“Si bocah nakal, biar aku lihat. Kemampuan pemulihanmu benar-benar seperti babi hutan.” Kak Cheng Xin sengaja memukul punggungku saat berbicara, sakit sampai aku mengerenyit. Aku melototi marah dan berkata: “Apa maksudmu kemampuan pemulihan seperti babi hutan? Jelaskan! Tak bisakah kau cari perumpamaan yang lebih baik?”
“Maaf, aku tak bisa melakukan itu.” Kak Cheng Xin menatapku dengan ‘keikhlasan’ yang membuat geligi ingin memukulnya. Bahkan Tao Bai yang pemalu pun menunduk sambil tertawa bersama yang lain.
Aku bingung mendeskripsikan sikap tak punya perasaan kami. Kembalinya Kak Cheng Xin dan Xiao Chengqian berarti kami harus segera berangkat ke Danau Sepuluh Ribu Hantu. Apakah mereka benar-benar tak peduli?
Di hari-hari relatif tenang ini, hatiku tak kunjung tenang. Selalu ada firasat seperti hujan akan turun di pegunungan, angin telah memenuhi menara. Perasaan berat yang tak terucapkan itu menekan hatiku hampir meledak, tapi tak ku sanggup mengungkapkannya demi menjaga ketenangan semua.
Tapi apakah ini baik? Kak Cheng Xin mengganti perbankaiku. Bubuk obat yang dibawanya memberi efek dingin dan gatal. Ia bercanda menyebutnya versi asli Yunnan Baiyao, ‘obat luka emas’ legendaris terkuat. Namun alisku tetap berkerut, terus merenungkan semua ini.
"Aku merasa kali ini ada masalah, menyembunyikan dari semua orang apakah tidak bisa dianggap bertanggung jawab? Hati ku lagi ingin nekat pergi ke tempat paling berbahaya sendirian, apakah akan dimaki lagi sebagai individualis aksi?"
Langit di luar jendela terlihat kelam, meski musim ini panas tapi hujan selalu sering. Cuaca seperti ini apakah pertanda aksi kami kali ini tidak akan lancar? Aku akui pikiran ku sekarang agak kacau.
Sore hari, kami mengembalikan kamar dan akhirnya berangkat ke Danau Wan Gui. Entah dari mana Lushan mendapatkan mobil van, cukup memudahkan perjalanan kami kali ini.
Di dalam mobil, Kak Cheng Xin menyerahkan botol bubuk obat padaku. Katanya tidak sempat dibuat jadi pil, efek bubuk tetap sama. Minum satu sendok kecil setiap hari dengan air hangat.
Dia tidak menjelaskan khasiat bubuk itu. Saat kubuka tutup botol, tercium bau ginseng yang kuat. Bubuknya tidak banyak, botol keramik kecil ini hanya terisi seperempat, tampaknya tidak akan bertahan lama.
"Sudah untung dapat sebanyak ini. Aku sendiri juga merasa perjalanan kali ini tidak baik-baik saja. Semoga bubuk ini bisa membantumu, itu juga membantu kita semua." Kak Cheng Xin menatap keluar jendela, bicara seolah tak sengaja, tapi aku mengerti perasaannya.
Tanpa banyak bicara, aku dengan diam-diam menuangkan sedikit bubuk obat dan menelannya dengan air hangat dari botol minumku. Saat itu, aku tidak melebih-lebihkan perasaanku. Begitu bubuk itu masuk ke perut, langsung kurasakan nutrisi pada rohku, dan sensasi ini terus mengalir tak henti.
Aku nyaris merintih karena nyaman, tapi dalam hati sangat mengagumi. Aliran pengobatan memang selalu luar biasa ketika memiliki bahan herbal yang tepat.
Sebenarnya, kota kabupaten itu dekat dengan Danau Sepuluh Ribu Hantu. Menurut rencana awal, perjalanan kami seharusnya bermalam di sebuah desa kecil di tepi danau itu, tempat para nelayan hidup bergantung pada danau. Namun sekarang ada perubahan - kami harus pergi ke lokasi lain.
