Setelah berjalan cepat beberapa langkah, kami pun menyusul Ruxue dan yang lain. Keterlambatan kami (aku dan Kak Cheng Xin) tidak mencurigakan siapapun - hanya dianggap sedang mengagumi lukisan dinding. Di dalam terowongan yang pengap ini, setiap orang ingin segera keluar.
Sepanjang perjalanan, kami terus menyalakan 'Lentera Abadi'. Semakin banyak yang dinyalakan, semakin kami (aku dan Kak Cheng Xin) terkejut. Total 16 lentera abadi - bukan lagi sekadar 'skala besar', tapi pasti ada cerita dan keterkaitan apa di balik ini?
Meski berjalan cepat, aku tetap memperhatikan lukisan dinding. Namun semakin kulihat, justru semakin tidak menarik. Lukisan-lukisan ini bagai kaisar yang haus pujian, mencoba mencatat 'prestasi gemilang' seumur hidupnya melalui cara ini.
Selain nilai persembahan di terowongan depan, di bagian belakang hampir seluruhnya mencatat detail tentang keberadaan Siluman Rubah Bermata Hijau, termasuk kegagahannya di hutan pegunungan, keanggunan posisi tidurnya, diselingi beberapa 'pertarungan' dengan ular piton dan 'hewan' besar. Gambar-gambar pasir beterbangan dan batu berterbangan itu terus kukatakan pada diri sendiri itu berlebihan.
Bagaimanapun masa-masa panjang telah berlalu, adegan demi adegan itu tak berani kukatakan pasti sebagai rekaman yang sebenarnya.
Terowongan tidak terlalu panjang, sekitar 20 menit sudah hampir sampai ujung. Meski 'lukisan dinding' ini seperti tulang ayam yang tak berguna, tetap kubaca dengan hampa. Terlalu banyak teka-teki di hati, selalu berharap menemukan sedikit jejak. Psikologiku seperti ini, masakan bisa dikatakan tertarik pada seekor rubah? Meski mungkin ini adalah siluman rubah.
Kegelapan pekat kembali muncul di depan. Senter menyorot, ternyata ada pintu gerbang berukir mewah. Namun aku seratus persen enggan melangkah masuk, karena siluet pintu itu berbentuk wajah rubah yang menggoda seolah tersenyum, dengan mulut menganga lebar sebagai jalan masuk.
Entah untuk realisme atau tidak, ambang pintu atas dan bawah memiliki tonjolan tajam dengan empat pilar kecil lebih runcing di atasnya. Sekilas tahu itu moncong dan gigi rubah. Melangkah masuk terasa seperti dimakan.
Percayalah, adakah yang mau melewati pintu gerbang ini?
Tapi inilah satu-satunya jalan, tak ada pilihan. Aku berusaha tak memperhatikan desain pintu gerbang, mengalihkan perhatian ke lukisan dinding. Karena bosan, kuanggap saja sebagai apresiasi seni. Terus mengamati hingga tanpa sadar masuk ke dalam gerbang. Namun seketika itu, aku kehilangan kendali. Hampir tak tertahan aku berteriak kaget, lalu membeku di depan sebuah lukisan dinding.
Teriakanku menyedot perhatian semua orang. Mereka berkerumun, tatapan tertuju pada lukisan yang membuatku "hilang kesadaran" itu. Namun kemudian keraguan muncul di wajah mereka.
Memang, di sepanjang jalan banyak lukisan dinding bergaya hiperbolis menonjolkan kegagahan rubah - seperti adegan pertempuran layaknya dewa-dewa. Dibandingkan itu, lukisan ini tampak tak berarti. Hanya dua binatang yang berbaring berhadapan dengan sopan, apa istimewanya?
Ya, sederhananya memang begitu. Di puncak gunung yang menjulang tinggi, seekor harimau perkasa malas-malasan tergeletak. Di bawahnya membentang hutan belantara. Sang raja hutan memandang rendah wilayahnya dengan tatapan tenang namun penuh kewibawaan.
