“Adik Chen, lihatlah. Kami sudah bilang tapi kau tidak percaya. Lihat sendiri.” Seorang polisi menyodorkan cermin ke tanganku. Begitu mereka naik ke atas, mereka dengan beramai-ramai ‘bersemangat’ menahan tubuhku, tak memberi kesempatan menjelaskan, seolah ingin segera membawaku ke rumah sakit.
Dengan susah payah aku melepaskan diri dan bertanya maksud semua ini. Para polisi itu kembali beramai-ramai menjelaskan bahwa saat aku keluar tadi, mereka sangat terkejut karena mengira ada ‘orang asing’ yang tiba-tiba keluar dari ruangan. Setelah dilihat lebih dekat, ternyata itu adalah aku.
Maksud perkataan mereka adalah menggambarkan kulitku yang pucat menakutkan saat ini! Sepucat orang kulit putih dari Barat.
Tentu saja aku tidak percaya. Lalu seorang polisi yang bersemangat turun untuk mengambil cermin bagiku.
Aku menatap cermin di tanganku, terus menatap bayanganku di cermin. Tiba-tiba aku menyadari sedikit bisa merasakan perasaan tokoh utama bernama Zhizunbao dalam sebuah film, ketika memegang cermin dan melihat dirinya berubah menjadi monyet.
Wajahku di cermin terlihat pucat menakutkan, lebih pucat daripada polisi yang TERKENA ILMU tadi. Bola mataku agak kekuningan, bibir kebiruan. Sama sekali tidak seperti diriku sehari-hari yang kulitnya sudah tidak seputih masa kecil karena sering keluar-masuk, malah agak kehitaman seperti perunggu.
Dengan penampilan seperti ini, bahkan tanpa riasan pun aku bisa akting sebagai mayat. Aku tersenyum getir, menyadari senyuman ini terlihat sangat letih.
"Adik Chen..." Seorang polisi memanggilku. Aku berusaha tenang lalu berdiri, menyodorkan cermin kembali ke tangan polisi. Dalam hati aku berpikir cara menjelaskan, tapi sadar mustahil memberi penjelasan logis. Setelah lama terdiam, akhirnya kuucapkan: "Tidak apa, aku sakit."
"Apa?" Semua polisi terpaku. Huigen di lantai bawah juga mendengar ucapan ini. Dia langsung melompat sambil berteriak: "Kak, kamu sakit? Atau ini cuma riasan?"
Aku pasrah, terpaksa mengulangi: "Maksudku bukan sakit biasa. Aku benar-benar punya penyakit."
"Hah?" Kali ini Huigen ikut mengangguk-angguk sambil berkata 'Hah'!
Aku benar-benar tak bisa bicara lagi!
※※※
Akhirnya, aku tidak dibawa ke rumah sakit oleh polisi-polisi yang antusias itu. Justru mereka yang dibuat kaget oleh segala yang ada di gubuk. Organ-organ tubuh manusia itu dikeluarkan dari peti es oleh petugas forensik. Saat memindahkan peti es, baru ditemukan bahwa di bawahnya masih tersimpan daging-daging yang hancur—mungkin sisa-sisa saat organ-organ itu dipisahkan, lalu dagingnya ditaruh sembarangan di sini oleh Fu Yuan.
Hal-hal lebih menjijikkan tak ingin kugambarkan atau kupikirkan. Di sekitar kulit manusia palsu itu dan penutup peti es, ditemukan cairan tubuh pria di area tertentu... banyak jejak, termasuk yang masih sangat baru. Hal-hal di balik ini takkan berani dibayangkan orang normal.
Petugas forensik membawa organ-organ tersebut karena ritual pelepasan arwah Huigen membutuhkannya. Aku mulai mengagumi kekuatan mental profesi kedokteran forensik!
Setelah pencarian menyeluruh di gubuk ini, ditemukan buku catatan kulit hitam dari meja tulis dan sebuah foto hitam putih kuno!
Tapi mungkin karena suasana ruangan ini terlalu menyeramkan, tak ada yang berani melihat foto itu dengan detail. Penemunya langsung menyelipkan foto itu ke dalam buku catatan hitam. Semua orang bersikap seolah tak terjadi apa-apa—tidak bertanya, sebisa mungkin menghindari, termasuk aku.
"Kami menanti di dalam ruangan, suara Huigen membaca sutra bergema di halaman. Aku menutup mata mendengarkan, sudah berapa tahun si nak ini tidak membuka mulut untuk membebaskan roh? Suaranya sudah tidak lagi polos seperti masa kecil, kini lebih tenang dan khidmat layaknya pria dewasa. Namun yang tak berubah adalah belas kasih dalam bacaan sutranya, tetap seperti hujan musim semi yang meresap ke dasar hati manusia."
"Tak kusangka pemuda itu punya keahlian. Suara bacaannya membuat hati terasa sangat tenang. Tadi aku hampir mati ketakutan, sekarang jadi tenang. Pernah saat wisata ke gunung X, kudengar suara loncang biksu dari kuil besar. Efeknya mirip, sulit diungkapkan dengan kata-kata." Seorang polisi berbisik pada rekannya.
Polisi itu mengangguk setuju. Semua petugas di ruangan itu kini bermuka tenang, seolah kebaikan hati dan welas asih dalam diri mereka terbebaskan oleh alunan mantra.
Aku tersenyum mendengarnya. Huigen adalah biksu muda berhati bersih dengan kekuatan pikiran yang luar biasa. Dinginnya energi Yin di ruangan ini mulai berkurang. Padahal menurut Cheng Zhen, ruangan ini adalah titik akhir aliran energi Yin yang terkumpul.
