Sayangnya puncak gunung di sana lebih tinggi dari posisi kami. Tak seperti arwah tua Wu yang bisa melayang di udara, kami tak bisa melihat atau menebak-nebak siapa pendatang itu. Akhirnya kami memilih malas mikir panjang, berjalan santai menuju tujuan dengan kecepatan stabil.
Sambil berjalan, kukendalikan napas. Sesekali kukepalkan tinju. Urusan berantem? Jelas tugasku! Kusediakan vitalitasku sepenuhnya untuk ini!
"Belum berjalan jauh, Arwah Tua Wu sudah melayang kembali. Sebelum sempat bicara, Kak Cheng Xin bertanya: "Kau kenal?"
"Tidak kenal." Yang tidak dikenal tentu bukan musuhnya. Arwah Tua Wu terlihat lesu, menampakkan ekspresi tak bersemangat.
"Orang biasa?" Tanya Kak Cheng Xin lagi.
"Jelas bukan. Ada orang yang menggandeng kuda itu sangat hebat. Belum sempat mendekat saja sudah kurasakan aura hebatnya. Pasti bukan orang biasa." Peran Arwah Tua Wu sebagai 'pengintai' tetap dijalankannya dengan bertanggung jawab. Kami tidak menyalahkannya yang sedang 'lesu' ini, karena setelah ketegangan, ketakutan, kegembiraan, dan antisipasi tadi berakhir sia-sia, siapapun pasti akan seperti ini.
Aku diam saja. Praktisi spiritual yang datang pasti menuju Makam Siluman Besar. Daripada banyak bicara, lebih baik menyimpan tenaga untuk pertarungan nanti. Dalam hal seperti ini, apalagi terkait rahasia besar Makam Dewa, jelas tak ada prinsip universal yang berlaku.
Jarak antar jalur cukup dekat. Turun melalui lereng landai yang pendek, lembah kecil itu bisa dicapai dalam setengah jam. Setelah memanjat ke puncak lembah dan melihat tak ada orang di seberang, kami langsung melanjutkan turun. Puncak gunung di wilayah mereka lebih tinggi, jarak turun pasti lebih jauh. Dengan ketinggian seperti itu, kuda pun harus digandeng, wajar kalau perjalanan mereka lebih lambat.
"Kecepatan kami juga tidak cepat, berjalan menuju sepetak tanah datar di dasar lembah terpencil. Di tengah perjalanan, Kak Cheng Xin tiba-tiba tersenyum dan berkata padaku: 'Nanti saat turun, jangan langsung konyol menggali lubang legenda. Daripada buang tenaga, lebih baik meditasi untuk mengembalikan stamina fisik.'"
"Aku tidak mengerti? Daripada buang energi, lebih baik simpan untuk bertarung. Aku malah berharap mereka yang duluan sampai." Aku juga tersenyum menanggapi Kak Cheng Xin.
"Basa-basi! Biar mereka yang duluan menggali lubang, ngirit tenaga kita." Senyum Kak Cheng Xin semakin sumringah seperti musim semi.
Lao Zhang yang diam-diam mendengar percakapan kami tiba-tiba bersuara: "Si Cheng Yi memang nakal, tapi Cheng Xin yang kelihatan jujur ini ternyata licik juga!"
Perkataan ini membuat Xiao Xi terkekeh: "Iya deh, soal kejujuran mana ada yang bisa menyaingi orang timur laut kita?"
Ah, orang timur laut? Lebih tepatnya Musang Kuning timur laut kali.
Dalam hati aku merenung: Sebegitu tidak seriuskah aku dan Kak Cheng Xin? Xiao Xi dan Xiao Mao baru kenal kami sebentar saja sudah terpengaruh kelakuan kami. Mau perang masih bisa bercanda, benar-benar gerombolan tidak bisa diandalkan!
Bercanda dan tertawa, kami segera sampai di dasar lembah terpencil. Tempat ini memang aneh, tidak ada satu pun pohon, hanya hamparan dataran tertutup salju yang gundul. Aku tak sungkan, langsung duduk dan mulai bermeditasi untuk menenangkan napas. Sementara Kak Cheng Xin tersenyum semakin ramah, tangannya sibuk memainkan jarum emasnya, sesekali mengeluarkan satu dua bungkusan kertas kecil dari tasnya. Entah apa yang dia pikirkan sambil terus tersenyum.
Saat itu, rubah muda keluar dengan suara nyaring, lalu berjongkok di bahu Kak Cheng Xin.
Baru saja aku duduk, kebetulan melihat makhluk kecil ini sedang bersantai. Aku membuat muka lucu padanya dan berkata, "Wah, Yang Mulia bangun pagi sekali. Orang biasa tidur paling lama 10 jam, tapi Yang Mulia bisa tidur dua hari penuh. Ahli betul."
Rubah kecil itu langsung terlihat sangat bangga, seolah benar-benar mengira aku memujinya. Tiba-tiba aku merasa diri ini konyol - buat apa mengganggu rubah putih bodoh ini? Ah, maksudku rubah muda putih nan lugu.
Kak Cheng Xin tidak terima, langsung melompat membela si imut kesayangannya. Akupun berhenti meditasi, mulai adu mulut dengannya tanpa arah yang jelas.
Di tengah keributan, kudengar suara Xiao Mao yang panik, lalu Xiao Xi berusaha menenangkan: "Sudahlah, kita sudah naik perahu penjahat. Mau apalagi? Langit mau hujan, anak gadis mau dinikahkan - biarkan saja mereka. Aku juga merasa ini tidak masuk akal."
“Delapan payudara, kau bilang apa?” Kak Cheng Xin ‘marah’ menoleh sambil memaki, Xiao Mao segera menunjukkan reaksi meradang sungguhan dan hendak menggigit Kak Cheng Xin.
