Di kota kabupaten X, kami bertemu Huigen. Tempat itu adalah lokasi yang telah kami sepakati, karena dekat dengan tujuan berikut kami: Danau Sepuluh Ribu Hantu.
Saat menemui Huigen, dia sedang bersandar di sebuah toko kelontong. Tangan kanannya memegang botol cola, mulutnya mengunyah kacang tanah goreng renyah, sambil tersenyum ramah berbincang dengan seorang wanita di toko tersebut.
Dia terlihat sangat bahagia. Setelah satu bulan tidak bertemu, wajahnya yang tampan semakin halus. Sama sekali tidak terlihat kasar seperti saat berusia 18 tahun dulu ketika masih ada satu dua jerawat. Sekini kulitnya telah kembali seputih putih telur ayam saat kecil. Si nak ini seperti tumbuh terbalik!
Sementara wanita - tepatnya gadis - yang berhadapan dengannya juga terlihat sangat gembira. Sesekali terdengar tawanya yang jernih bagai gemerincing lonceng perak. Pandangannya pada Huigen pun semakin lembut.
Di sampingnya dan gadis itu, ada seorang kakek yang memandang mereka dengan pasrah. Kami pun tak paham bagaimana adegan ajaib ini bisa terjadi.
Kak Cheng Xin yang berdiri di sebelahku melihat kejadian ini, ekspresi wajahnya langsung menjadi suram. Di balik kacamatanya, matanya berkedip sinis, lalu berkata dengan nada dingin menusuk padaku: "Cheng Yi, apakah Huigen ini ingin menyaingi pesonaku? Dia lupa statusnya sebagai biksu!"
Sebutir keringat dingin mengalir dari pelipisku ke pipi. Sudut pandang Kak Cheng Xin dalam mengamati sesuatu memang benar-benar unik.
Karena tak bisa menanggapi, aku hanya bisa mengajak Kak Cheng Xin cepat-cepat mendekati Huigen. Sedangkan yang lain kusuruh beristirahat di hotel yang sudah dipesan karena kelelahan perjalanan.
"Kak!" Begitu jarak semakin dekat, Huigen akhirnya melihatku dan Kak Cheng Xin. Ia tersenyum lebar, langsung berlari menghampiriku lalu memeluk bahuku.
Memeluk bahuku? Aku agak kaget. Waktu kecil aku yang menggandengnya, setelah dewasa aku yang memeluknya. Kok baru sebulan tidak bertemu, giliran dia yang memelukku?
Baru sekarang kusadari, Huigen yang tak kulihat selama sebulan ini tiba-tiba menjadi lebih tinggi. Apa ini ada hubungannya dengan metode rahasia itu?
"Bukan waktu untuk bertanya sekarang, apalagi di sebelah Kak Cheng Xin sedang 'memandangi dengan tatapan siap menerkam' ke arah Huigen dengan ekspresi yang siap kambuh kapan saja, aku hanya bisa tersenyum paksa dan berkata pada Huigen: "Sudah lama menunggu? Sekarang kita berangkat ya?"
Huigen menjawab dengan santai: "Nggak juga, urusan selesai lebih cepat jadi aku datang tiga hari lebih awal."
"Tiga hari ini nggak bosen ya?" Kak Cheng Xin berkata dengan nada sinis.
"Hehe, nggak bosen. Aku cuma nungguin kalian di sini tiap hari, ngobrol sama anak perempuan bos, lumayan seru." Huigen terdiam sejenak lalu berkata padaku: "Kak, aku pamit dulu sama orang lain ya, kita berangkat."
Setelah itu Huigen berlari ke toko kelontong dan berkata pada orang di dalam: "Orang yang kutunggu sudah datang. Terima kasih atas keramahannya selama ini. Aku pamit dulu. Kalau nanti ke sini lagi, pasti mampir belanja."
"Sudah pergi? Kami... nomor telepon toko kami masih ingat kan? Bisa kontak-kontakan nanti." Suara gadis dari dalam toko terdengar berat untuk melepas.
"Biarawan mengembara ke mana saja. Semua tergantung takdir. Kalau ada jodoh pasti bertemu lagi." Huigen menjawab dengan sungguh-sungguh.
"Kamu ini biksu?" Suara gadis itu tiba-tiba penuh keheranan.
"Amitabha, hamba telah menjadi biksu selama 16 tahun." Huigen melantunkan mantra Buddha lalu melepas topi baseball di kepalanya, memperlihatkan kepala botaknya yang mengkilap.
