhang-lah yang maju pertama kali mengambil pil itu. Dengan suara lantang dia berseru, "Anak-anak serigala ini sudah memojokkan kita sampai titik ini, pantas saja mereka mati sampai ke akar-akarnya!"
Saat Lao Zhang berbicara, serigala pertama telah mencapai tepi sarang salju. Tapi kami terkejut melihatnya tidak turun, malah mundur ketakutan.
Semakin banyak serigala berkumpul di tepi sarang salju. Salju di tepian mulai longsor 'shusha-shusha'. Beberapa anak serigala tergelincir beberapa langkah, lalu panik merangkak naik dengan ekor tertekuk. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan!
Ada apa ini? Kami tertegun. Bahkan Lao Zhang yang memegang pil itu mulutnya menganga, lupa menelan pil di tangannya. Jangan-jangan kita salah sangka, mungkin serigala ini hanya main petak umpet dengan kita?
‘Awoo’‘Awoo’, dari belakang kawanan serigala terdengar beberapa kali lolongan panjang. Suara itu langsung kami kenali sebagai serigala siluman, karena semalam sudah beberapa kali mendengarnya. Suaranya sangat unik, dalam lolongannya seolah terkandung semacam keagungan yang tak terdefinisi, mustahil ditiru serigala biasa. Makanya langsung bisa dikenali.
Serigala siluman terus melolong, kawanan serigala yang mengelilingi sarang salju mulai gelisah. Beberapa ekor mencoba menerjang ke bawah, Kak Cheng Xin pun gugup mengangkat bubuk obat di tangannya. Namun para serigala itu akhirnya tak mampu mengatasi ketakutan dalam hati, kembali mengibaskan ekor dan mundur.
Semuanya terlihat begitu aneh dan mengerikan: serigala siluman melolong, kawanan serigala bergerak tak menentu seperti semut di atas wajan panas, namun tetap tak berani turun.
Kami saling pandang tak mengerti, semakin bingung dengan situasi. Hanya Arwah Tua Wu yang melayang-layang di sekitar sarang salju, entah sedang melakukan apa.
Serigala tak berani turun, kami pun tak berani naik. Setelah kebuntuan hampir 5 menit, kawanan serigala kembali resah. Kali ini bukan kegelisahan terburu-buru, melainkan beberapa serigala membuka jalan dengan menggeser tubuh.
Serigala siluman itu datang!
Itu perlahan mendekat, namun tak melolong lagi. Di wajahnya terpancar ekspresi yang sulit kuungkapkan—seolah tak percaya, ketakutan, mungkin sedikit penyesalan dan sikap sinis.
Dasar siluman sialan! Ngapain dia sinis? Aku sama sekali tak ingat pernah bermusuhan. Kenapa dia terus menerus mengincarku?
Berdiri di tepi sarang salju, serigala siluman itu bagai raja. Hanya melirik sekilas ke lubang salju, tiba-tiba berbalik pergi. Aku bingung, tapi arwah tua Wu yang mondar-mandir tiba-tiba berteriak: "Sini! Ada masalah di sini!"