Tempat itu adalah area dekat 'tanah angker' sebenarnya di Danau Sepuluh Ribu Hantu. Sangat terpencil, tidak ada desa di sekitarnya, hanya ada perkampungan kecil berjarak 4-5 li yang katanya cukup tertutup.
Soalnya Danau Sepuluh Ribu Hantu sangat luas. Ada area yang ramai, tapi ada juga bagian yang sengaja dibuat terpencil.
"Pilihan ini memang terpaksa. Dari situasi sekarang, lebih baik tidak berlama-lama di danau. Di darat mungkin lebih aman. Jadi kami pilih lokasi yang paling dekat dengan tempat itu..." Lushan membentangkan peta sambil menjelaskan pada Chengyuan yang belum pahap mengapa kami memilih tempat paling berbahaya.
Tapi aku mengerti maksud Lushan. Jika Danau Sepuluh Ribu Hantu menyimpan rahasia apa pun, pastilah di tempat 'angker' itu. Jika kami tetap mengikuti rencana semula untuk bermalam di desa nelayan kecil itu, lalu menyewa perahu sendiri ke lokasi, kemungkinan besar kami harus menghabiskan waktu sangat lama di permukaan air. Menurut Lushan, baik di atas maupun di bawah air sebenarnya sama-sama berbahaya bagi kami, setidaknya tidak ideal untuk melakukan ritual! Memilih lokasi yang lebih dekat setidaknya meminimalkan waktu di permukaan air dan memungkinkan kami segera kembali ke daratan.
Karena perubahan rute perjalanan ditambah beberapa jalan yang tidak terlalu baik, kami baru tiba di tujuan saat tengah malam.
Inilah desa terkecil yang paling dekat dengan lokasi itu. Saat kami tiba di tengah malam, desa ini sudah sunyi sepi. Hanya suara serangga yang terus bersahutan dan sesekali gonggongan anjing yang terdengar.
Aku turun dari truk, menguap lebar sambil meregangkan badan. Memandang langit malam yang bertabur bintang - pemandangan yang sudah lama tak kulihat di kota. Ini mengingatkanku pada masa kecilku dulu, saat masih menikmati gemerlap bintang di Pondok Bambu dan tinggal di desa itu.
Betapa menyentuh kenangan!
Hati ini berdesir. Deru mesin truk kami telah memecah kesunyian malam desa. Dengan naluri tajam, kusadari beberapa rumah di pintu desa telah menyalakan lentera menyambut kedatangan kami...
“Coba tanya ke sana, kelompok besar sebanyak itu tidak mungkin berkemah di alam terbuka. Lihat apakah ada rumah warga yang bisa kita pinjam.” Yang bicara adalah Xiao Chengqian, si nak ini terlihat lelah, sepertinya buru-buru ingin mencari tempat untuk mencuci kaki dengan air panas dan tidur nyenyak. Maklum, dia baru saja pulang bersama Kak Cheng Xin lalu langsung bergegas ke sini.
“Iya, coba tanyakan saja. Kalau benar-benar tidak ada, kita bisa tinggal terpisah di dua tempat. Ngomong-ngomong, kabut di desa ini malam hari benar-benar tebal ya.” Kak Cheng Xin juga sedang mengatur penginapan.
Huigen si kecil ini merengek ingin tetap tinggal bersama aku dan Ruyue. Memori masa kecil memang tak bisa terhapus. Dulu, aku adalah kakak laki-lakinya, Ruyue adalah kakak perempuannya. Saat itu kami masih tinggal di Desa Tandus.
Berjalannya masa-masa selalu membuat orang tertegun.
Hoki kami cukup baik. Rumah pertama yang kami temui bersedia menampung kami, dan kamarnya pun cukup - dua kamar tidur yang sangat besar, bisa memenuhi kebutuhan kami. Keluarga ini kondisinya agak khusus, hanya ada seorang nenek tua yang tinggal bersama seorang anak. Orang tua anak itu bekerja di kota, sementara sang anak bersekolah di tempat yang jauh dan pulang sebulan sekali.
