Aku baru meninggalkan rumah Liu Shifu keesokan harinya pagi. Liu Zhenmeng seperti yang kuduga, sampai aku pergi pun ia belum pulang ke rumah.
Kemarin, aku dan Liu Shifu terus berbincang hingga tengah malam baru masing-masing tidur. Karena mabuk arak, Liu Shifu bicara banyak. Aku ingat semua, ingat katanya sering merasa kesepian sendirian di ruangan.
Ingat katanya, menyiapkan makanan sederhana untuk diri sendiri saja memakan waktu sejam, itu pun dalam kondisi masih ada bahan di rumah.
Ia juga bilang, Liu Zhenmeng sesekali membawakan makanan untuknya.
Ia juga memberitahuku, sebenarnya diam-diam ia menempatkan arwah Yin untuk mengikuti Liu Zhenmeng.
"Cheng Yi ah, aku tak punya pilihan. Sejak aku memperpanjang nyawa anak ini, hanya TV yang menemani. Ia hampir tak kenal dunia luar. Tak punya teman, apalagi cinta. Makanya ia sangat suka bergaul dengan anak laki-laki... Cheng Yi, kau mengerti kan? Tapi aku takut tubuh Lai Di akan dirusaknya, lalu aku..."
Liu Shifu akhirnya tidak melanjutkan, tapi aku sudah mengerti maksudnya. Kasih sayang seorang ayahnya tetap tak melampaui batasan diri dan kebajikan. Dia tahu tak boleh membiarkan nafsu anak perempuannya merusak Guan Laidi.
Kepergianku tak begitu luwes, mustahil untuk bersikap santun. Jadi aku membeli banyak bahan makanan untuk Liu Shifu di pasar dekat, memenuhi kulkas. Bahkan tak segan mengangkat kulkas ke lantai tiga tempat tinggalnya, mengisinya penuh dengan makanan instan.
Awalnya ingin ke pasar asisten rumah tangga untuk menyewa pengasuh bagi Liu Shifu. Sayangnya ditolak mentah-mentah. Katanya, tak mau ada yang ikut campur dalam kehidupan dia dan anaknya.
Saat mengucapkan ini, ekspresi Liu Shifu pahit menyiratkan rahasia yang tertahan. Tapi aku tak ingin menebak lagi. Beberapa hal jika diketahui tapi tak bisa diubah, lebih baik tak usah tahu.
Saat berpamitan, Liu Shifu mengantarku sampai gerbang kompleks perumahan. Dia tak peduli tatapan penuh hinaan sekitar, meski penampilannya yang tua itu sangat menakutkan. Tapi tetap bersikeras mengantar sejauh itu...
Saat aku akan naik mobil, Liu Shifu berbisik: "Andai Zhenmeng memiliki separuh baktimu, biarlah karma ratusan kehidupan ini kutanggung!"
Aku tertegun, tak tahu harus menjawab apa. Hanya tersenyum paksa padanya, menyuruhnya pulang sebelum naik ke gerbong kereta.
Mungkin, dalam mimpi Liu Shifu, yang ingin dipertahankan dengan paksa hanyalah Liu Zhenmeng bertahun-tahun silam yang masih memanggil "Ayah" dengan suara renyah. Sayangnya, pada akhirnya hanya bisa dipertahankan dengan paksa...
※※※
Sesampainya di Beijing, aku tidak meminta siapa pun menjemput. Aku langsung naik taksi menuju rumah Kak Cheng Qing.
Kasihan Cheng Qing yang biasanya suka ketenangan, kini rumahnya dipenuhi keriuhan. Cheng Xin, Cheng Zhen, Chengyuan, Ruyue, Huigen, bahkan Qinhuai ikut nimbrung. Begitu masuk pintu, yang kulihat adalah wajah pahit Cheng Qing.
Ekspresi seperti orang yang sudah tak tahan namun terpaksa menanggung.
Tanpa basa-basi, kesempatan langka berkumpulnya saudara seperguruan ini dimanfaatkan untuk menonton DVD koleksi lama. Qinhuai si nak ini cukup tahu diri, mengundurkan diri saat seperti ini.
Bukan tidak penasaran, tapi urusan pusaran air yang terlalu dalam ini adalah masalah internal perguruan kami. Statusnya memang tidak pantas tahu terlalu banyak.
Saat DVD mulai diputar, kamar pun hening.
Semua menyaksikan dengan serius. Waktu berlalu detik demi detik. Segera bagian yang pernah kulihat sebelumnya selesai.
Di titik ini, layar gelap sejenak. Ketika gambar muncul lagi, lokasinya sudah berpindah ke sebuah perahu yang goyangan kameranya terasa tidak stabil.
Lalu kami mendengar suara-suara berisik, di antaranya aku jelas mendengar suara Guruku. Tapi apa yang diucapkan, sekeras apapun volume suaranya tetap tak terdengar jelas, kecuali menggunakan peralatan profesional yang tidak kami miliki.
Tapi Jiang Yi pasti punya. Aku menyalakan sebatang rokok, mengerutkan alis dan tanpa sadar memikirkan hal ini, seolah hanya insting belaka.
