Dibandingkan dengan Guruku yang pergi dengan tenang dan damai, kepergian Guru leluhur terlihat jauh lebih megah. Kali ini pelepasan kekuatannya benar-benar terlihat oleh semua orang - kabut keemasan yang samar terlepas dari tubuhku, lalu menghilang dengan kecepatan luar biasa ke dalam celah hitam itu.
Sementara celah hitam itu juga perlahan mulai menghilang...
"Ini pasti bukan ilmu Zhongmao, kan?" Kak Cheng Xin menatap takjub sambil bergumam. Setiap tahun kami selalu memanggil senior dengan ilmu Zhongmao, tapi dalam pemahamannya ilmu itu tak mungkin sehebat ini.
Apa sebenarnya itu? Aku pun tak tahu. Saat ini pikiranku terlalu kacau untuk merenung. Begitu tubuhku bisa bergerak bebas, langkahku langsung melangkah menuju pintu gerbang makam!
Guruku ada di dalam. Ruxue juga di dalam. Hanya itu yang berkecamuk dalam hatiku...
"Nak, kau berani..."
"Chen Cheng Yi, kau cari mati?!"
Begitu kakiku melangkah, teriakan-teriakan marah mulai bergema dari arah sana. Bagi mereka, pertempuran belum usai. Berani-berannya aku mencoba mengambil keuntungan dengan memasuki Makam Dewa saat kekacauan. Tapi pemicu sebenarnya bukan aku - mereka jelas melihat Guruku juga masuk ke Makam Dewa tadi!
Dalam gemuruh umpatan itu, terdengar tawa melengking: "Ha ha ha ha, nak, masih ada jurus lain? Jika tidak, bersiaplah mati!"
Dengan mati rasa aku mengenali suara Weng Li, namun lupa sama sekali bahwa Kepala Hantu belum musnah, Guru Leluhur dan Guruku telah pergi, kami kini berada dalam bahaya terbesar.
Hati dan pikiranku hanya terpaku pada keinginan mencari Guruku, menemukan Ruxue, dan memeluknya lagi! Tatapanku menjadi obsesif dan gila, kepala kuputar bagai robot. Sekejap, segala di sekeliling berubah menjadi pantomim bisu.
Weng Li tertawa histeris, mengabaikan teriakan kakek tua di sampingnya. Apakah si kakek itu berteriak agar nyawaku diselamatkan? Entahlah!
Kak Cheng Xin juga berteriak sesuatu padaku, matanya berkaca-kaca oleh kepanikan. Mengapa terburu-buru? Lalu kulihat Arwah Tua Wu, Xiao Xi dan Xiao Mao berjuang bangkit sambil merengek tajam. Arwah Tua Wu melesat mendekatiku dengan kecepatan maksimal - apakah ia akan menjelma jadi Hantu Jahat lagi?
Tiba-tiba, suatu benda membesar tak terkira di depan mataku. Gelegak energinya menghembus angin yang akhirnya menggema di telinga yang tadi tuli oleh sakit hati. Benda itu adalah tinju Kepala Hantu!
Pada saat itu, aku masih bisa tersenyum. Si Kakek ini baru saja dipukuli oleh Guru leluhur dan Guruku. Apakah kemarahan yang terpendam ini akan dilampiaskan padaku? Benar, aku akan mati. Ruxue, rupanya bukan aku yang kehilanganmu, tapi kamulah yang akan kehilangan aku lebih dulu...
Mungkin lebih baik kau tidak melihat adegan ini, apakah hatimu tidak akan terasa begitu pedih?
Aku menutup kedua mataku. Kukira jika mati dengan tujuan mulia, aku akan tersenyum. Namun dua garis air mata masih mengalir di pipiku. Terlalu banyak penyesalan: Guruku akhirnya tidak sempat bertanya mengapa dia diam-diam pergi, Ruxue tidak bisa memeluknya sekali lagi, tidak bisa merawat orang tua, teman-teman tidak bisa menemani mereka minum arak lagi...
Aku menanti saat rohku hancur berkeping-keping. Energi dahsyat yang akan menabrak rohku pasti akan mengakibatkan konsekuensi seperti ini. Aku teringat adegan saat Dian Dian si kecil hantu itu diselamatkan, cahaya-cahaya kecil beterbangan di udara...
