Ruang batu ini lebih menyerupai cangkang kerang daripada persegi. Area tempat kami jatuh dari terowongan merupakan titik terendah, sementara dinding penukisan rubah di seberang merupakan area tertinggi.
Lukisan rubah bermata hijau raksasa terpampang di bagian rendah ruang rahasia ini. Dengan mengangkat Ruxue untuk menghancurkan Batu Hati Menawan, posisinya cukup pas dan tidak terlalu sulit.
Dentuman palu terus bergema di ruang batu. Setiap orang menyimpan beban pikiran berat dan kecemasan akan ketidaktahuan jalan di depan, menunggu dalam kesunyian tanpa sepatah kata.
Kecuali Arwah Tua Wu yang terus-terusan penasaran menyusuri terowongan, kadang kembali dengan cerita betapa megahnya lorong itu. Tapi sehebat apapun, tetap saja diselimuti kabut tebal yang membuat kami tak bergairah.
Kurang dari sepuluh menit, Ruxue akhirnya meruntuhkan pasangan terakhir Batu Hati Menawan. Begitu kutantingkan ia, ruang batu langsung bergetar dahsyat melebihi sebelumnya. Semua orang limbung tak bisa berdiri.
Kupeluk Ruxue dan berguling ke pinggir dinding. Potongan lumpur dari langit-langit berhamburan. Cepat-cepat kuselimuti Ruxue dalam dekapan.
Pada detik ini, aku mendengar Ruxue berbisik pelan di pelukanku: "Cheng Yi, bisa mencintai seseorang seperti ini, sudah..." Sayangnya suara gempa terlalu keras, kami terguncang ke sisi lain. Aku sama sekali tak bisa mendengar kelanjutan ucapan Ruxue.
Tapi bagaimana mungkin aku rela tak mendengarnya? Maka kuteriakkan: "Ruxue, kau bilang apa?"
Di tengah guncangan dahsyat ini, Ruxue tersenyum. Senyumannya masih secantik dulu, membuat jantungku berdebar kencang. Ia berteriak padaku: "Tak ada! Hanya memberitahumu ini hal yang sangat baik."
Aku tak curiga. Hanya memeluk Ruxue lebih erat. Mengungkapkan perasaan di tengah gempa sehebat ini, terasa seperti melampaui hidup-mati.
Setelah satu menit berguncang, segalanya akhirnya tenang. Ruang batu yang tadinya rapi kini berantakan. Debu masih beterbangan, tanah bergumpal-gumpal berserakan di lantai.
Sebelum sempat bernapas lega, tiba-tiba penglihatanku berkunang-kunang. Seekor ulat baru tergeletak di bahu Ruxue. Ulat ini masih satu 'seri' dengan yang sebelumnya, tapi panjangnya hampir sepanjang lengan bawah, memiliki dua pasang sayap, dengan tiga garis ungu yang jauh lebih tebal.
Ulat ini memancarkan aura horor yang lebih kuat! Aku tak mengerti mengapa mereka begitu 'melekat' pada Ruxue?
Aku belum sempat berkata apa-apa, tiba-tiba mendengar hal yang lebih menakjubkan terjadi—suara lolongan panjang anak-anak serigala yang silih berganti. Jelas sekali itu suara banyak anak serigala yang melolong. Tanpa perlu berpikir, aku tahu suara ini berasal dari mana—tentu saja dari anak-anak serigala yang mengerumuni kami di dekat sarang salju. Luar biasa, mereka benar-benar belum pergi!
Aku tak mengerti mengapa mereka melolong dengan begitu ganas saat ini, seolah-olah pantat mereka terbakar. Padahal, melalui kedalaman tanah dan liku-liku gua yang berkelok-kelok, suara itu masih bisa sampai ke telingaku.
Mendengar lolongan anak-anak serigala, tiga ulat yang tergeletak di tubuh Ruxue mulai gelisah. Gerakan mereka langsung membuat orang merinding, menampakkan wujud mengerikan mereka.
