"Jika Hantu Rakshasa hendak mengambil nyawa, sangat sedikit yang bisa menjaga kejernihan pikiran dan bertahan di dunia fana ini."
"Kalau begitu Guruku bisa?" Aku menghela napas pelan, menopang dagu berkata: "Aku yakin tidak bisa. Guruku suka jongkok di jalan ngeliatin gadis-gadis desa. Hantu Rakshasa cuma perlu agak cantik sedikit, tanpa perlu memikat, Guruku langsung ikut pergi."
"Batuk, batuk... Ngomong apa sih? San Wa'er, kamu sudah gatal kulitnya, ya? Kalau aku dalam kondisi waspada, ada 50% kesempatan tidak terhipnosis. Tapi kalau sama sekali tidak siap, aduh..."
"Guru, kalau terpikat rohnya gimana? Katanya hantu kelaparan yang berwujud makan manusia, hantu tak berwujud tidak makan orang. Tapi Hantu Rakshasa bisa menelan daging-darah manusia untuk menyempurnakan dirinya. Kalau roh sudah terpikat, bukannya akan dimakan?"
"Gimana? Pokoknya jangan diam saja menunggu kematian! Kalau ada kesempatan kecil untuk sadar, usahakan jaga jarak. Semua cara melawan hantu boleh dipakai, mungkin bisa mengulur waktu untuk kabur! Kalau dia sudah melilitmu, tekan lidah ke langit-langit mulut gambar jimat, muntahkan darah ujung lidah. Orang biasa bisa..."
Dalam ketakutan sekejap itu, aku teringat kenangan lama di Pondok Bambu. Malam yang hangat ketika Guruku memegang kitab-kitab kuno menerangkan berbagai hantu dan siluman. Setelah seharian latihan berat, inilah saat yang paling kunanti-nanti. Anak kecil selalu penasaran pada hal tak dikenal, tapi tidak merasa takut.
Tentu saja hantu Rakshasa yang termasyhur juga termasuk dalam penjelasan, bagaimanapun legenda hantu pemakan manusia berasal dari Rakshasa. Hanya saja kemudian Preta 'memanfaatkan situasi keruh' dan mengembangkannya lebih jauh.
Berkat kekuatan jiwaku yang luar biasa, tingkat kewaspadaan rohku menjadi 'ekstra tinggi', memungkinkanku sadar di momen genting ini!
Mengenang surat yang ditinggalkan, di tengah krisis dan ketakutan ini, kehangatan tak terbendung mengalir dalam hatiku. Senyum tipis Guruku seolah menyuntikkan keberanian ke dasar jiwaku, seketika aku sudah tenang kembali.
Rakshasa masih tertawa terbahak-bahak dalam dekapanku, namun belitan kedua tangan di tubuhku semakin mengencang. Rasa sakit luka bisa diabaikan, yang lebih mengkhawatirkan adalah seluruh kekuatan dalam tubuh (tenaga jiwa, tenaga dalam, dll) ditekan oleh kekuatan tak kasat mata, sama sekali tak bisa digunakan. Bahkan Si Bodoh yang terbangun di kedalaman jiwaku hanya bisa mengaum, tetap terkekang tak bisa bergerak.
Pantas saja dari sekian banyak cara, Guruku menyuruhku menekan langit-langit mulut dengan lidah lalu memuntahkan darah ujung lidah.
"Kau bukan orang biasa." Rakshasa akhirnya menghentikan tawa horornya, tiba-tiba bersuara. Bukan lagi kelembutan yang memabukkan, tapi kengerian yang dingin kejam.
Aku sama sekali tidak menghiraukannya, tetapi tidak boleh membuatnya menyadari apa yang kulakukan. Aku hanya bisa berpura-pura ketakutan melihatnya, berpura-pura terlalu takut sampai tidak bisa bicara.