"Kamu... kamu ternyata biksu, bagaimana bisa..."
"Anak perempuan, kan sudah kubilang, dari mana datangnya si nak itu? Kau ngobrol senang-senang tiap hari sama dia sampai timbul perasaan. Aku ini... Hei, anakku, mau ke mana kau?"
Suara percakapan terdengar dari toko kelontong. Aku dan Kak Cheng Xin langsung merasa malu, sementara Huigen tetap tenang dengan wajah polos. Ia mengenakan topi lalu mendekati kami.
Aku batuk kecil, lalu berkata kesal pada Huigen: "Apa yang kau lakukan, Nak? Kan kau seorang biksu, kenapa menggoda gadis itu?"
Dengan wajah polos Huigen menjawab: "Aku tidak menggoda. Hatiku tulus. Guruku pernah bilang, perlakukan orang dengan kejujuran dan ketulusan. Diskusi kami murni, perhatianku juga tulus. Mengapa interaksi normal antar manusia ini dianggap menggoda?"
Aku terdiam. Haruskah kujelaskan padanya bahwa di dunia ini komunikasi penuh kecurigaan dan kemunafikan? Bahwa ketulusanmu justru mudah menyentuh hati orang, terutama gadis-gadis? Apa harus kusuruhnya berpura-pura atau langsung berseru mantra Buddha sambil memperlihatkan kepala botak setiap ketemu perempuan?
Pada akhirnya, inilah masalah yang ditinggalkan dunia!
Bukan hanya aku, Kak Cheng Xin pun tak berkutik. Akhirnya ia bermuka masam: "Pokoknya mulai sekarang jangan sering-sering ngobrol sama perempuan. Kau tidak tahu pantangan agama Buddha?"
“Aku tahu, Kak Cheng Xin. Aku cuma lihat sini dekat sama danau itu, iseng-iseng cari informasi tentang danau itu.” Huigen berkata dengan wajah sedih.
“Dapet info apa nggak?” Tanyaku sambil lalu, tak ingin terus-terusan membahas ini.
“Ada kejadian aneh. Katanya di kota kabupaten ini setiap tahun atau dua tahun sekali ada kasus kematian misterius. Entah kebetulan atau ada hubungannya dengan Danau Sepuluh Ribu Hantu...” Huigen mulai bercerita panjang lebar.
Di bawah mentari senja, bayangan punggung kami bertiga semakin menjauh. Sebuah perjalanan baru akan segera dimulai.
※※※
Kasus kematian aneh di kota kabupaten yang diceritakan Huigen tidak terlalu kami perhatikan. Soalnya beberapa kasus yang dia sebutkan sudah terungkap sebagai kasus kriminal biasa.
Lagipula di tanah Tiongkok ini, setiap kota pasti punya banyak kasus pembunuhan tiap tahun. Memaksakan hubungan antara kejadian di kota kabupaten ini dengan Danau Sepuluh Ribu Hantu jelas nggak masuk akal.
Kasus-kasus yang dibesar-besarkan masyarakat seperti yang diceritakan Huigen kami anggap cuma cerita misteri. Kami cuma menghela napas beberapa kali lalu melupakannya.
Setelah makan malam bersama, kami masing-masing kembali ke kamar untuk istirahat. Rencana membahas soal si Mata Abu-abu sebelum berangkat ditunda sampai besok, mengingat kelelahan selama perjalanan beberapa hari ini.
Hanya saja aku tak lupa memberitahu Xiao Chengqian bahwa alasan menghilangnya Huigen selama sebulan adalah karena tato darah di tubuhnya.
Berbicara tentang ini, sebenarnya adalah hoki dalam musibah dari peristiwa si kecil. Saat itu Huigen terluka parah dan kehilangan banyak darah, tapi secara misterius hal ini justru mempercepat penyatuan tato darah di tubuhnya dengan dirinya sendiri. Karena dalam sejarah agama Buddha kejadian seperti ini hanya terjadi beberapa kali, awalnya tidak ada yang menyadarinya.
Hingga lebih dari sebulan yang lalu, beberapa hari setelah kami berangkat, Huigen tiba-tiba menunjukkan gejala demam di seluruh tubuhnya. Kadang-kadang dia mulai bicara ngelantur tentang kekuatannya yang sepertinya meningkat drastis, barulah kami mulai memperhatikan.
