Keputusan tentang arah masa depan adalah cara terbaik untuk meredakan kesedihan yang ada.
Seperti saat ini, aku masih merindukan Guruku, tapi aku tahu di masa depan aku akan mengejar Guruku. Dengan adanya tujuan ini, kesedihan tidak begitu terasa, memungkinkanku melewati banyak masa-masa sulit.
Contoh lain, dengan Ruxue, kami telah memutuskan untuk saling memberkati di masa depan. Keputusan untuk mencintai tanpa penyesalan membuat rasa sakit perlahan memudar bersama ketenangan, karena tidak ada penyesalan dalam hati kami.
Seperti yang pernah tak sengaja diucapkan Hui Dàye saat mengobrol dengan Guruku dahulu: "Hidup adalah menjalani proses. Takdir langit memperlihatkan akhir bukan pada kematian, tapi apakah keadaan meditasi tingkat hatimu mencapai tahap tertentu saat mati. Singkatnya, proses kehidupan adalah bentuk pelatihan."
Jadi, apakah akhirnya bisa menemukan Guruku atau bertemu Ruxue bukanlah hal krusial. Yang penting hidupku kembali memiliki arah, sehingga saat mata ini terpejam, aku telah mengalami segalanya dengan ketenangan batin.
Inilah makna sebenarnya dari "mengerahkan usaha manusiawi dan menerima takdir langit".
Kutatap coretan-coretan Guruku sejenak, menelan sesak di dada, menggantinya dengan ketenangan, lalu berjalan menuju bantal duduk di ruangan itu. Tentu saja aku paham maksud tulisan yang ditinggalkan Guruku. Sudah pasti aku mengerti.
Mengambil bantal duduk itu, aku merobek kain kuning yang membungkusnya. Di bagian tengah yang memang sudah dilubangi, tergeletak sebuah cambuk debu. Aku sangat familiar dengan alat ritual ini - warisan Guru leluhur untuk Guruku. Pada cambuk itu tertanam rantai logam khusus yang digunakan bersama 36 Jurus Tongkat Debu, menjadikannya senjata spiritual yang luar biasa. Inilah alat andalan Guruku yang paling diandalkan dan 'dibanggakan'. Sekarang, alih-alih menyimpannya, dia justru menyembunyikannya dalam bantal duduk untukku.
Perasaanku yang sudah mulai tenang kembali bergejolak melihat cambuk ini. Seperti yang kuduga, Guruku masih menyimpan keinginan terhadapku. Bagai seorang ayah yang menghadapi anak laki-laki keras kepala yang tak mau mengikuti nasihatnya, meski dipenuhi kemarahan dan kepasrahan, tetap ada rasa kesakitan hati. Seperti diam-diam menyelipkan setumpuk uang dalam barang bawaan anak yang akan merantau, inilah cara diam-diamnya menyatakan: "Aku tidak setuju dengan pilihanmu, tapi Ayah akan selalu mendukung dan merindukanmu."
Dengan diam aku menyimpan cambuk debu itu. Kuhela napas dalam-dalam. Udara dingin yang menusuk di pintu masuk berhasil meredakan gejolak hati. Setidaknya kini aku mengerti, hatiku telah mendapatkan penghiburan. Amarahku karena ditinggalkan Guruku tanpa sepatah kata pun, telah tersapu lembut oleh cambuk debu ini.
Dengan tenang kuletakkan cambuk itu, lalu berbalik menggandeng tangan Ruxue. "Ayo, aku akan mengantarmu sebentar lagi."
Ruxue mendekatkan tubuhnya, membiarkan tanganku menggenggamnya. "Ya," bisiknya pelan.
Dan Kak Cheng Xin menghela napas, tetap hening tanpa berkata apa-apa. Tragedi atau komedi cinta selalu dilihat dari sudut pandang orang luar, rasa sebenarnya bagai meminum air - dingin atau panas hanya diri sendiri yang tahu.
Penyesalan yang kau rasakan belum tentu dianggap penyesalan oleh orang lain. Kebahagiaanmu belum tentu dirasakan sebagai kebahagiaan oleh mereka.
Kak Cheng Xin memahami ini, sebuah helaan napas tanpa komentar justru menjadi sikap terbaik.
Kami bertiga diam-diam meninggalkan ruang sunyi itu. Jarak tersisa hanya 3-5 meter, tanganku semakin erat menggenggam tangan Ruxue, dan ia membalas genggaman itu.
Prinsip universal memang dipahami, tapi duka tetap membutuhkan waktu. Emosi dan logika takkan pernah seimbang sempurna selama ada perasaan yang terlibat.