"Kekuatan jiwamu sangat kuat, hehehe... Bisa sadar kembali, tapi penyebab utamanya adalah wanita bernama Ruxue itu, ya? Hehehe..." Seperti saat pertama kali memelukku dari belakang, kuku tajamnya telah menusuk daging punggungku. Rasa dingin yin menyebar, sensasi beku yang merambat dari dalam tubuh terasa sangat mengerikan.
Kurasakan darahku mengalir melalui kuku Hantu Rakshasa, mengalir ke tangannya, tapi tidak setetes pun jatuh ke tanah, semuanya menghilang! Kulihat wajahnya menunjukkan ekspresi mabuk seperti menikmati darah, tatapannya menjadi kabur.
Apakah dia bersiap membunuhku seperti ini?
Kupaksakan diriku tetap tenang. Saat ini mantra di mulutku telah selesai. Tiba-tiba kugigit ujung lidahku. Rasa sakit luar biasa dengan bau anyir darah langsung memenuhi mulut. Seketika, darah ujung lidahku muncrat ke wajah mabuk Hantu Rakshasa.
"Aaa...!!" Hantu Rakshasa menarik kembali tangannya, refleks menutupi wajahnya sambil menjerit nyaring. Tak peduli tubuhku yang membeku, aku berbalik dan berlari beberapa langkah ke depan.
Kemudian berhenti, dan di detik berikutnya langsung memanggil Shahu!
Aku tahu terus berlari tak akan menyelamatkanku. Guruku pernah berkata, untuk mempertahankan jarak harus menggunakan segala cara. Aku hanya berhasil membelikan waktu sebentar untuk bernapas tersengal.
Sebenarnya ada cara yang lebih baik, yaitu tusuk cendana di tanganku. Tapi setelah bertahun-tahun, beberapa butir tusuk cendana yang dulu Guruku berikan padaku telah hilang. Jika dipakai lagi, pasti akan berakibat menjadi abu. Kecuali keadaan darurat, aku tak ingin menggunakannya.
Si Bodoh muncul dengan mata harimau yang menyipit, melangkah dengan gaya harimau mondar-mandir di depanku. Tapi ia tak berani mendekati Hantu Rakshasa. Bulu-bulu di seluruh tubuhnya berdiri tegak, ekornya melengkung membentuk sudut ketakutan. Jelas Si Bodoh pun merasa gentar, persis seperti dulu saat ia takut pada si kecil!
"Saudara, tolong tahan dia sebentar." Aku menyampaikan pikiran pada Si Bodoh. Rohku dicabut paksa jadi tak membawa jimat. Menyatu dengan Si Bodoh sudah tak mungkin. Untuk mengalahkan Hantu Rakshasa yang penuh energi Yin jahat ini, cara terbaik adalah petir. Dengan kemampuanku sekarang, Teknik Lima Petir bisa dipakai tanpa perlu waktu lama atau ilmu Xiaomao. Suara petir yang besar mungkin akan membangunkan mereka dan memanggil bala bantuan. Setidaknya bisa mengusir Hantu Rakshasa dulu...
"Si Bodoh menggeram rendah, menjawabku! Sayangnya, darah ujung lidahku ditambah 'jimat lisan kosong' hanya membuat Hantu Rakshasa 'kesakitan' sebentar, ia langsung pulih sepenuhnya. Kini ia menatapku dan Si Bodoh dengan ekspresi yang semakin mengerikan!"
Takdir adalah siklus reinkarnasi. Dulu saat menghadapi Preta, aku juga menggunakan cara seperti ini. Tapi waktu itu aku sama sekali tak punya tenaga dalam... Kini, metode yang sama setidaknya bisa melumpuhkan hantu dendam, tapi terhadap Hantu Rakshasa...
"Kau takkan mati. Kau akan berubah menjadi Chennuo yang jatuh cinta padaku sepenuhnya, takkan pernah berkhianat seumur hidup. Hahaha... Dari awal aku tak berniat membunuhmu!" Hantu Rakshasa tiba-tiba bersuara padaku.