Ruxue tiba-tiba menghela napas dan berkata lembut, "Pergilah. Bagaimanapun aku tak bisa menghentikanmu. Cukup sampai di sini saja."
Aku memandanginya dengan bingung. Kepada siapa ia berbicara? Tapi Ruxue tak berminat menjawabku. Justru tiga ulat di tubuhnya yang memberi jawaban—setelah perkataan Ruxue, mereka tiba-tiba mengepakkan sayap dan terbang pergi melalui lubang legenda tempat kami masuk.
"Ruxue, kau berbicara dengan mereka?" Meski ulat-ulat ini dekat dengan Ruxue, sama seperti naluriku membenci Ulat Setan dari Desa Miao Heiyan, ada perasaan jijik yang tak terucap terhadap tiga ulat ini.
"Aku merasa perlu berbicara dengan Ruxue. Jika kita bisa menghancurkan ulat-ulat ini, jangan disisakan." Aku yakin dengan intuisi ini tak mungkin salah.
Ruxue menatapku dengan ekspresi tenang. Ia berkata: "Jika kukatakan ini bukan ulat setan, apa kau percaya?"
"Aku percaya, tapi bukankah kau harus memberiku penjelasan?" Wajakku menjadi serius. Aku mencintai Ruxue, bahkan rela mati bersamanya. Tapi aku takkan membiarkannya tersesat. Dulu pernah kukatakan pada Qiangzi: "Jika kau jadi setan, akan kugembok dan kujaga."
Terlebih untuk Ruxue. Jika ia hendak salah, akan kuhalangi dengan segenap tenaga. Ulat yang bisa menelan segalanya ini jelas merupakan bencana.
"Cheng Yi, akan kuberi penjelasan. Tapi bukan sekarang. Yang bisa kukatakan: Ulat-ulat ini bangun dari tidur lelap dan lapar. Semakin lapar, semakin ganas. Jika tak dikenyangkan, aku tak bisa jamin mereka tak menyerang kalian." Ruxue menatapku dalam-dalam. "Percayalah, mereka tak akan menyakitiku, tapi aku tak bisa mengendalikan mereka."
"Dan..." Ruxue terdiam sejenak, "Mereka tak seganas Ulat Setan, tapi bisa menekan Benming Gu baruku. Hanya saja belum difokuskan padanya. Kau mungkin tak paham sekarang, tapi akan mengerti nanti."
“Aku tidak mengerti kenapa Ruxue kembali membahas Benming Gu. Dulu di Desa Miao Heiyan, Benming Gu-nya mati, lalu dia membudidayakan Benming Gu baru. Tapi apa hubungannya dengan ulat ini?”
“Satu-satunya asosiasi yang bisa kuhubungkan hanyalah teknik penekanan, tapi... Tiba-tiba kepalaku seperti tersengat listrik. Aku teringat sesuatu - warna ungu, lagi-lagi warna ungu itu. Mungkinkah ulat ini juga berkaitan dengan Kunlun?”
“Jika memang ada hubungannya, mengapa Ruxue tidak bicara langsung? Kenapa memberi petunjuk berbelit-belit seperti ini?” Aku menatap Ruxue yang juga sedang menatapku. Dalam sekejap, seolah ribuan kata tak terucap telah kami tukarkan.
“Dia sedang memberitahukan kepasrahannya, memintaku untuk tidak mengejar jawaban.”
“Sedangkan pesanku hanya satu: Apapun yang terjadi, aku akan selalu di sisimu.”
“Hening beberapa detik. Ruxue berbalik memunguti Batu Meixin yang berserakan di lantai satu per satu. Dengan cermat dia membungkusnya menggunakan saputangan, lalu menyerahkannya padaku.”
“Memandangi bungkusan batu itu, kukatakan padanya: 'Ini sudah tidak berguna. Kekuatan lain sudah menyegelnya. Untuk apa aku menyimpannya?'”