Tapi rasa sakit luar biasa yang kuantisipasi tak kunjung datang. Hanya karena kudengar gemuruh harimau yang memekakkan telinga! Angin topan menerpa wajahku hingga hampir membuatku terjatuh. Lalu gelombang energi dari tabrakan dua roh itu menyebar, bahkan rohku sendiri bergetar ketakutan!
Apa yang terjadi? Gemuruh harimau, apakah Si Bodoh sudah keluar?
Aku bahkan belum sempat membuka mata, sudah mendengar seluruh lembah 'mendidih'. Mendidih ini berasal dari teriakan dan kekagetan seratus lebih orang yang serempak. Hingga saat ini, pertempuran besar ini sudah berkali-kali mengejutkan, namun belum pernah sekalipun terasa seragam seperti ini.
Mataku akhirnya terbuka. Yang pertama terlihat adalah wajah Arwah Tua Wu yang tertegun luar biasa. Dia ternyata sudah 'melayang' mendekatiku tadi. Lalu tatapanku beralih, dan aku melihat—dengan rasa malu—aku juga spontan berteriak kaget!
Empat siluman—muncul bersamaan!
Tiba-tiba, kurasakan energi purba menyapu seluruh lembah. Energi ini membawa kekuatan berbeda dari 'energi spiritual' para praktisi, membuat semua orang bergelora. Tapi manusia hanya bergelora, sedangkan Xiao Xi dan Xiao Mao tiba-tiba jadi bersemangat!
Sekalipun bodoh, kini aku paham: Makam Naga telah terbuka. Energi purba ini adalah sisa-sisa naga raksasa yang telah mati bertahun-tahun. Bagi siluman, ini adalah suplemen terhebat!
Bayangkan seperti melemparkan praktisi spiritual ke tempat yang penuh energi spiritual. Di sana, tanpa perlu meditasi aktif, setiap tarikan napas adalah energi spiritual. Betapa idealnya keadaan itu?!
Maka kulihat di udara—seekor harimau bodoh sepanjang 10 meter dengan bulu perak bergaris hitam keemasan, taringnya kembali ke nenek moyang Smilodon purba—sedang memperlihatkan giginya dengan garang pada Raja Kepala Hantu!
Melihat rubah bermata hijau dengan bulu putih seperti platinum sepanjang 7-8 meter yang sedang duduk anggun di langit, mata hijau penuh daya pikat memandang malas ke bawah sambil mengibas-ngibaskan tiga ekornya.
Menyaksikan ular perut raksasa yang tubuhnya memenuhi langit dengan sisik hitam berkilauan seperti giok hitam, mata sipit yang dingin, lidah bercabang terus menjulurkan aura bahaya tingkat tinggi.
Juga melihat kura-kura mistis Xuan Gui yang tubuhnya lebih besar dari Si Bodoh, hampir memenuhi separuh langit, cangkang kuning transparannya memberikan kesan kokoh tak tertembus meski terlihat santai.
Benar! Tulisan "Si Pemalas" yang sebelumnya terukir di punggungnya telah berubah menjadi karakter "Xuan Gui"!
Ya! Empat Siluman Besar - terkumpul lengkap dalam wujud aslinya! Aura naga purba ini sangat menyuburkan roh, membuat Si Bodoh dan ketiga siluman lain kembali ke kondisi puncak mereka!
Adakah kejutan yang lebih mengejutkan dari ini? Teriakan takjub serempak itu sama sekali bukan berlebihan!
Tidak heran Guru leluhur berkata, perhitungan waktu masih bisa dijarangkan. Tidak heran saat beliau muncul, selalu memandang empat siluman roh dengan tatapan penuh makna. "Kami menjaga harta karun tapi tak bisa memanfaatkannya," rupanya di tempat ini, begitu makam dibuka, napas Naga akan memperkuat empat siluman roh. Kami memang sudah berada di posisi tak terkalahkan!
Dulu Naga itu juga berhitung seperti ini ya? Empat siluman menjaga makam mereka sendiri, paling tidak setelah makam dibuka, aura siluman mereka yang telah mati akan memperkuat empat siluman. Dengan begitu, itu sama seperti menambahkan lapis perlindungan ekstra untuk makam mereka sendiri!