Tapi seharusnya tak ada masalah. Karena Jiang Yi dengan terbuka menyerahkan DVD itu padaku, setidaknya itu membuktikan dia tak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Saat pikiranku melayang-layang, kamera mulai bergeser perlahan, merekam pemandangan sekitar. Tampak sungai asing yang dikelilingi perbukitan rendah tak bernama, hijau segar, terlihat sangat indah.
Kami semua menatap seksama area ini. Tapi hanya dengan beberapa cuplikan kamera, mustahil mengenali lokasinya. Tak ada tempat dalam ingatan kami yang tumpang tindih dengan ini, termasuk Cheng Zhen yang sejak kecil mengikuti Paman Wang berkelana pun tampak bingung.
Ternyata, menilai jejak langkah Guruku mereka hanya dari DVD sama sekali tidak realistis.
Setelah merekam pemandangan sebentar, Guruku kembali muncul di depan kamera. Kali ini tanpa candaan dengan Hui Dàye. Guruku hanya berdiam tenang menghadap lensa.
Entah ini khayalanku atau bukan, meski wajah Guruku tampak tenang dan santai di depan kamera, sebenarnya terlihat kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
Aku menatap kamera dengan tajam, menemukan rambut Guruku masih terlihat basah, namun pakaiannya kering dan rapi, seolah baru saja mandi. Tapi benarkah kondisi sebenarnya seperti ini?
Melihat permukaan sungai di sekeliling, aku selalu merasa Guruku pernah masuk ke air.
"Cheng Yi, pemandangan di sini juga cukup indah, sengaja kuambil gambarnya untuk kalian lihat." Kalimat pertama yang diucapkan Guruku padaku adalah ini.
Kemudian, dengan tangan di belakang punggung, ia berjalan perlahan ke pinggiran perahu. Kamera mengikuti goyangan langkahnya. Guruku memandang sungai, seolah berbicara pada diri sendiri maupun padaku: "Cheng Yi, sudah sekian lama kita berpisah. Akhir-akhir ini sering teringat masa-masa bersamamu di Pondok Bambu."
Kalimat ini awalnya membuatku sedih, tapi kemudian Guruku tiba-tiba mengubah topik dengan mengatakan: "Itu benar-benar hari-hari yang menyiksa!"
Aku langsung membeku. Hari-hari yang menyiksa?
Saudara seperguruanku serentak menoleh padaku, bahkan Ruyue juga. Sorot mata mereka penuh tanya, membuat wajahku memerah. Dengan malu marah aku berkata: "Lihat apa? Fokus saja nonton DVD! Aku juga tak tahu kenapa orang tua itu bicara begitu!"
Begitu melihat Guruku, secara tak sadar aku langsung berbicara dengan nada seperti sedang berkomunikasi dengannya. Bahkan istilah kasar seperti "orang tua itu" pun keluar tanpa kusadari. Aku bahkan berhalusinasi seolah pantatku akan segera ditendang, tapi nyatanya tak terjadi apa-apa.
Guruku masih terus berbicara di TV: "Tahu kenapa? Tinggal sama kamu, terpaksa makan masakanmu. Masak daging sapi harus pakai daun ketumbar, ikan wajib pakai daun seledri buat penyedap. Masakanmu ini apa? Daging ya daging, ikan ya ikan? Mending kau lempar daging dan ikan itu ke air rebusan saja! Siksaan ini bikin gua mati!"
Di akhir kalimat, suara Guruku terdengar berapi-api seolah melompat-lompat mengutuk 'kejahatanku'. Dari samping terdengar suara Hui Dàye berkomentar: "Gua kan udah bilang, jadi vegetarian itu enak. Makan daging ribet! Kaya gua makan telur, nggak perlu embel-embel macam-macam."
Aku antara ingin tertawa dan menangis, wajah memucat bergantian. Emangnya masakanku separah itu? Kenapa Guruku harus membahas ini lewat DVD?
Ucapannya langsung menuai efek dramatis: Kak Cheng Qing yang sedang minum teh menyemburkan airnya, Cheng Zhen yang lagi ngemil tersedak sampai batuk-batuk.
Lalu, semua orang memandangiku dengan raut wajah aneh, hng, nak yang memasak daging sapi tanpa daun ketumbar.
Tapi seketika Guruku tampak tenang kembali, bergumam sendiri: "Memasak mencerminkan karakter. Jadi yang ingin kusampaikan padamu adalah, suatu hal ibarat memasak daging sapi. Bukan cuma punya daging sapi saja, tapi perlu harmonisasi berbagai detail kecil untuk menghasilkan hidangan lezat. Kau mengerti, Nak? Kalau tidak, kau cuma merebus daging sapi biasa, rasanya pasti tidak sesuai harapan."
Usai berkata, Guruku terlihat marah, berbalik sambil menggerutu "hng hng" lalu pergi!
Aku mengerutkan alis, merasa seperti menangkap sesuatu tapi belum utuh. Paling tidak aku paham satu hal: Setiap perkataan Guruku pasti punya maksud tertentu.
Layar kamera berganti, yang muncul berikutnya adalah Paman Chen, guru spiritual Kak Cheng Xin!
Kak Cheng Xin langsung heboh. Di layar, Paman Chen terlihat tak bisa menyembunyikan kelelahan. Kuperhatikan rambutnya basah kuyup. Apa ini pertanda sesuatu?
Saat ini, aku hampir yakin DVD ini pasti tak biasa!
