Aku tinggal di rumah selama seminggu, hanya sekadar menemani orang tua. Ada banyak hal yang memalukan untuk diungkapkan setelah dewasa, tapi sehari sebelum kepergianku, akhirnya kusampaikan juga pada mereka.
"Ayah, Ibu, ke manapun aku pergi nanti—tidak peduli di mana, bahkan ke langit atau bawah bumi—sebelum berangkat pasti akan kukabarkan. Selama ada telepon, pasti akan kutunggu. Aku takkan lagi menghilang begitu saja."
Saat mengucapkan ini dengan sungguh-sungguh, Ibu mengusap matanya lalu memelukku erat. Ayah terdiam lama, baru setelah beberapa saat berkata: "Bagus, bagus! Harus begitu!"
Sebenarnya akulah yang harus berterima kasih. Betapapun luka dan sakit yang kualami di luar, pulang ke pelukan mereka selalu kudapatkan penerimaan dengan cinta. Meski tak bisa menyembuhkan lukaku atau meredakan rasa sakit, kehadiran mereka memberiku kehangatan.
Aku harus menghargai mereka. Sejak saat kesadaran itu muncul, harus terus kujaga!
Pesawat menuju Tianjin. Hatiku tenang. Selama ada orang tua, rumah dan akarku tetap ada!
Sesampai di Tianjin, langsung kucari Guru Liu. Setelah urusan putrinya selesai, ia tak lagi tinggal di gedung kecil itu. Alamat barunya tak kuketahui, satu-satunya petunjuk nomor telepon dari Qinhuai untuk menghubungi tempat tinggal barunya.
Tentang hal lain, Qinhuai sepertinya menyembunyikan sesuatu. Ia tak banyak berkomentar.
Telepon segera tersambung, yang mengangkat adalah Guru Liu. Suaranya masih sama tidak enak didengar seperti dulu, hanya saja terdengar lebih tua dibandingkan sebelumnya.
"Guru Liu? Aku Cheng Yi, aku sudah sampai Tianjin. Boleh aku berkunjung? Apakah kau ada waktu?" Sifat Guru Liu memang masih terkesan aneh, belum tentu dia mau menerima kunjunganku. Makanya aku bertanya dengan hati-hati lewat telepon.
Di ujung sana terdengar hening cukup lama sebelum akhirnya dia berkata, "Datanglah. Seorang diri juga terasa kesepian. Sekarang aku tinggal di XXX."
Jawaban Guru Liu lebih lancar dari yang kuduga. Tapi aku justru bingung, kenapa sendirian? Bukankah anak perempuannya sudah pulih total berkat praktik melawan takdir?
Sambil memikirkan itu, kujurus taksi dan menyebutkan alamat dari Guru Liu sebelum buru-buru menuju lokasi.
Sesampainya di sana, aku tertegun. Tak kusangka Guru Liu tinggal di tempat seperti ini!
Apakah tempat ini terpencil dan sederhana? Tentu tidak. Justru sebaliknya, ini kawasan elite orang kaya. Rumah Guru Liu ternyata sebuah villa.
Aku teringat gedung kecil sederhana tempatnya dulu tinggal. Kontras inilah yang membuatku terkejut.
Mengikuti alamat yang diberikan, kutemukan villa tempat Guru Liu tinggal. Kutekan bel pintu berkali-kali tapi tak ada yang membuka. Akhirnya kuhisap sebatang rokok sambil menunggu dengan sabar. Hampir setengah batang rokok habis, baru kudengar suara pintu terbuka. Yang berdiri di depan pintu tak lain adalah Guru Liu.
"Dulu setiap kali aku bertemu dengannya, hampir selalu di dalam gedung kecil yang remang-remang itu, bahkan di siang bolong pun harus menyalakan lentera. Hampir tak pernah kulihat Guru Liu di bawah sinar matahari. Melihatnya seperti ini tiba-tiba, aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertegun."