Sayangnya, takdir tak bisa ditebak. Keempat siluman itu telah tiada, dibunuh oleh ulat jahat yang melawan takdir. Tapi roh siluman itu akhirnya berpindah ke tangan keturunan Lao Li...
Meski begitu, memandang empat siluman roh yang gagah perkasa dan berenergi dahsyat di langit, aku tak bisa menahan kerinduan akan zaman itu. Di hutan tua ini, empat siluman menguasai dunia, betapa hebat dan perkasanya!
Berandai lebih jauh, di era terakhir kemegahan dimana para praktisi spiritual bermunculan, Kunlun mewariskan ajaran, dan peradaban Tiongkok masih menjaga warisannya secara utuh - Zaman Ming!
Kini kami hanya bisa berusaha sekuat tenaga, agar api unggun Tiongkok ini jangan padam. Agar peradaban kuno dan warisan leluhur suatu hari nanti bisa bersinar kembali. Itulah yang harus benar-benar kami warisi, setiap orang Tionghoa yang mengalirkan darah Tiongkok dalam jiwa, tak boleh dilupakan.
Dalam gejolak perasaan, pikiranku melayang jauh. Tapi selalu saja muncul kalimat ini dalam benak: "Api habis, nyala diteruskan; abadi tak kenal henti!"
‘Hoo’ adalah teriakan Si Bodoh di langit, disertai rengekan Rubah Bermata Hijau, desisan Ular Perut Siluman Besar, dan gelengan kepala Kura-Kura Hitam Siluman yang malas bersuara!
Teriakan ini merupakan deklarasi status raja Si Bodoh. Hanya dengan satu teriakan, Sang Raja Kepala Hantu itu mundur beberapa langkah, dengan bekas cakaran segar di tinjunya. Jelas itu bekas Si Bodoh yang baru saja menyelamatkanku.
Dengan suara 'bruk', Weng Li terjatuh duduk. Tatapannya linglung, wajahnya dipenuhi ketakutan, namun bibirnya komat-kamit bergumam: "Tamat... tamat... tidak ada jalan keluar lagi."
Tak ada yang membantah. Kenyataan memang pahit! Jangankan Empat Siluman Berkumpul, satu saja dari mereka sudah cukup untuk mengalahkan Sang Raja Kepala Hantu. Bagaimanapun, yang mereka hadapi adalah siluman berusia ratusan tahun, murid dari seekor Naga dalam legenda!
"Cheng Yi, masuk ke makam. Aku yang akan berjaga." Sebuah pikiran merasuk ke dalam rohku. Suara Si Bodoh! Aku menatap penuh haru dan takjub. Takjub karena ini ekspresi paling jelas darinya, haru karena janjinya untuk melindungi.
Dengan pandangan dingin ku melirik ke arah orang-orang di sana. Kuanggukkan kepala pada Xiao Chengqian, lalu kuangkat Xiao Xi dan Xiao Mao. "Si Bodoh pasti akan membalaskanmu," kataku pada Arwah Tua Wu sambil memanggil Kak Cheng Xin. "Mau ikut kami masuk?"
“Tunggu sebentar, aku ingin melihat si senjata itu dimusnahkan. Aku bisa merasakannya berada di antara kerumunan itu.” Begitu jawaban Arwah Tua Wu padaku.
Aku mengangguk, hati sudah tak sabar memasuki makam. Kubicarakan pada Arwah Tua Wu: “Kalau begitu kau masuk nanti!” Lalu berjalan menuju pintu gerbang di sana.
Kali ini tak ada yang berani memakiku sedikit pun. Perhatian semua tertuju pada pertarungan di udara—bukan, pada pembantaian sepihak itu. Keempat siluman besar turun tangan, napas mereka saja sudah membuat Raja Kepala Hantu tak bisa bergerak.
Perlawanan tetap ada, namun tak berarti apa-apa. Kulemparkan senyum tipis ke langit, menyaksikan keempat makhluk itu sedang menelan Raja Kepala Hantu dengan penuh kepuasan!
“Kira-kira ini sudah selesai? Sudah selesai? Kalian takkan bisa masuk!” Tiba-tiba Weng Li yang sudah putus asa berteriak. Tangannya dengan gila-gilaan membentuk dua segel tangan.
Raja Kepala Hantu yang tadinya terkonsolidasi tiba-tiba menghilang!