Si nenek adalah seorang yang bajik dan pendiam. Melihat kami kelelahan dalam perjalanan, setelah setuju menampung kami, ia segera buru-buru memasak sepanci besar air panas. Xiao Chengqian mengikuti orang tua itu ke dapur, memaksakan memberikan seribu yuan padanya. Hal ini justru membuat sang nenek kaget. Ia berkata seumur hidupnya tak pernah memegang uang sebanyak itu, merasa tidak tenang memegangnya, mundur dengan malu-merah, tapi tak bisa menolak keinginan Xiao Chengqian.
Chengyuan yang telah bertahun-tahun merawat Mas Yuan Yi sangat cakap. Cheng Zhen yang juga mengikuti Paman Wang dalam kehidupan pengembaraan selama bertahun-tahun juga sangat cakap.
Saat Xiao Chengqian dan sang nenek saling mendorong uang itu bolak-balik, mereka sudah menggulung lengan baju dan pergi ke dapur. Mereka bilang akan membeli beras, tepung, sayur, dan daging dari sang nenek, lalu memasak sendiri. Tapi sang nenek menolak dengan berkali-kali: "Uang yang diberikan sudah sangat banyak. Jika memberi lebih, saya tidak akan menampung kalian lagi."
Ini membuatku berdecak kagum. Di zaman sekarang, sudah jarang ditemui orang sejujur ini di pedesaan.
Saat Cheng Zhen dan Chengyuan sibuk bekerja, kami para pria dewasa dan Ruyue (perwakilan yang tidak cakap) beristirahat di dalam ruangan, mengobrol santai dengan sang nenek. Kak Cheng Qing tanpa sengaja berkata: "Bu, daerah sini malam hari agak dingin ya, kabutnya tebal sekali."
Orang tua itu berkata: "Benar, malam ini kabutnya tebal. Malam hari sebaiknya jangan berjalan mondar-mandir, ini ciri khas desa kami yang tidak diketahui orang luar. Desa-desa kami berbatasan dengan Danau, belakangan ini banyak pendatang yang main ke sekitar danau. Banyak desa jadi makmur, tapi desa kami tidak. Pertama karena lokasinya terpencil, kedua..."
Kami saling memandang bingung. Dengan adanya formasi besar perlindungan di pinggiran, seharusnya desa ini aman-aman saja. Apakah tempat ini juga terkena pengaruh?
"Yang kedua apa?" Xiao Chengqian yang berwatak gesit tak tahan bertanya.
Raut wajah orang tua itu menunjukkan keraguan sejenak sebelum akhirnya berkata: "Tidak ada yang istimewa. Cuma orang desa punya banyak adat pantangan, di sini peraturan memang lebih ketat. Kalian ini turis ya?"
Tanpa disadari orang tua itu mengalihkan topik pembicaraan, membuat kami kembali terkejut. Kak Cheng Xin yang cepat bereaksi langsung menjawab: "Iya, kami sedang berwisata. Tidak suka ke tempat ramai, pikir daerah ini paling sepi jadi datang kesini."
Orang tua itu menggeleng: "Ini bukan tempat wisata yang baik. Untuk tur keliling danau ada area khusus, dulu saya pernah merantau sampai ke Gunung Emei. Di sana pun tidak boleh sembarangan jalan, harus mengikuti jalan setapak. Jangan cari sensasi, menginap semalam saja lalu pergi. Buat apa wisata ke tepi danau ini?"
"Kami terdiam, aku yang sensitif merasa orang tua ini berbeda dengan bayanganku tentang orang tua biasa. Dari cara bicaranya, Ia tidak seperti orang yang tidak berpengetahuan, apalagi tidak berpendidikan. Mungkin Ia tahu sesuatu?"