Sedangkan rubah bermata hijau tergeletak di posisi agak belakang harimau, tatapannya juga tenang. Tapi entah karena terlalu realistis dalam penggambaran ekspresi, aku selalu merasa bisa melihat kepuasan dari mata rubah ini.
Isi lukisan dinding memang sederhana. Bagi orang awam yang menafsirkannya, karena ini menggambarkan 'prestasi gemilang' rubah bermata hijau, tentu juga harus menunjukkan pergaulan dan pertemanannya - seperti yang digambarkan dalam lukisan dinding kaisar yang biasanya menampilkan minum arak, bermain catur, dan berdiskusi tentang Tao dengan para dewa.
Singkatnya, hanya ingin menunjukkan bahwa teman-teman rubah ini juga makhluk luar biasa, apa yang istimewa?
Namun, saat melihat lukisan dinding ini, hatiku langsung bergetar hebat. Bahkan untuk sesaat aku terjebak dalam halusinasi: aku adalah harimau yang malas tergeletak di puncak gunung. Aku tahu puncak ini adalah wilayah kekuasaanku, hutan luas di bawah adalah kerajaanku. Setelah melalui masa-masa perkelahian, puncak ini menjadi bukti kejayaanku. Tanpa izinku, tak satu pun makhluk di kerajaanku berani mendaki puncak ini.
Halusinasi ini terasa sangat nyata, namun ingatan di dalamnya samar-samar. Hanya teringat bahwa hutan luas saat itu jauh lebih besar dari sekarang, dengan banyak tempat misterius yang selalu diselimuti kabut.
Dalam halusinasi ini, aku merasa telah berada lama, namun sebenarnya hanya satu dua detik. Saat sadar, tak kuasa menahan teriakan! Ini pengaruh dari kedalaman jiwaku - Si Bodoh!
Dengan keyakinan penuh, harimau di lukisan dinding itu pasti Si Bodoh. Aku tak menyangka bisa menyaksikan masa lalu Si Bodoh di sini. Bagaimana mungkin tak terkejut? Candaan "Si Bodoh pulang kampung" ternyata menjadi kenyataan.
Tak ada waktu untuk pertanyaan orang. Reaksi instingtifku hanya satu: menghubungi Si Bodoh. Tapi yang kudengar hanyalah kesunyian tidur lelap, bahkan terasa kesal dan peringatan: "Aku mau tidur, jangan ganggu!"
Mengapa Si Bodoh bisa begitu tenang menghadapi masa lalu? Ataukah sisa roh ini telah melupakan segalanya? Dalam kekaguman, Ruxue bertanya: "Harimau ini...?"
Ia selalu paham isi hatiku. Kutoleh ke Ruxue sambil menghela napas: "Sulit dipercaya? Terlalu kebetulan? Ini Si Bodoh, aku yakin."
Sambil berkata, kuperhatikan lagi harimau itu. Lukisan dinding tak berwarna kecuali mata hijau rubah. Tapi seolah kulihat Si Bodoh masa lalu: bulu bukan kuning atau putih, melainkan perak misterius nan agung. Siluet perak itu adalah raja hutan pegunungan!
“Ayo pergi, bagaimanapun hebohnya, waktu tetap berlalu. Yang sudah lewat bisa tercatat, tapi tak bisa ditahan. Isi hatinya memengaruhimu, tapi isi hatimu tak bisa memengaruhinya. Terlalu sering mengingat kejayaan masa lalu, itu sama saja menyiksa diri.” Ruxue berbicara dengan suara lembut.
Makna dalam kata-katanya sangat jelas. Aku dan Si Bodoh hidup dalam simbiosis, melihat 'kegagahan' diri sendiri pasti membuatku heboh. Tapi kegembiraan ini berasal dariku. Jika sisa roh Si Bodoh teringat sesuatu, ia akan menderita dengan keadaan sekarang. Penderitaannya dalam hal tertentu adalah penderitaanku juga. Ruxue tak ingin aku menderita.