Dibanding setahun yang lalu, dia tampak semakin renta. Rambut putihnya yang jarang itu panjang, menjulur tak teratur, tubuhnya semakin kurus hingga kulit membalut tulang. Kerutan di wajahnya seperti tanah kering yang retak, lebih ekstrim dari gambaran jeruk kering yang pernah kulihat!
Kukira suaranya yang terdengar lebih tua hanyalah khayalanku. Ternyata setelah bertemu langsung, baru kusadari ini semua bukan sekadar ilusi.
Bagaimana bisa begini? Sejak guruku pertama kali memperkenalkanku padanya hingga setahun lalu, dia masih terus memperpanjang nyawa anak perempuannya. Selama itu tak ada perubahan berarti. Kini saat sang anak akhirnya bisa hidup normal, justru dia...
Aku berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut dalam perenungan. Guru Liu tiba-tiba bersuara: "Tidak mau masuk?"
"Oh, masuk." Aku buru-buru menjawab lalu melangkah masuk.
Di dalam terdapat ruang utama yang sangat mewah. Setiap sudut memancarkan kemewahan. Aku tak paham tentang perabotan, tapi aura kemewahan itu tetap bisa dirasakan bahkan oleh orang awam sekalipun.
"Tapi yang kuperhatikan bukan itu. Yang kulihat hanyalah Liu Shifu yang melangkah pelan-pelan, setiap langkah mungkin hanya menjangkau jarak sekitar 20 centimeter, dan sangat tidak stabil, bagai pohon kecil diterpa angin kencang, setiap saat bisa terjatuh."
"Pantas saja butuh waktu lama membuka pintu gerbang. Begitukah caranya dia merangkak keluar untuk membukakan pintu untukku?"
Sambil berpikir demikian, aku segera melangkah mendekat dan menopang Liu Shifu, bertanya: "Ke mana?" Pertanyaan ini tidak bodoh, mengingat ini villa tiga lantai, aku tidak tahu kamar mana yang akan ditunjukkannya.
"Lantai tiga. Ruang belajar dan kamar tidurku semuanya di sana." Tanpa menolak bantuanku, Liu Shifu langsung berkata padaku.
Aku terkejut. Tiga lantai? Sekaligus rasa api kemarahan yang tak terbendung menyergap hatiku. Tanpa bisa menahan diri, kutanyakan langsung: "Dengan kondisi mobilitas yang terbatas seperti ini, mengapa kau memilih tinggal di lantai tiga? Bukankah ada kamar di lantai bawah?"
Liu Shifu menatapku, dalam tatapannya tersirat duka, namun lebih dominan sorot mata menyalahkan, seolah aku tak seharusnya ikut campur.
Dia tak bersuara. Tatapan itu membuatku canggung untuk bertanya lagi. Dalam keheningan, hampir setengah memeluk, kubantu Liu Shifu naik ke lantai tiga.
Lantai tiga masih mempertahankan ruang belajar Liu Shifu. Setelah masuk, kudapati selain lantai dan dinding yang lebih bersih, hampir tak ada perubahan berarti dari dulu. Liu Shifu memintaku menuntunnya ke tempat duduk lamanya, lalu aku duduk di hadapannya.
“Tidak ada orang di rumah, jadi tidak akan kuseduhkan teh untukmu.” Saat mengucapkan ini, Liu Shifu menjilat bibirnya. Sebenarnya aku tidak terlalu ingin minum teh, tapi kurasa dialah yang ingin minum. Maka aku berdiri dan bertanya, “Di mana teh dan cangkirnya? Aku yang akan menyeduh, kebetulan haus juga. Mengurus diri sendiri itu lebih baik.”
Liu Shifu memandangku dengan penuh rasa terima kasih, tapi tetap diam. Segalanya telah terwakili dalam kesunyian.
Perasaan nestapa mulai menggelora di hatiku. Diamnya Liu Shifu bukan berarti aku tak merasakan apa-apa. Tapi bagaimana mungkin aku membicarakan hal ini?
