Ini pertama kalinya aku melihat wajah bos kios kecil ini dengan jelas. Sayangnya rupa aslinya sudah tidak bisa dikenali. Sudut bibirnya terbelah dengan luka tusukan yang memanjang, daging yang terbuka dipakukan ke atas menggunakan dua paku payung sehingga membentuk 'senyuman' aneh seperti badut, tapi juga menyerupai tengkorak yang memperlihatkan gigi.
Hidungnya terpotong meninggalkan dua lubang. Kedua matanya dipenuhi darah beku sehingga bagian putihnya berubah menjadi merah horor. Seluruh tubuhnya diikat dengan tali ke sandaran kursi dalam posisi bersujud menyembah mayat perempuan di tempat tidur - jenazah anak perempuannya.
Mayat seperti ini sudah melampaui batas kemampuan manusia untuk menanggung. Entah seberapa terdistorsi sikap pembunuhnya sampai bisa melakukan hal seperti ini.
Bau anyir darah merangsang hidungku, namun mayat pria yang terlihat menyerang penglihatanku. Saat ini tak hanya lambungku yang berkedut, bahkan seluruh jantungku berdenyut tak karuan. Kukira hantu adalah makhluk yang menakutkan bagi manusia, namun dibandingkan dengan TKP pembunuhan sungguhan ini, terkadang hantu terlihat semenggemaskan kelinci kecil.
Huigen menutup rapat kedua matanya, menengadah ke langit. Dua aliran air mata mengalir dari sudut matanya. Aku tahu dia sedang merasa bersalah karena gagal menyelamatkan ayah-anak ini meski telah menemukan keanehan. Meski dia adalah biksu kecil yang mengacungkan pisau pantangan dan bersumpah akan membasmi semua penjahat, dia tetaplah biksu yang berhati lembut dan penuh welas asih.
Aku tak tahu cara menghibur Huigen. Beberapa hal adalah takdir yang tak bisa dihindari, juga tak bisa dicegah oleh orang lain. Aku hanya bisa menahan rasa tak nyaman di dada, terus mengamati TKP ini, mencari apakah ada jejak yang tersisa.
Jika mayat pria itu adalah batas toleransi manusia, maka mayat wanita di ranjang itu jelas telah melebihi batas daya tahan manusia.
Tak pernah kubayangkan seseorang bisa mengeluarkan darah sebanyak itu, hingga seprei tempat tidur seluruhnya basah karam dalam genangan merah. Di tengah kolam darah itu, terbaringlah putri pemilik kios kecil. Sekilas pandang saja, dengan mental sekuat punyaku, mungkin aku akan bermimpi buruk selama setengah bulan.
Keringat dingin menetes dari dahiku, aku melihat gadis bermuka manis ini, saat ini wajahnya menunjukkan ekspresi yang berkerut, mata membelalak dengan tatapan yang membeku dalam ketakutan ekstrem. Wajahnya pucat melebihi bayangan orang biasa, bahkan kertas putih pun tak bisa menggambarkannya, bibirnya hampir tak berwarna. Aku tak paham kedokteran forensik, tapi ini pasti tanda kehilangan darah terlalu banyak.
Wajahnya tidak mirip ayahnya, justru terlihat terpelihara baik. Di samping wajahnya terdapat seikat bunga liar yang tak diketahui asalnya.
Tapi tubuhnya sungguh mengerikan. Kedua tangan disilangkan di dada dalam posisi berdoa, namun dari dada hingga perut bagian bawah, perutnya dibelah seluruhnya... Aku tak bisa menggambarkan pemandangan ini dengan kata-kata. Yang jelas, sebagian organ dalamnya dikeluarkan dan diletakkan di samping mayat, setiap potongan organ ditemani seikat bunga liar.
Bagian bawah tubuhnya dengan rok yang tersingkap, kaki terbuka membentuk sudut yang aneh. Aku pribadi sudah tak sanggup melanjutkan deskripsi, tak tahan melihatnya...
Bunga seharusnya melambangkan keindahan, tapi pembunuh ini seolah gemar menghias mayat dengannya. Darah segar, mayat mengerikan yang dikelilingi bunga-bunga - ironi seperti apa lagi yang lebih menyakitkan ini?