Di sini tak ada lentera Changming lagi. Dalam gelap, derap langkah kami bergema di koridor, hingga tiba di depan dinding layar. Kami tak berhenti, diam-diam mengitari dinding itu dan melanjutkan perjalanan.
Di balik dinding layar, terbentang koridor lain sepanjang 10 meter. Hanya satu lentera Changming yang menyala sepi, menerangi koridor dengan cahaya redup yang menciptakan ilusi tak nyata.
Sedikit cahaya ini sudah cukup untuk melihat ujung koridor - di sana berdiri pintu gerbang perunggu yang terkunci rapat.
Ulat-ulat beterbangan di belakang Ruxue, bagawan hitam besar di belakang kami bertiga. Tapi bahkan jika awan hitam itu benar-benar turun hujan, takkan bisa menyelaraskan diri dengan duka di hatiku - yang tak terucapkan ini hanya bisa kutahan dalam diam.
“Berjalan menggandeng tangan di koridor ini, aku mencoba berbicara dengan tenang pada Ruxue: 'Apakah ini jalan terakhir dalam hidupku di mana aku dan kau bisa berjuang bersama?'”
“Mungkin iya, mungkin tidak. Sebelumnya ada hal yang belum kukatakan, sekarang hatiku tak tenang. Masih ingin mengingatkanmu sekali lagi, jika benar-benar tak bisa dilupakan, simpanlah di dasar hati. Tapi kau tetap bisa hidup tenang, bahagia, dan damai. Inilah berkah yang kuberikan untukmu.” Ruxue berkata dengan suara lembut.
Genggamanku pada tangan Ruxue semakin erat, tanpa menatapnya, mataku tertuju pada pintu gerbang perunggu yang semakin dekat: “Aku tahu. Aku juga percaya satu hal: bahkan jika suatu hari langit runtuh dan bumi terbelah, takkan mengubah fakta bahwa aku mencintaimu, pernah mencintaimu sangat dalam. Semua itu tertinggal dalam waktu. Aku tidak mendendam, tidak membenci. Ini sudah cukup. Bertahun-tahun hidupku kuserahkan untukmu. Di tahun-tahun itu, hanya ada satu gadis bernama Ruxue di hatiku.”
“Sungguh indah.” Ruxue berbisik tenang, namun sekejap kemudian kami sudah sampai di depan pintu gerbang perunggu.
Ruxue menatapku dengan senyum tipis di sudut bibir. Aku pun membalas senyumannya dengan ekspresi serupa. Jika harus berpisah, mengapa tidak saling memberikan senyuman? Meski itu hanyalah senyum getir.
“Aku harus pergi.” Ruxue mulai berbicara padaku.
“Kau pernah bilang kita bisa punya akhir seperti apa? Aku bilang hidup manusia sejak lahir sudah menuju kematian. Jika tak bisa mati di tahun, bulan, hari, dan jam yang sama, maka akhirnya pasti berpisah hidup atau mati. Jadi waktu bersama adalah akhirnya. Ruxue, sekarang kita sudah punya akhir, kan?” Aku menatap Ruxue sambil tersenyum pahit, tenggorokan terasa mengganjal.
“Hm, ini sudah akhir. Bertahun-tahun kau mencintaiku, aku mencintaimu, saling menjadi satu-satunya. Bedanya kita tak mati saat itu. Orang lain lihat pasti mengira ini bukan akhir. Tapi apa pentingnya? Bagi kita berdua, ini sudah cukup sebagai akhir. Dan sangat membahagiakan, tanpa penyesalan.” Saat mengucapkan ini, tangan Ruxue mengelus lembut pipiku.
Kugenggam tangan Ruxue, akhirnya kutarik ia ke pelukanku. Kupeluk erat-erat sambil berbisik perlahan: “Sebenarnya aku tak pernah rela. Aku tak tega melepasmu.”
“Harus menunggu sampai kau rela?” Ruxue jarang 'nakal' seperti ini. Ia diam dalam pelukanku, lama kemudian baru melepaskan diri. Matanya menatapku serius: “Cheng Yi, aku harus pergi.”
“Hm.” Akhirnya air mataku membanjiri kelopak mata. Ruxue juga sama.
“Kalian pulang lewat jalan yang sama. Setelah menaiki tangga itu, akan keluar dari tempat ini. Informasi ini kudapat di ruang meditasi tadi.” Ruxue berbisik padaku.
Kuanggukkan kepala, menatap langit-langit sambil berjuang mati-matian menahan tangis.
“Cheng Yi, aku punya satu permintaan.” Ruxue melanjutkan.
“Hm?”
“Tunggu sebentar. Setelah mendorong pintu gerbang ini, segera berbalik dan pergi. Jangan menoleh.”