Aku tentu menuruti perhatian Ruxue ini. Pandanganku beralih dari lukisan dinding itu. Perasaanku yang semula bergolak kini tenang mengikuti semua orang memasuki pintu gerbang aneh itu. Kak Cheng Xin tertawa di belakang, "Si Bodoh? Hal ini semakin menarik, siapa yang berani menyangkal ini takdir?"
Melangkah masuk gerbang bagai memasuki dunia lain. Kegelapan di dalam gerbang sudah tak bisa lagi diungkapkan dengan perasaan. Meski sepanjang perjalanan, kegelapan pekat seperti wujud nyata selalu menyertai kami, tapi kegelapan ini belum pernah se-substantif di dimensi ruang ini sekarang.
Mengulurkan tangan meraba, bisa merasakan sentuhan dingin itu, seperti kabut yang mengandung uap air! Tapi saat mengepal, tak bisa menggenggam apapun?
"Kak Cheng Xin, ada racun?" Nada bicaraku santai seperti bercanda, tapi keseriusan di dalamnya tak bisa disembunyikan.
Kegelapan selalu ada, seperti setiap hari yang pasti memiliki malam. Kegelapan juga selalu bisa menyembunyikan banyak hal, sehingga keberadaannya sendiri sering diabaikan oleh orang-orang. Sepanjang perjalanan ini, beberapa kali kurasakan ada keanehan dalam kegelapan ini, namun tak kunjung kutemukan alasan yang jelas. Bagaimanapun, ini adalah kedalaman bawah tanah, agak gelap itu wajar.
Jika kegelapan ini benar-benar bermasalah, seharusnya kami sudah TERKENA ILMU sejak lama. Dalam situasi seperti ini, hanya bisa meminta bantuan Kak Cheng Xin dari aliran pengobatan. Imajinasiku yang terbatas hanya bisa mengira-ngira tentang keracunan.
Kak Cheng Xin tentu paham maksudku. Ia menggelengkan kepala, berkata: "Tidak beracun, setidaknya dalam batas pengetahuanku, tidak ada racun. Tapi aku..."
Sebelum Kak Cheng Xin selesai bicara, Ruxue tiba-tiba menyela: "Memang tidak beracun. Hembusan napas mereka saja sudah menciptakan ini. Pernapasan itu sendiri merupakan bentuk ekskresi lain - mengeluarkan energi negatif yang membentuk kegelapan ini. Jika terlalu lama berada di dalamnya, yang terpengaruh hanyalah perasaan, misalnya - mudah jatuh dalam keputusasaan."
Ruxue? Kutatapnya dengan heran. Bagaimana bisa lagi-lagi dia yang tahu?! Seolah ia mengerti segalanya di tempat ini!
Nada bicaranya tadi seperti sedang menghafal, sekaligus merenung dengan perih, atau mungkin mendengarkan sesuatu dengan saksama. Semuanya terasa sangat aneh, membuat kegelisahan di hatiku semakin menjadi.
Beratnya sampai aku bahkan lupa bertanya, makhluk apa yang bernapas dan buang kotoran seperti ini.
Tapi saat itu, Ruxue menggenggam tanganku dan berbisik, "Cheng Yi, aku agak takut. Takut hal-hal mendadak ini memenuhi pikiranku, tapi pikiran terus menerawang. Seperti tadi, otakku terus memikirkan apa yang bisa dimakan ulat itu. Saat sadar kau mengejar ulatnya, sudah terlambat menghentikanmu. Cheng Yi, kurasa aku hampir bukan diriku lagi."
Kulembut memeluk Ruxue. Aku juga gelisah, tapi yang kukatakan adalah, "Kau tahu betapa gegabahnya diriku. Jika tidak mengejar ulat itu, barulah aku bukan diriku. Ini membuktikan tak ada yang berubah, kau pun tetap sama. Bukankah kita sudah sering menghadapi hal-hal aneh?"
Tubuh Ruxue sedikit bergetar, tapi tiba-tiba ia memelukku lebih erat.
