Api unggun berkobar-kobar. Kami semua yang tersisa kini duduk hening di lereng bukit yang terlindung angin.
Tidak terburu-buru menuju Makam Siluman Besar untuk mengambil siluman, hanya karena setelah Ruyue melampiaskan kesedihannya, Ruxue berkata: "Cheng Yi, Guru leluhurmu sudah mempersiapkan segalanya di bawah sisa roh ini. Orang lain hanya bisa menghancurkan atau tidak bisa mengambilnya. Saat ini, mungkin sudah ada orang yang mampu melihat masalah ini, menunggumu mengambil siluman itu lalu bertarung lagi di depan Makam Dewa."
Aku tidak mengerti mengapa Ruxue tahu begitu banyak dari awal sampai akhir. Saat itu juga tidak ada perasaan untuk menanyakannya. Karena sudah dikatakannya begitu, kami pun tidak terburu-buru mempercepat perjalanan. Hanya sampai malam, mencari tempat untuk berkemah.
Karena terjadi Perubahan Mendadak ini, setiap orang di perjalanan terdiam. Xiao Xi dan Xiao Mao meski tak tahu apa yang terjadi, patuh mengikuti dalam diam. Bai Hui'er terjatuh di belakang, tentu saja dia juga tidak membuat suara.
Atmosfer seperti ini terlalu menyiksa. Setiap orang melakukan hal dalam diam: berjalan, berkemah, menyalakan api. Lao Zhang mencari makanan. Bahkan Qinhuai dan Arwah Tua Wu yang sudah paham kemungkinan Ruxue akan pergi, kehilangan 'keceriaan' sehari-hari. Qinhuai hanya sengaja/tidak sengaja suka memukul-mukul bahuku memberi penghiburan. Arwah Tua Wu sesekali memandangku dengan tatapan mengiba.
Apakah aku layak dikasihani?
Saat ini, api unggun memanggang makanan, Lao Zhang yang telaten juga tak lupa setiap kali merebus sepanci sup untuk menghangatkan tubuh kami. Namun suasana hening terus berlangsung hingga kini, hanya tersisa suara 'gubrak-gubrak' dari panci sup yang seolah mengejek atmosfer muram ini.
‘Braak! Braak! Braak!’, suara Lao Zhang menghentakkan panci rokoknya. Kemudian suaranya yang sarat kenangan mengharukan masuk ke telinga kami: "Aku belum lama kenal kalian, harusnya malu mau mengaku punya hubungan baik. Bilang saja kita sudah jalan bareng beberapa hari bahagia, punya perasaan yang dalam. Entah kalian mengakui atau tidak? Tapi akui atau tidak, aku tetap akan ngomong."
Sampai di sini, Lao Zhang mengeluarkan kantong arak dari dalam bajunya, menenggak besar. Aku ingin merebutnya untuk minum, tapi tak disangka Lao Zhang yang semenjak Pertarungan Ilmu selalu bersikap khidmat pada kami tiba-tiba melirik tajam, berkata: "Penakut! Buat apa minum arak sekarang? Dengarkan dulu sampai aku selesai bicara."
Aku tidak bersikeras, tapi Lao Zhang menghela napas dan mulai bercerita: "Aku orang yang sudah melewati banyak hal. Istri sudah menemani lebih dari 20 tahun, anak laki-laki juga sebentar lagi masuk universitas. Kebahagiaan terus mengalir seperti ini, tak ada penyesalan. Aku juga orang biasa, tak paham perpecahan dan rekonsiliasi para praktisi spiritual seperti kalian. Tapi bagaimanapun, konsekuensinya cuma satu: dua orang yang saling mencinta harus berpisah. Apa bedanya dengan perpisahan dua orang biasa di dunia fana? Lihatlah dunia ini, berapa banyak pasangan yang akhirnya berpisah dan menjalani hidup masing-masing? Hidup itu apa? Beras, garam, kecap, cuka, teh – siapa bisa lepas dari ini? Ambil contoh diriku sendiri. Masa muda dulu suka seorang gadis sampai ke tulang sumsum. Sekarang kadang kalau sedang santai, masih terpikir: bagaimana kabarnya sekarang? Wajahnya seperti apa sekarang? Apa ia masih ingat padaku?"
Sampai di sini, Lao Zhang menenggak arak lagi lalu melanjutkan: "Kuceritakan ini tak takut kalian menertawakanku. Gadis itu akhirnya berpisah denganku juga. Alasannya? Hehe, karena waktu itu aku hidup di gunung tinggi. Orangtuanya jijik, lalu mencarikan dia karyawan pabrik. Tapi lihatlah aku sekarang – bukankah baik-baik saja? Sekalipun teringat padanya, segera terinterupsi oleh istri yang menyuruh beli botol cuka, atau anak laki-laki pulang sekolah malah kabur main – harus kucari. Karena mengingatnya, tak lebih penting dari urusan remeh-temeh hidupku sekarang! Mengerti? Menurutku kalian berdua kurang keluwesan. Tahu apa pendapatku?"
Lao Zhang mengatakan sampai sekarang, aku dan Ruxue tetap mendengarkannya dengan serius. Awalnya kami tidak punya mood, kami menatapnya, menunggu dia memberi kami jawaban. Orang dalam situasi sulit melihat kebenaran, seperti aku dan Ruxue, tidak ada yang benar-benar melepaskan di hati. Ketidakrelaan ini tertinggal di hati, akhirnya akan menjadi 'iblis'!