Sambil bicara, Hantu Rakshasa tiba-tiba mengangkat tangannya. Seketika ia muncul di depan Si Bodoh. Si Bodoh langsung melengkungkan tubuhnya, seolah sangat terkejut. Padahal kecepatan adalah keuntungan Si Bodoh, tapi Hantu Rakshasa lebih cepat.
Aku tahu saat ini selain tetap tenang, tak ada cara lain. Sambil membujuk Si Bodoh, aku mulai menutup mata melantunkan mantra sambil membentuk mudra. Suara histeris Hantu Rakshasa yang sombong terus bergema di telingaku: "Tidak ada gunanya! Tidak ada gunanya..."
Kudengar raungan Si Bodoh disusul teriakan gila Hantu Rakshasa. Mereka sudah mulai bertarung!
Rasa sakit yang luar biasa dari jiwa terus menyiksaku, mengingat Si Bodoh dan aku terhubung secara spiritual. Seiring berlalunya masa-masa, rasa sakit itu kian hari kian hebat. Dengan jelas kurasakan bagaimana Gui Luoscha dengan mudah menyobek salah satu cakar Si Bodoh, yang kemudian melolong kesakitan hingga mengguncang langit!
Harus diketahui bahwa Si Bodoh bukan lagi harimau bodoh seperti dulu. Ia telah berevolusi di hutan tua, kemampuannya kini meningkat pesat.
Aku bertahan, jemariku cepat membentuk segel tangan. Tiba-tiba kurasakan kebingungan yang berasal dari jiwa - bukan kebingunganku, melainkan kebingungan Si Bodoh!
Saat ini, Si Bodoh yang penuh luka itu tiba-tiba tergeletak di tanah. Matanya telah kehilangan cahaya spiritual. Kepala harimaunya bersandar di lutut Gui Luoscha yang sedang tersenyum sinis sambil mengelus kepala besar Si Bodoh. Dengkuran lemah keluar dari Si Bodoh yang mulai terlelap.
Tangan ku terus membentuk segel tangan, menyadari semua ini tapi sama sekali tak bisa kehilangan fokus. Tak bisa ku panggil Si Bodoh. Hanya bisa kulihat Gui Luoscha menatapku dengan tatapan misterius, lalu melepaskan Si Bodoh yang telah lemah, sebelum mulai melayang mendekatiku.
“Si Bodoh!” Jantungku terasa sakit, tak tahu luka macam apa yang akan diterima Si Bodoh. Seharusnya aku tak melepaskannya. Tak kusangka harimau yang bisa bertarung dengan si kecil, tak mampu bertahan semenit melawan Rakshasa.
Si kecil tak punya kemampuan hipnosis sehebat itu!
Cepat, cepat! Beberapa tetes keringat menetes dari dahiku. Apa harus kugunakan kalung cendana di tangan? Kecepatan Rakshasa luar biasa, dalam sekejap sudah berada satu meter di depanku!
Aku tak bisa lagi menyelesaikan Jurus Lima Petir. Dengan paksa menghentikan sihir, tenaga jiwaku yang terkonsentrasi langsung berbalik menghantam tubuhku.
Dengan suara "Wah!", aku muntahkan darah. Rakshasa memandangku dengan tatapan penuh kesombongan, berkata: "Lelaki penghianat pantas dikunyah perlahan. Biar tak bisa berkhianat lagi. Jadilah dagingku, tinggal selamanya dalam tubuhku."
Bulu kudukku merinding. Kulepas kalung cendana dari pergelangan, kuangkat di depan mata.
Dari kejauhan desa, suara gonggongan anjing bersahutan. Disertai riuh suara manusia dan langkah kaki. Ada yang datang? Dari suaranya sudah lama mendekat. Posisiku di pintu desa menghadap jalan keluar Danau Seribu Hantu!