“Aku curiga pelakunya... hmm... seharusnya... adalah... hmm, pengagum pembunuh berantai luar negeri seperti Jack the Ripper atau semacamnya... muntah, aku tidak tahan, aku keluar sebentar.” Polisi yang bersama aku, sambil menekan refleks muntah, menyelesaikan kalimatnya lalu menyambar keluar ruangan.
Aku juga hampir trauma oleh atmosfer TKP ini, karena tak bisa kubayangkan seseorang yang membunuh lalu menyeret mayat ke lantai dua, kemudian dengan tenang melakukan gerakan-gerakan ini di depan dua jenazah. Padahal dalam proses itu, beberapa tetangga mungkin sudah memukul-mukul pintu. Bisakah kugambarkan dia sebagai orang yang santai, menjadikan pembunuhan sebagai hiburan?
Kuperhatikan jenazah perempuan itu kehilangan dua jari kaki besar, tapi di TKP tidak ditemukan.
Aku tidak berani menarik napas dalam, langsung bergegas ke depan jendela dan mendorongnya terbuka untuk menghirup udara segar. Tapi tak disangka, saat mendorong jendela terbuka, tiba-tiba terdengar suara 'peng' keras dari pintu di lantai atas!
"Siapa?!" Menghadapi suara-suara mistis seperti ini, sebagai seorang Taoist aku tak pernah gugup. Tapi saat ini entah mengapa seluruh bulu kudukku berdiri, kulit kepala terasa tegang. Seolah jantungku diremas kuat oleh sepasang tangan. Seketika kumeracaukan teriakan.
Tapi kulihat Huigen sudah menyambar keluar pintu dalam sekejap, berlari 'dung dung dung' menuju lantai atas. Aku buru-buru mengikutinya, disusul oleh salah satu polisi di dalam ruangan dan tiga polisi di luar pintu yang juga ikut menyusul naik.
Lantai atas dan lantai dua juga memiliki struktur yang sama, dua pintu yang saling berhadapan. Tampaknya kosong karena pintunya terbuka lebar dengan tumpukan barang-barang dan komoditas di dalamnya. Namun di samping salah satu pintu, terdapat pintu kecil yang mungkin adalah kamar mandi dan tempat mandi.
Dan suara pintu yang tertutup itu berasal dari pintu kecil ini!
Huigen berdiri di depan pintu kecil ini dengan alis berkerut, entah sedang memikirkan apa. Aku melangkah perlahan mendekati Huigen sementara beberapa polisi gemetar ketakutan mengikuti dari belakangku. Salah satu polisi bahkan secara berlebihan mengeluarkan senjatanya sambil berteriak: "Siapa di sana? Jangan bergerak, atau aku akan menembak!"
"Tidak ada siapa-siapa," kata Huigen dengan suara lembut.
Benar, tidak ada siapa-siapa. Sebelum sempat mengatakan apa-apa, pintu berengsel itu kembali membuat suara 'kreek' dramatis, terbuka setengah, lalu 'peng' lagi!
Suasana hening, hanya suara nafas kami yang terdengar. Bahkan angin pun tak berhembus. Para polisi langsung membeku. Bagi mereka, gerakan pintu ini terlalu aneh dan mengerikan - tanpa angin, bagaimana mungkin pintu bisa membuka dan menutup sendiri? Dan aku yakin saat pintu itu terbuka setengah, semua orang dengan cahaya redup lorong lantai tiga ini telah melihat jelas bahwa kamar mandi kecil itu benar-benar kosong. Kecuali jika ada seseorang bersembunyi di balik pintu.
"Tapi, para polisi ini sama sekali tidak berani menyelidiki. Polisi yang memegang senjata bahkan tangannya gemetar ringan. Untung mereka adalah polisi berpengalaman dengan mental baja. Kalau orang biasa yang melihat pemandangan ini, pasti sudah berteriak ketakutan dan langsung kabur."
Aku tidak bersuara. Pada saat itu, aku sudah membuka Mata Ketiga. Dalam penglihatan spiritual ini, seluruh lorong dan setiap sudut yang terlihat dipenuhi 'cahaya darah' yang menyala-nyala. Terlihat betapa kuatnya aura pembunuhan di sini. Sang pelaku mungkin sudah menanggung beberapa nyawa manusia di pundaknya.