"Yang penting, kalian berdua saat saling menyukai, benar-benar tulus mencintai satu sama lain. Perempuan mau pergi, boleh, jelaskan alasannya. Laki-laki tidak bisa menahan, boleh, lebih lapang dada, beri berkah, biar perempuan tenang. Apa yang perlu disesali? Apakah kalian saling mengkhianati? Coba katakan, di dunia fana ini, bisakah kau menuntut semua sesuai keinginanmu? Ini aneh!! Tidak sesuai keinginanmu, lalu kau tidak hidup baik-baik? Kau harus melakukan hal egois, menyusahkan hidup sendiri, ini juga aneh!!" Lao Zhang minum arak lagi setelah selesai bicara, lalu berbisik: "Masalah perasaan, selama dua orang yang saling suka tidak saling mengecewakan, itu sudah cukup. Berusaha, tapi tidak ada hasil, lepaskan! Seperti gadis itu, saat aku menyukainya, dia juga menyukaiku, baik padaku. Apa yang perlu kusimpan dendam? Apakah ada yang bisa bilang ini tidak pernah ada? Gerombolan sialan! Kalau aku dulu memaksakan menikahinya, membawanya kabur bersama, seumur hidup tidak bertemu orang tua? Tidak mungkin! Dia sudah tidak mengecewakan aku. Dia nanti menikahi orang yang baik padanya, itu sudah cukup."
Aku dan Ruxue terdiam. Perkataan Lao Zhang ini sangat sederhana namun luar biasa mendalam. Ini adalah kebijaksanaan hidup paling dasar dari orang biasa. Saat itu, keinginan yang kami panjatkan memang seperti ini: bercinta selama enam bulan lalu berpisah. Tapi nyatanya tak bisa terpisahkan, perasaan masih membelit. Hanya karena kami tak mampu melihat jernih, juga tak sanggup melepaskan.
"Baiklah, yang ingin kusampaikan sudah kuucapkan. Apa kalian berdua merasa perlu berkomunikasi? Sekarang salju sudah berhenti, ada bulan. Pemandangan hutan tua ini cukup indah. Berjalan-jalanlah, berbincanglah. Mungkin hati akan menjadi lega." Lao Zhang menatapku dan Ruxue.
Ruyue bersandar di bahu Ruxue, memandangnya dengan berat hati. Ruxue menepuk-nepuk bahu Ruyue. Sampai sekarang kami belum sempat bertanya bagaimana dia dan Qinhuai bisa sampai ke sini.
Tapi sekarang bukan saatnya menanyakan hal itu.
Ruxue memeluk Ruyue sebentar lalu berkata: "Benar. Aku tak boleh lari lagi. Setidaknya harus memberi penjelasan pada Cheng Yi."
Baru saat ini Ruyue tersadar. Mungkin dibandingkan dirinya, rasa sakit di hatiku tak kalah dalam. Akhirnya dia melirikku dengan tatapan khawatir.
Aku berdiri dan berkata: "Ya, aku akan mendengarkan."
※※※
Hutan tua di bawah sinar bulan benar-benar indah seperti kata Lao Zhang. Cahaya bulan menyirami pepohonan putih dan tanah bersalju, membungkus segala sesuatu dengan kilau perak yang berkelap-kelip bagai dunia mimpi.
Aku dan Ruxue berjalan sunyi di tengah hutan ini. Langkah kaki menginjak salju yang berderak 'kreek-kreek' di tanah. Di belakang, Bai Hui'er mengikuti dari jauh, menjaga kami dari binatang buas. Semuanya terasa indah dalam keheningan.
"Waktu itu, di hatiku ada satu harapan. Kau tahu apa?" Aku membuka mulut, embusan napas panjang menguap putih di udara lalu cepat menghilang.
"Apa?" tanya Ruxue, dengan natural tangannya menyelip di lenganku. Hati pun terasa hangat. Mungkin perkataan Lao Zhang benar-benar membuka kesadaran Ruxue, sama sepertiku.
"Meski Yueyan Miao Zhai sangat indah, tapi kalau kita cuma pacaran di situ terus, sayang sekali. Aku ingin mengajakmu keliling banyak tempat. Misalnya melihat laut, mendaki gunung besar. Paling tidak juga ke Danau Barat." Kubicara se-tenang mungkin. Meski hatiku masih perih, aku tahu Lao Zhang bicara benar.
"Bagus sekali." Jawaban Ruxue tetap singkat, tapi sungguh tulus.
"Memang bagus. Tapi waktu itu cuma bisa berkhayal. Janji kita nonton bioskop setahun sekali, Ruxue, jujur itu yang paling kunanti-nanti tiap tahun. Ke hutan tua ini, aku sangat senang. Rasanya seperti traveling barengmu." Kutatap bulan di langit.
"Maafkan aku, Cheng Yi. Aku tak bisa temanimu nonton lagi. Aku harus pergi. Bukan pergi, tapi tinggal." Suara Ruxue penuh penyesalan.
Akhirnya, ia mulai bercerita padaku.
"Tinggal? Hmm, katakan." Aku tahu malam ini Ruxue pasti akan mengaku semuanya. Aku menanti kelanjutan perkataannya, sambil terus mengingat perkataan Lao Zhang - harus memberkatinya, membiarkannya pergi dengan tenang.
"Ya, tinggal. Karena aku akan menjadi penjaga makam." Ruxue menatap profil wajahku, akhirnya mengeluarkan jawaban!
