Ternyata yang tersembunyi di rantai ini adalah peta. Kalau bukan karena Qinhuai kebetulan pernah melihatnya, kami pasti tidak akan bisa memecahkan arti peta ini sampai mati.
Kak Cheng Xin dan saya saling pandang, di detik berikutnya kami hampir berseru hal yang sama: "Cari kerja sama dengan Jiang Yi."
"Harus bekerja sama dengan Jiang Yi."
Benar, peta di rantai ini mungkin hanya bisa dilihat lokasi spesifiknya jika dibandingkan dengan peta militer rahasia.
Dan mengingat ini menyangkut sungai dan danau, tidak sulit ditebak bahwa peta rahasia ini berkaitan dengan Penglai!
Sampai di sini, aku tiba-tiba sedikit mengerti mengapa Guruku memilih cara kerja sama. Jika tidak demikian, mungkin dia juga tidak bisa memecahkan lokasi spesifik yang dimaksud peta.
Hanya saja memikirkan ini aku kembali bingung, menurut penuturan Liu Shifu padaku, selama bisa menemukan jiao yang berubah menjadi naga di laut, kita seharusnya bisa mendekati Penglai. Mengapa ada beberapa peta ini? Apakah perkaranya tidak sesederhana itu?
Semuanya seperti kabut tebal yang menyelimutiku. Sayangnya tebakan tidak akan membuahkan hasil. Aku memutuskan, besok akan meninggalkan kota kecil ini. Sudah waktunya melepaskan kesedihan dan melanjutkan hidup.
※※※
“Cheng Yi, nanti kalau ada waktu, apa kau akan kembali ke sini?” Lao Zhang bertanya padaku dengan berat hati setelah memelukku erat.
Saat itu aku sedang membawa tas ransel hendak naik ke mobil, sementara Qinhuai, Ruyue dan Kak Cheng Xin sudah berpamitan dengan pasangan Lao Zhang dan menunggu di dalam kendaraan.
Selama setahun ini aku banyak dibantu oleh Lao Zhang, sehingga perpisahan kami pun menjadi lebih panjang.
Awalnya hendak langsung naik, tapi mendengar pertanyaan Lao Zhang, aku berhenti dan berkata serius: “Tentu! Lao Zhang, kalau nanti aku minta kau antar ke Hutan Tua lagi, maukah kau?”
“Masa tidak? Di hutan tua masih ada Sahabat Lama, aku juga ingin bertemu mereka lagi.” Lao Zhang juga menjawab dengan sungguh-sungguh.
“Oke, setelah semua urusanku selesai, aku pasti kembali! Nanti kita bersama-sama mengunjungi Sahabat Lama.” Aku berjanji dengan khidmat. Entah karena keengganan hati untuk menyerah atau kerinduan, aku selalu ingin melihat sungai besar itu lagi. Bahkan jika puncak tegak itu tak muncul lagi, jalan es ajaib tak tercipta lagi, aku tetap ingin pergi. Mungkin dengan begitu aku bisa merasa lebih dekat dengan Ruxue.
Di dalam mobil, Qinhuai menyetir sementara pemandangan salju utara berlarian cepat di balik jendela. Di kejauhan terlihat garis pegunungan tempat begitu banyak cerita terjadi, tempat di mana aku dan dia akhirnya berpisah...
Mungkin karena ekspresiku yang murung di dekat jendela, Ruyue di kursi depan menyalakan musik dan berkata lembut: “Kak San, kalau hatimu sesak, mendengarkan lagu mungkin bisa membantu.”
Aku tersenyum, tak membenarkan maupun menyangkal, tapi tak menyangka dalam gerbong kereta tiba-tiba terdengar sebuah lagu seperti ini.
Dahulu kala, kini, yang telah berlalu takkan kembali.
Daun gugur merah-merah terkubur lama dalam debu.
Awal dan akhir selalu tak berubah.
Di ujung langit kau mengembara di luar awan putih.
Lautan penderitaan, mengobarkan cinta dan kebencian.
Di dunia fana sulit menghindari takdir.
Rasa saling tertarik, tapi tak bisa saling mendekat.
Atau aku harus percaya ini jodoh.
Kekasih setelah berpisah selamanya takkan kembali.
Hening duduk sendirian memandang tepian dunia fana...
Terbuai oleh suara merdu, tiba-tiba semua kenangan dan kepahitan bergolak di hati: punggung saat pertemuan pertama, tatapannya saat mencabut ilmu santet, nyawa yang menopang bobotku di LUBANG CACING, keegoisannya menggendongku di jalan keluar... hingga akhirnya, sosok punggung yang menghilang dalam kegelapan.
Yang Ia berikan padaku, dari awal sampai kini hanyalah punggung, tapi aku tak lagi bisa menggenggamnya. Mungkin memang harus kupercaya ini jodoh.
Setiap kali teringat kesedihannya, selalu kumerana menangis. Tapi jarang seperti hari ini: memandang salju putih di luar jendela, mendengar alunan lagu pilu, air mata mengalir diam-diam.
Penumpang gerbong kereta hening. Aku perlahan mengusap air mata, berkata tenang pada Ruyue: "Putar lagi."