“Xiao Xi, aku salah menilaimu!” Aku juga ‘marah’ menoleh sambil memaki. Xiao Xi langsung berpura-pura polos dan menyedihkan. Ketika tak bisa lagi berpura-pura, dia tegas berpura-pura mengobrol mesra dengan Lao Zhang.
Lao Zhang bingung!
Namun tepat saat itu, tiba-tiba kudengar suara melengking Arwah Tua Wu berteriak: "Cheng Yi, selamatkan aku!"
Menyelamatkan nyawa? Teriakan Arwah Tua Wu ini jelas bukan gurauan. Aku dan Kak Cheng Xin hampir bersamaan menoleh keras, hanya melihat Arwah Tua Wu ketakutan melayang di langit yang justru terlihat kosong.
Memutar pandangan, kulihat di bagian atas lembah terpencil muncul sekelompok orang. Beberapa diantaranya menunggang kuda, sementara seorang lainnya menuntun kuda. Jaraknya terlalu jauh dan pakaian mereka terlalu tebal, membuat wajah mereka samar terlihat. Namun terlihat jelas seorang penunggang kuda memberikan teropong kepada si penuntun kuda.
Sesaat kemudian aku tersadar, Mata Ketiga segera terbuka. Kini terlihat jelas beberapa hantu jahat penuh dendam sedang menerjang Arwah Tua Wu di langit.
Arwah Tua Wu yang sembrono selama ratusan tahun ini memang tak punya keahlian berarti. Bertemu hantu dendam yang takkan mati, ia benar-benar tak mampu melawan.
Namun bagi aku, ini benar-benar hanya trik receh. Saat ini aku menenangkan dantian, menahan napas yang mengandung Energi Yang murni, mengalirkan energi sesuai metode khas keturunan Lao Li, lalu berteriak ke langit: "Pergi!"
Teknik teriakan keturunan Lao Li sangat dahsyat. Teriakan ini menyimpan Energi Yang, mengandung tenaga dalam yang bisa mengguncang napas, ditambah kehendak kuat yang meledak seketika. Mengusir beberapa hantu dendam sama sekali bukan masalah.
Tenaga dalamku masih dangkal karena terbatas waktu. Jika guruku yang melakukannya, satu teriakan 'pergi' pasti bisa menghancurkan hantu kelas dasar seperti ini.
Meski tampak sederhana, teknik ini tak mungkin dikuasai tanpa latihan bertahun-tahun.
Hantu-hantu dendam yang dilepaskan di sana langsung tercerai-berai oleh teriakanku, seolah tubuh mereka tak terkendali. Aura roh mereka pun melemah, untuk sementara tak berani mendekat. Lagipula ini cuma hantu kelas rendah, mana bisa menyaingi siluman kelas atas? Sama seperti si kecil!
Manfaatkan kesempatan ini, Arwah Tua Wu segera melayang kembali ke sampingku. Begitu sampai, makhluk ini langsung desè.
Aku malas menghiraukannya. Saat ini pandanganku bertemu dengan pria yang menggandeng kuda itu, karena gerakannya aneh - tangannya memberi isyarat memanggil kembali beberapa hantu dendam.
Apa ini pertanda menyerah? Aku belum paham!
Arwah Tua Wu semakin Desè, melayang-layang di sampingku sambil berteriak: "Cheng Yi, kau harus bantu aku balas dendam! Kau lihat tadi, si brengsek tak berkuda itu melepaskan hantu dendam untuk menelanku. Pukul si tak berkuda itu!"
Aku merasa ada yang aneh dari ucapan Arwah Tua Wu, tapi tak disangka si pemanggil hantu yang sudah menaklukkan roh itu tiba-tiba meledak marah. Tanpa peduli apapun, dia menerjang sambil memaki: "Dasar keparat! Akan kuhajar kau sampai mati! Kau yang tak berkuda! Seluruh keluargamu tak berkuda!"
Cheng Xin tersenyum licik dan berbisik padaku: "Sebenarnya yang berkuda lebih menarik. Tapi siapa bisa menyangkal plot ceritanya? Cheng Yi, ini jalan wajib pembinaan hati kita."
Kutatap Kak Cheng Xin, lalu tiba-tiba tertawa melihat si penerjang itu. Dengan temperamen sombongnya, disebut "tak berkuda" oleh Arwah Tua Wu, wajar saja dia murka.
Siapa itu? Mungkin karena jarak dan pakaian tebal, aku tak bisa mengenalinya. Tapi dari suaranya langsung kuketahui: si "tak berkuda" yang datang itu adalah Xiao Chengqian.
Tak sempat menjelaskan, kuteriakkan ke arah Xiao Chengqian yang sedang berlari ke lembah: "Xiao Chengqian, kenapa kau datang?"
Mungkin masih emosi, dia membalas teriakan: "Kau boleh datang, aku tidak?!" Terus menerjang turun, meski harus jatuh jungkir balik di lereng bukit itu.
Hanya dalam hitungan menit, Xiao Chengqian sudah bergegas sampai di depan kami. Orang-orang di belakangnya segera menyusul.
Tapi begitu sampai, Xiao Chengqian langsung tak peduli ingin bicara denganku. Dia malah hendak menggunakan ilmu Tao pada Arwah Tua Wu. Kutahan dia dan kutenangkan, tapi Xiao Chengqian berteriak padaku: "Chen Cheng Yi, meski kau jadi Tuan Perang di antara para tuan hari ini, aku takkan jaga gengsimu lagi! Aku harus menghajarnya!"
Arwah Tua Wu memandangku dengan wajah polos sambil berkedip-kedip. Dia bertanya: "Cheng Yi, ini kenalanmu? Apa aku salah bicara sampai bermusuhan dengannya?"