Gejala-gejala ini awalnya mirip demam biasa. Tapi Kak Cheng Xin sebagai penerus aliran pengobatan, setelah memeriksa aliran energi Huigen, menyangkal kemungkinan itu. Karena tidak menemukan penyebab, akhirnya kami menghubungi Paman Sepupu Huigen melalui kontak khusus.
Setelah proses yang rumit ini, akhirnya kami mengetahui bahwa tato darah di tubuh Huigen telah menyatu lebih dalam dengannya. Pantas saja saat mengigau dia pernah bilang tentang esensi roh yang mendapat pengakuan sifat dasar, dan kesempatan takdir telah tiba.
Tentu saja hal ini menarik perhatian komunitas spiritual Huigen. Esok harinya mereka langsung mengirim utusan untuk menjemput Huigen. Menurut mereka, kondisi seperti ini hanya terjadi sekali dalam 300 tahun. Jika proses penyatuannya lancar, melalui metode rahasia Huigen bisa menerima tato darah tambahan. Nantinya, Huigen benar-benar akan menjadi Arhat petarung sejati yang mungkin muncul dari kuil misterius itu setiap 300 tahun!
Kedengarannya sangat ajaib, metode peningkatan ala Buddhisme ini benar-benar membuatku, si nak Taoisme ini, iri! Sebenarnya, Taoisme juga memiliki metode peningkatan cepat, namun cenderung ke 'Jalan Sesat' dan mudah goyah pondasinya. Mana bisa dibandingkan dengan metode peningkatan Huigen yang begitu lurus dan bercahaya?
Nyatanya, syarat-syarat di dalamnya sangatlah menyiksa diri. Huigen kebetulan memenuhi kondisi untuk mewariskan tato darah, sesuatu yang bahkan Hui Dàye sekalipun tak mampu!
Malam yang sunyi. Huigen termasuk tipe yang seketika tidur begitu kepala menyentuh bantal. Aku sendiri tak tahu apakah karena terlalu lelah dari perjalanan, atau memang insomnia, yang jelas tak bisa tidur. Akhirnya kuberpakaian dan bangun, termenung memandang keluar jendela.
Di luar, pemandangan malam yang suram. Bulan sabit tak terang malah tampak buram, mengingatkanku pada bulan kabur yang pernah kulihat di pemakaman kecil dulu, saat pertama kali menyaksikan Li Fengxian merasuki Erjie.
Melihat ini, aku tak bisa menahan senyum. Karena dekat dengan Danau Sepuluh Ribu Hantu, bahkan bulan di sini pun terasa lebih menusuk?
Danau Sepuluh Ribu Hantu, danau ini sangat termasyhur di kalangan lingkaran spiritual, tapi orang biasa mungkin tak tahu. Mereka sering mengira ini danau besar tempat kumpulan roh penasaran - itu anggapan yang salah.
Hantu senang air, pernah ada Makhluk Agung yang mengajukan hipotesis: jika benar-benar ada dimensi seperti neraka, atau ia berdampingan dengan dunia orang hidup yang kita tinggali, bukankah kita harus mempertimbangkan bahwa sebenarnya neraka itu berada di dalam air? Lagipula, permukaan air menutupi 70% planet kita. Meski manusia telah menciptakan berbagai perahu, tetap banyak area di perairan yang menjadi zona terlarang bagi kita.
Tidak aneh jika roh-roh yang mati penasaran terkumpul di Danau X memicu berbagai tebakan dan fitnah di masyarakat. Di era itu terlalu banyak orang yang mati penasaran secara massal, ditambah lagi lokasinya adalah danau besar yang sesuai dengan sifat alami hantu yang menyukai air. Justru aneh kalau tidak terjadi masalah.
Bahkan di kota biasa pun, banyak roh penasaran dan hantu suka berkumpul di air. Karena itu ada pantangan kecil: jangan bermain air atau berenang di malam hari, mudah terjadi kecelakaan dan melihat hal-hal yang tidak seharusnya dilihat.
Tapi Danau Seribu Hantu tidak bisa dijelaskan hanya dengan sifat hantu yang menyukai air. Merenungkan ini, perasaanku menjadi serius. Tanpa sadar aku menyalakan sebatang rokok.
Bahkan lentera yang tiba-tiba menyala dalam kegelapan tidak jauh dari situ, diikuti jeritan, lalu suara hiruk-pikuk manusia pun luput dari perhatianku.