Kurasa aku takkan menangis lagi. Setahun tenggelam, sudah cukup. Ia tak ingin tahu aku seperti ini.
※※※
Setelah keluar dari utara, kami berpisah. Kak Cheng Xin dan Qinhuai kembali ke Beijing lebih dulu untuk menunggu aku. Ruyue harus kembali ke perusahaannya sebentar sebelum pulang ke desa. Ia akan menjaga desa menggantikan Ruxue sekaligus melatih perempuan ahli santet baru.
Sedangkan aku, harus menyelesaikan satu urusan terlebih dahulu - sesuatu yang tertinggal dari pasar hantu tahun lalu. Setelah itu baru pulang ke rumah. Sebelum ke Beijing, aku memutuskan untuk mampir ke Tianjin menemui Liu Shifu dan anak perempuannya. Entah bagaimana kabar mereka sekarang.
Setiap teringat, aku selalu khawatir dengan Liu Shifu. Anak perempuan dengan sisa umur dua tahun itu, oh ya, si Guan Laidi yang polos itu.
Jadwal perjalanan yang padat dan waktu yang terasa selalu mendesak, tapi kali ini semuanya berjalan lancar. Berdasarkan petunjuk dari pejabat tengkorak di pasar hantu, aku berhasil menemukan keturunannya di sebuah kota di selatan.
Tepatnya, generasi termuda dari keturunannya. Tak disangka setelah diwariskan sampai sekarang, hanya tersisa satu penerus laki-laki ini.
Di perjalanan, aku tak pernah membayangkan seperti apa identitas keturunan pejabat tengkorak itu. Tapi hasilnya membuatku terkejut - ternyata keturunannya sangat kaya dan terhormat. Generasi termuda itu, pria berusia 30-an tahun, sudah menjadi direktur sebuah perusahaan besar yang rupanya merupakan bisnis keluarga.
Situasi ini justru membuatku bimbang. Jika hidup dalam kesulitan atau biasa-biasa saja, mungkin ada ketertarikan untuk mempelajari ilmu ini. Tapi dengan status kaya raya seperti ini, apakah warisan ini masih bisa dilanjutkan?
"Tapi aku juga tak tahu mengapa, dalam hati ada rasa tanggung jawab yang tak bisa dibuang. Dulu mewariskan Tao di Kunlun dilakukan dengan mempertaruhkan 'dosa melawan takdir'. Jika dengan segala pengorbanan ini warisan tetap terputus, bagaimana hatiku bisa tenang?"
Seperti sudah membayar konsekuensi, namun akhirnya tetap sia-sia yang membuat orang menghela nafas.
Karena warisan jodoh yang kuterima dari pemuda malang itu telah sampai di sini, maka aku harus menyelesaikannya dengan baik meski ini bukan transaksi!
Menemui pemuda itu tidak mudah. Setelah membuat janji dan menunggu dua hari, akhirnya aku duduk di kantornya. Di seberang meja, dia memandangku dengan tatapan tak terdefinisi, penasaran. Suasana terasa kaku.
Tapi aku tak terganggu, memandangnya dengan tenang dan jernih. Aku penasaran apa yang akan dikatannya setelah tahu maksud kedatanganku.
"Kau yakin ini bukan lelucon? Menerima murid sampai ke tempatku?" Setelah hening dua menit, alih-alih mengusirku, pria muda itu bertanya dengan ekspresi aneh dan heran.
Kuangkat cangkir teh di meja dan berkata tenang: "Kau salah. Ilmu yang kupelajari sampai sekarang belum layak untuk jadi guru! Sudah kujelaskan, aku hanya menyerahkan warisan ini ke tanganmu sekaligus menyampaikan pesan seseorang agar keluarganya mempelajari warisan ini - sebagai warisan keluarga kalian."
Pria muda itu memandangiku dengan tatapan seperti pada orang gila, lalu tiba-tiba berdiri. Tubuhnya condong ke depan - sebuah teknik untuk memberi tekanan psikologis dalam percakapan, menguasai inisiatif dialog, sekaligus mencegah kebohongan. Tapi bagi yang sudah berpengalaman sepertiku, ini tak berguna.
Mungkin karena menduduki posisi tinggi di usia muda, tatapannya memang efektif. Sorot matanya semakin tajam, sementara aku tetap tenang: "Barang sudah kusampaikan. Untuk pertanyaan, bisa telfon saya kapan saja. Ini janji saya pada orang lain."
Sambil berkata, kuambil pulpen di meja kantor dan menulis nomor telepon di kertas memo.
Meski terlihat tenang, dalam hati aku menggerutu: Pejabat tengkorak ini bagaimana kerjanya? Kenapa tidak memberi petunjuk lewat mimpi? Lihatlah keturunannya ini, memperlakukanku seperti penipu yang siap dipukuli.
Setelah menulis nomor, kukatakan santai: "Tuan Direktur pasti sibuk. Meluangkan waktu menemui dukun gadungan seperti saya tentu memalukan dan tak masuk akal. Apalagi ini bukan Hong Kong, dukun tak dianggap. Saya tidak mau membuang waktu Anda."
Setelah itu kuberbalik pergi. Tiba-tiba suara terdengar dari belakang: "Tunggu sebentar!"
Kuterkejut menoleh. Ada hal lain lagi?