“'Mungkin masih ada gunanya. Simpan saja, ya?' Ruxue bersikeras.”
“Aku hampir gila menghadapi semua yang tak kumengerti ini, tapi akhirnya tidak menolak permintaannya. Kubawa bungkusan Batu Meixin itu masuk ke dalam tasku.”
“'Ayo kita pergi.' Setelah semuanya selesai, Ruxue terlihat lebih tenang. Dengan senyum dia mengajak kami turun.”
“'Tapi ulat itu... Dia tidak akan mencarimu lagi?' Tanya Lao Zhang yang masih bingung.”
“Mereka? Hanya pergi makan beberapa serigala, nanti pasti akan kembali mencariku! Tenang saja, Lao Zhang, aku sudah bilang jangan berlebihan, mereka tidak akan melanggar pantangan pembunuhan.” Ruxue jarang-jarang memberikan penjelasan, toh Lao Zhang pada dasarnya orang gunung, yang benar-benar mencintai pegunungan ini, paling membenci perbuatan menghabisi sampai ke akar-akarnya karena itu merusak akar kehidupan mereka.
Makan beberapa serigala? Apakah serigala-serigala itu tidak berani turun ke sarang salju ini justru karena ulat-ulat itu? Konon binatanglah yang paling bisa merasakan keberadaan bahaya, jangan-jangan yang mereka takuti bukan rubah bermata hijau seperti yang kukira sebelumnya, melainkan ulat-ulat ini?
Otakku semakin kacau memikirkannya, akhirnya kubiarkan saja. Yang pasti dengan terus berjalan, jawaban akan datang. Aku hanya tahu tujuan utama kali ini adalah Makam Kunlun, Ginseng Jing hanya bonus. Di kedalaman hati, ada satu tekad lagi: bagaimanapun juga, aku takkan melepas tangan Ruxue.
Dengan tekad itu, akhirnya kami memasuki terowongan menurun. Anehnya di sini tidak berdebu, hitam legam tapi senter kami menyinari relief-relief indah seperti yang dikatakan arwah tua Wu. Meski gelap, pandangan mata masih bisa menangkap keanggunannya.
Tentu saja soal detail keindahannya, aku tidak bisa menilainya. Hanya bisa melihat sekilas bahwa terowongan batu hijau ini dipasang rapi, ada relief di kedua sisi walau motifnya tak jelas. Namun kemegahannya tetap terasa.
Sama seperti ruang batu di atas, kegelapan di sini seolah juga berwujud fisik, bahkan lebih sulit ditembus. Aku meragukan apakah kegelapan yang kulihat ini karena faktor cahaya atau hal lain?
Namun belum beberapa langkah berjalan, Arwah Tua Wu sudah melayang-layang di depanku sambil berkata: "Cheng Yi, di dinding sini ada lentera, minyak dalam lentera juga belum kering!"
Jangan-jangan di sini juga ada Batu Hati Iblis? Tapi menurut sifat Batu Hati Iblis, jika ada, pasti sudah kami temukan sebelumnya. Di sini tidak ada.
Tapi aku segera melihat lentera yang dimaksud Arwah Tua Wu. Berbeda dengan lentera dinding aneh tadi, bentuk lentera ini sangat kuno tapi tidak ada yang istimewa. Kukeluarkan korek api dan menyalakannya, nyatanya apinya bukan warna hijau pekat tapi kuning normal!
Mengapa bisa begitu? Jika memang begitu, mengapa minyak lentera ini tidak mengering selama bertahun-tahun? Jangan-jangan ada yang pernah datang ke sini? Memikirkan ini, kabut tebal baru seolah menyelimuti hatiku.
Tapi Kak Cheng Xin tiba-tiba berteriak: "Lentera Abadi dari legenda? Teknik pemeliharaan ahli Taoisme?"
Sedangkan Lao Zhang menjerit kaget: "Lukisan dinding ini!"