“Mengapa?” Meski gigih menahan, air mataku tetap mengalir. Kesedihan saat ini bagai lautan luas, sementara aku seperti orang tenggelam yang pasrah diterpa gelombang raksasa, hanya bisa larut dalam kepedihan.
“Sebelumnya, kau dan Kak Cheng Xin pernah menyanyikan beberapa lirik. Kau sangat terluka, tak ingin melihat punggungku. Jadi di akhir, aku juga tak ingin meninggalkan bayangan punggung untukmu. Ingatlah aku yang sekarang.” Saat mengucapkan ini, air mata Ruxue jatuh bisu, suaranya tetap tenang seperti biasa.
Aku tak menjawab. Tak tahu apakah mampu tegas untuk tak menoleh.
Tapi Ruxue sudah tak mau menunggu lagi. Ia berbisik padaku: “Buka pintunya.”
Usai berkata, ia mulai mendorong pintu gerbang itu. Aku menggigit gigi hingga nyaris patah, membiarkan air mata dan ingus mengalir di wajah. Kepala tertunduk, bersama Kak Cheng Xin membantu Ruxue mendorong pintu.
Pintu yang kukira berat ternyata tak seberat bayangan. Sebenarnya aku yang enggan membukanya, sampai-sampai berharap pintu itu lebih berat lagi.
Membuka pintu ini bagai membuka gerbang kehidupan kami. Di dalam maupun luar pintu, kami bukan lagi sepasang kekasih yang bisa 'bermabuk-mabukan' dalam cinta. Saatnya masing-masing menempuh 'akhir jalan'.
‘Gemuruh...’ Akhirnya, pintu gerbang perunggu dengan suara berat berhasil kami dorong terbuka. Sekejap itu, aku mencium aroma yang tak tergambarkan, seperti aroma kenangan yang mengharukan. Awan serangga di belakang kami langsung menyambar masuk.
Saat kuangkat kepala, pemandangan di balik pintu itu membuatku terpana. Apakah itu 'alam semesta'? Atau bukan, karena tak ada bintang-bintang, hanya kegelapan pekat yang disertai distorsi dan misteri tak terdefinisi. Cahaya lentera di belakangku tak mampu menembus kegelapan ini. Aku tak tahu ada apa di dalamnya, seberapa besar, atau luasnya.
Hanya satu hal yang kulihat jelas mengambang di dalamnya - tulang-belulang Naga! Tulang Naga mitologi Tiongkok yang asli!
Perasaanku saat itu tak terucapkan. Seolah aku berdiri di kehampaan, berhadapan dengan rangka raksasa itu. Ia seolah membawa tekanan dahsyat, namun sama sekali tak memaksaku. Damai namun megah!
"Cheng Yi, pergilah." Ruxue berbisik pelan sambil melepaskan genggamanku yang sejak tadi menggandeng tangannya.
Aku bagai patung. Kakiku tak bisa bergerak!
"Kak Cheng Xin." Ruxue memanggil lembut.
Kak Cheng Xin langsung memahami. Ia menarikku kasar, mendorongku untuk mundur. Leherku ditekan kuat, kepalaku dipaksa menunduk. "Cheng Yi, jangan menoleh! Dengarkan Ruxue. Jika tidak, kau akan sedih, dia juga sedih. JANGAN menoleh!"
"Aku tidak menoleh? Aku tidak menoleh?" Air mataku seolah tak berharga, butiran besar berjatuhan di pipi.
Kukengar suara langkah kaki di belakang, seluruh tubuh dan hatiku seolah tertarik semakin jauh oleh derap itu!
"Tidak!" Teriakku sambil meninju Kak Cheng Xin yang polos dengan keras, melepaskan diri darinya, lalu menoleh tajam.
Dalam pandanganku yang berbalik, kulihat siluetnya perlahan menghilang dalam kegelapan di balik pintu gerbang, seolah kegelapan menelannya. Di dalam gerbang perunggu, kedua daun pintu perlahan menutup seperti digerakkan tangan manusia.
Tidak, jangan! Napasku tiba-tiba tersengal, kuberlari gila ke arah gerbang. Aku harus menarik Ruxue, atau setidaknya bersamanya. Betapa aku mencintainya!
Kak Cheng Xin memelukku erat, suara parau terdengar dari punggungku: "Cheng Yi, jangan ganggu ketenangan hatinya! Saat tubuhnya di punggungsemakin berat dan tak lagi bergerak, percayalah, kesedihanku tak kalah darimu."
"Ruxue!" Teriakku memilukan, lututku jatuh ke tanah. Lautan duka telah menenggelamkanku, tak ada lagi kekuatan untuk menahan tangis.
【Jilid IX Sungai dan Danau - Danau】