"Adik Chen, perutmu yang itu...?" Akhirnya Kapten tim menyadari dan bertanya padaku.
“Itu bekas cakaran Hantu Rakshasa tadi, noda darah saat itu mengotori kemeja putihku. Hanya saja pendarahannya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu jelas.”
“Aku punya penyakit kulit, gatal terus digaruk.” Jawabku sembarangan, tiba-tiba teringat satu hal. Lalu kuputuskan bicara pada kapten tim itu: “Foto dan buku catatan yang kalian temukan di gubuk itu pinjamkan dulu untuk kuselidiki, besok akan kukembalikan.”
“Ini tidak sesuai dengan prosedur.” Kapten polisi kriminal itu tampak ragu, namun hanya sebatas keraguan. Ia tidak menolak permintaanku, mengingat surat perintah dari atasan telah mengkonfirmasi identitasku. Kerja sama kali ini pun membantu mereka memecahkan kasus dengan cepat. Jadi...
“Hmm, harus merepotkan atasan lagi.” Aku menghela napas pasrah.
“Baiklah, ambillah. Ingat kembalikan tepat waktu.” Kapten polisi itu seolah-olah telah mengambil tekad, berkata padaku.
Urusan rumah kecil berpagar ini telah selesai setelah ritual pelepasan arwah Huigen. Hanya saja sampai akhir, Fu Yuan yang kadang waras kadang gila itu menjadi benar-benar tak waras. Terus-menerus bergumam: “Ibu telah meninggalkanku, Ibu telah meninggalkanku...” Bahkan sampai pada tahap menggigit siapa pun yang mendekat.
Saat polisi membawanya keluar, mulutnya disumpal dan kepala diberi tudung kain.
Penjelasan resmi yang diberikan setelah peristiwa ini menyatakan bahwa Fu Yuan telah membunuh 5 orang, dan bahwa dia menderita gangguan kepribadian ganda (untuk menjelaskan suara perempuan yang tiba-tiba muncul dan didengar banyak orang). Meskipun penyakit jiwa berupa kepribadian ganda ini lebih banyak ditemukan di luar negeri, di negara kami termasuk kasus yang sangat langka. Namun melalui kasus ini, orang-orang diingatkan untuk lebih memperhatikan kesehatan mental mereka...
Secara esensi, Fu Yuan sebenarnya adalah korban. Namun mengingat kekejaman pembunuhan berantai yang dilakukannya, definisi kepribadian ganda dan status kegilaannya justru menimbulkan dilema besar dalam proses peradilan.
Semua ini berakhir dengan kematian Fu Yuan yang misterius di rumah tahanan! Dalam rumor masyarakat, kematiannya disebut-sebut sebagai bunuh diri karena takut dihukum, sementara pihak berwenang membiarkannya tanpa komentar.
Namun kenyataannya, cara kematiannya sangat mengerikan sekaligus ajaib. Keajaibannya terletak pada fakta bahwa dia seperti tokoh pria dalam novel Mimpi Paviliun Merah yang 'membunuh' dirinya sendiri dengan caranya sendiri. Kengeriannya terlihat dari bagaimana dia mencungkil kedua bola matanya sendiri sambil tetap tersenyum.
Aku tahu ini pasti ulah Hantu Rakshasa, tapi itu cerita lain. Saat Fu Yuan meninggal, kami rombongan sedang terjebak di Danau Sepuluh Ribu Hantu.
※※※
Pondok kecil itu masih dikelilingi garis peringatan, tapi aku dan Huigen sudah kembali lebih dulu. Buku catatan berkulit hitam dan foto itu, dalam arti tertentu, adalah 'penyelamat' bagiku!
"Seperti Hantu Jahat Li Fengxian di masa lalu, ketika Guruku menghadapinya, beliau tidak menggunakan metode ekstrem memusnahkan, melainkan cara membuka simpul hati. Dian Dian kala itu akhirnya luluh oleh cinta ibu... Inilah Jalan Benar keturunan Lao Li. Meski kini aku harus menghadapi makhluk seperti Hantu Rakshasa, esensinya tetaplah sama. Jadi dalam hal ini, identitas Hantu Rakshasa menjadi krusial, mungkin menjadi cara alternatif penyelesaian! Tapi itu hanya mungkin."
Setiap roh penasaran atau hantu jahat pasti memiliki alasan terbentuknya, atau kisah pilu yang tak terurai. Menghadapi mereka, selayaknya memberi celah belas kasih. Ini prinsip yang Guruku ajarkan padaku.
"Apa itu belas kasih? Memperlakukan rasa sakit orang lain seperti rasa sakit sendiri, itu sudah merupakan welas asih sejati." Aku teringat perkataan Hui Dàye. Prinsip sederhana tapi sulit direalisasikan, terlalu berat.
Belas kasih ah...
Pikiran ini tiba-tiba muncul. Tanpa sadar aku berhenti sejenak. Sejak tadi tubuhku terasa lemas tak biasa, entah apa sebabnya.
"Kak, wajahmu pucat sekali." Huigen menyangga tubuhku. Sampai sekarang dia belum tahu soal Hantu Rakshasa. Tak ada tenaga untuk menjelaskan.
"Aku tidak..." Aku berusaha bersikap santai pura-pura tak ada masalah, saat mengangkat kepala tiba-tiba melihat matahari sore yang masih menyilaukan. Sinar itu membuatku pusing tujuh keliling, tiba-tiba punggungku terasa sakit menusuk tulang bagai terbakar.
Seketika itu juga aku terjatuh pingsan.