Pada dasarnya dia adalah orang yang sangat teguh. Tak heran selama puluhan tahun dia mengurus putrinya yang nyawanya selalu di ujung tanduk sendirian. Rasa terima kasihnya padaku hanyalah karena aku menggunakan alasan kehausan untuk menutupi kegugupannya yang tak bisa menyeduhkan teh sendiri.
Sinar matahari menyinari ruangan, menerpa uap panas yang mengepul dari teh. Aroma teh memenuhi seluruh kamar.
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi sadar tak ada kata yang pantas. Akhirnya kami hanya duduk diam dalam kesunyian.
“Ha…” Tangan Liu Shifu gemetar mengangkat cangkir. Setelah meneguk tehnya, dia menghela napas lega. Matanya setengah terpejam menatap sinar matahari di jendela, tiba-tiba berkata, “Dulu, aku benci cahaya matahari ini. Karena Xiao Nan tak boleh terkena sinar matahari, aku pun ikut membencinya.”
“Xiao Nan?” Aku terkejut.
“Nama panggilan anak perempuanku, sudah bertahun-tahun dipanggil begini, tak bisa diubah lagi.” Liu Shifu bersandar di kursi, berkata dengan mata terpejam.
Aku diam, menunggu kelanjutan cerita Liu Shifu.
“Xiao Nan sudah bosan tinggal di gedung kecil itu, bilang dulu belum pernah merasakan hidup enak, jadi ingin tinggal di tempat terbaik. Kami pindah dua kali, akhirnya menguras tabungan untuk beli rumah di sini.”
Cuma dua tahun tinggal, ini... Aku melamun, tapi urusan uang orang lain mana bisa kusela.
Liu Shifu terlihat kesepian, berbeda dengan sikap pendiamnya dulu. Sebelum sempat kubicara, dia melanjutkan: “Pindah ke sini juga bagus. Setidaknya aku menemukan manfaat berjemur, dulu tak suka, sekarang terasa hangat menyenangkan.”
“Kalau begitu sering-seringlah berjemur.” Sambil berkata, kubuka tirai lebar-lebar, kamar pun langsung diterangi sinar matahari.
“Shen Xing gadis yang baik.” Suara Liu Shifu terdengar sayup.
Tubuhku kaku saat berdiri di depan jendela, kupaksakan senyum: “Kenapa tiba-tiba bahas ini? Tehmu enak, Liu Shifu.”
Kusengaja mengalihkan topik, tapi Liu Shifu terus bicara sendiri: “Gadis itu baik. Setelah kubantu sekali, dia merawatku dengan teliti, juga menjaga Xiao Nan. Sehari-hari hanya baca buku dengan tenang, benar-benar gadis baik.”
Suara Guru Liu terdengar sendu, tapi aku bahkan tak bisa memaksakan senyum.
"Di dunia fana ini, selama ada karma, pasti ada hukumannya. Tak perlu memaksakan yang tak bisa dipertahankan. Sekalipun dipaksa bertahan, rasanya sudah berubah. Lebih baik seperti waktu kecil yang manis berdiri di sana, dengan lantang memanggil 'Ayah', saling menguntungkan. Aku menyimpan kenangan terindah, ia tak perlu menanggung siksaan bertahun-tahun. Tapi... meski berpikir begitu, hatiku tetap tak tega melihatnya mati, sungguh tak tega." Suara Guru Liu yang seperti monolog bergema di ruang perpustakaan luas, tapi aku hanya bisa pura-pura tak mengerti.
"Cheng Yi, kemarilah duduk. Temani Guru Liu bicara sebentar. Apakah kalian akan segera berangkat mencari Pulau Penglai?" Tiba-tiba Guru Liu membuka matanya.
Aku segera duduk di sampingnya dan menjelaskan garis besar pengaturan perjalanan.
"Bisakah kalian menunda kepergian terakhirnya? Aku ingin urusan pemakamanku kau yang urusi. Tak lama lagi..." Guru Liu tiba-tiba menoleh ke jendela, berkata padaku demikian.