Aku mengatupkan bibir rapat-rapat sambil berjalan menuju kamar mandi itu. Selembar jimat sudah kugenggam di tangan. Aku tidak bisa memastikan apakah ada entitas kuat di sini. Bagaimanapun lokasinya dekat dengan Danau Seribu Hantu, dan mengingat kekejaman TKP ini, meski aku yang pertama tiba, sama sekali tidak menemukan jejak roh apapun di tempat kejadian.
"Ja...Jangan masuk! Kami sebagai polisi tahu, banyak TKP pembunuhan yang...yang tidak bersih." Suara dari belakangku terdengar. Itu polisi yang menemani kami masuk.
Aku menarik napas dalam-dalam di depan pintu kamar mandi itu, tanpa menoleh berkata: "Tidak apa. Aku lebih sering menghadapi hal seperti ini daripada kalian. Terkadang mencari jejak harus dengan cara begini."
Aku tidak berbohong. Kasus-kasus besar yang tidak dipublikasikan, kasus berdampak luas - selama ada jejak seperti ini, selalu ditangani dengan cara menentukan pelaku dulu lewat metode seperti ini, baru mengumpulkan bukti. Hanya saja detailnya tercatat rapi dalam arsip rahasia Kementerian Keamanan Publik. Rakyat biasa tidak perlu tahu kebenaran ini.
Sembari berbicara, aku telah mengulurkan tangan dan meletakkannya di pintu. Sedang bersiap untuk mendorongnya sekali gebrak, tiba-tiba menemukan dengan perasaan aneh bahwa seluruh pintu mundur sendiri. Terjadi lagi?
Dalam keadaan Mata Ketiga, aku jelas melihat sepasang tangan berlumuran darah mencengkeram tepi pintu. 'Itu' yang membukanya!
Sekejap itu, keterkejutan di hatiku tak terucapkan. Perlu diketahui bahwa hantu tak bisa menyentuh objek fisik. Satu-satunya cara adalah menggunakan kekuatan pikiran untuk menggerakkan benda, tapi sangat terbatas. Contohnya Arwah Tua Wu, hantu berusia ratusan tahun, hanya bisa menggerakkan benda ringan seperti jarum atau korek api.
Tak kusangka hari ini kusaksikan seorang hantu mampu menggerakkan pintu. Hanya ada satu penjelasan: ia rela merusak jiwanya sendiri, bertarung habis-habisan hingga hancur lebur, hanya untuk membuat keributan.
Memikirkan ini, segera kuraih stang pintu. Embusan napas yang kutahan perlahan kulepaskan. Reaksi pertamaku tadi ingin menggunakan teknik teriakan khas Taoisme, tapi kini kuurungkan niat itu.
Teknik teriakan bukanlah soal suara yang menggetarkan musuh, atau volume teriakan. Ini adalah metode penggunaan sihir yang menyatukan kehendak pribadi, konsentrasi, tenaga dalam, dan berbagai faktor lain. Baik di air maupun darat, wujudnya tetap berupa 'teriakan' yang melepaskan semua unsur tadi untuk menghancurkan lawan - sekalipun teriakan bisu!
"Dosis tubuhku sendiri aku yang paling tahu. Aku takut teriakan ini akan melukai Hantu di dalam, karena saat melihat tangan berdarah itu, aku langsung tahu yang di pintu bukanlah Hantu jahat atau hantu dendam. Tidak ada aura sha yang mematikan, hanya sesosok 'hantu penasaran' yang malang."
"Aku masuk." Ucapku datar sambil mendorong pintu. Kalimat aneh yang seolah menyapa sesuatu itu membuat para polisi di belakang mundur serentak, jelas mereka ketakutan.
Aku malas menghiraukan mereka, langsung kuhantamkan pintu itu. Dan di sana, kulihat 'itu'!
Berdiri di sudut kamar kecil, lehernya terluka parah hingga terdistorsi, berlumuran darah. Wajahnya penuh kesedihan, terus-menerus membungkuk hormat ke arahku. Seluruh tubuhnya terlihat ilusif. Tanpa kondisi Mata Ketiga, mungkin aku tak akan menyadari kehadirannya.
"Amitabha, ada yang ingin kau sampaikan pada kami?" Huigen kini telah berdiri di belakangku, raut wajahnya penuh welas asih dan belas kasihan.
Hantu di depan mata ini pernah kami temui sebelumnya. Dialah bos kios kecil itu.
