Ini adalah senja terakhir yang damai. Sepanjang hidupku, senja awal musim panas selalu kukenang. Panas mereda, angin sepoi-sepoi, orang-orang keluar rumah setelah seharian bekerja, menikmati kesejukan dan bersantai!
Saat seperti inilah, ribuan suara dan vitalitas menyatu menjadi warna-warni dunia. Berada di tengahnya, barulah kumengerti makna kehangatan Dunia Manusia yang paling berat untuk ditinggalkan!
Senja di desa kecil tidak memiliki keriuhan seperti itu, namun memiliki pesona khas pedesaan. Asap tipis mengepul, suara katak dan serangga bersahutan. Berjalan di jalan kecil desa, ketenangan dalam hati mampu mengusir sementara semua keresahan ke dasar hati.
Yang berjalan berdampingan denganku adalah Ruyue. Seperti yang diprediksi Kak Cheng Xin, lukaku sudah pulih 90% pada hari kelima. Ditambah istirahat beberapa hari, kondisi fisikku sudah kembali ke kondisi puncak. Setelah lima hari pemulihan, keadaanku sekarang lebih baik dari sebelumnya.
"Kak San, tidakkah kau perhatikan matahari terbenam hari ini sangat istimewa?" Ruyue berbisik lembut di sampingku.
"Hmm, mungkin inilah yang disebut 'matahari terbenam yang merah seperti darah'. Merahnya sampai...", memandang mentari senja di kejauhan, aku tak bisa menggambarkan perasaan dalam hatiku!
"Benar, terdengar kejam - 'matahari terbenam berwarna darah'. Tapi senja semerah ini sungguh indah! Andai kakak perempuan ada di sini. Ia paling mencintai pemandangan senja. Aku yakin ia akan berdiri lama di jendela menikmati matahari terbenam secantik ini." Suara Ruyue terdengar melankolis.
Aku hanya terdiam. Segala hal yang diawali kata "andai", seindah apapun akan berubah menjadi kesedihan. Karena "andai" hanyalah kerinduan akan sesuatu yang tak dimiliki. Saat sudah memilikinya, bagaimana mungkin orang masih menggunakan perasaan seperti itu untuk mengucapkan sebuah "andai"?
"Angin mulai bertiup, ayo pulang." Setelah lama terdiam, akhirnya aku berbicara. Desa ini selalu terasa lebih dingin saat malam tiba karena energi Yin yang terkumpul. Meski senja indah, mengingat kenangan menyedihkan dihadapannya hanya akan membuat kita semakin tenggelam.
Ruyue menyarankanku jalan-jalan, mungkin karena teringat masa remaja yang ceroboh dan bahagia. Dulu, aku, Ia, dan Yang Sheng sering berjalan-jalan sembarangan di sekitar Pondok Bambu. Kerinduan akan perasaan itu lebih baik diulangi sebelum petualangan berbahaya ini.
Tapi tanpa disadari, waktu telah mengubah segalanya. Jalan-jalan seperti ini tak lagi memiliki kedewasaan mental masa lalu. Aku dan dia tak bisa menghindari bayangan Ruxue. Setiap kali namanya disebut, nestapa langsung menyergap... Ruxue telah menjadi keinginan bersama di hati kami.
"Benar, angin mulai kencang!" Angin menerbangkan poni di dahi Ruyue. Ia refleks memeluk bahunya. "Angin sini memang menusuk tulang." Tapi saat menatap ke kejauhan, matanya kembali memancarkan keras kepala masa kecil yang egois. "Waktu kita sedikit. Desa ini akan diselimuti kabut berlapis begitu malam tiba. Tapi senjanya terlalu indah untuk dilewatkan. Aku ingin melihatnya sampai benar-benar tenggelam. Aku mau ke sana!"
"Aku tersenyum pasrah, ingin lagi seperti waktu kecil membelai rambut Ruyue, tapi akhirnya tidak jadi. Nona ini sampai usia begini masih tetap begitu. Kekakuan egois sejak kecil memang terukir di tulang sumsum, satu-satunya kelemahannya. Tempat yang dia tunjuk itu di pintu desa sebelah sana, dekat Danau Seribu Hantu.
Di sebelah sana pemandangannya sangat indah. Sebuah lereng bukit kecil dipenuhi rumput hijau dan bunga liar. Di puncak lereng itu berdiri pohon besar yang bahkan aku tidak tahu jenisnya, berbunga putih lebat. Angin sepoi-sepoi berbaur dengan senja kemerahan bagai darah, indahnya seperti dalam mimpi. Pantas saja dia ingin ke sana.
"Kakak San, ikut tidak? Jangan-jangan trauma psikologis karena pernah ketemu Rakshasa di sana?" Ruyue menatapku dengan pandangan licik. Lagi-lagi taktik provokasi gaya zaman kecil.
Sebagai Taoist, aku tidak tega memberitahunya: Senja yang indah berwarna darah ini terjadi karena dekat Danau Seribu Hantu, akibat aura hantu dendam. Terkadang kebenaran di balik keindahan justru kejam. Buat apa merusak keindahan semu ini?
Sama seperti racun yang semakin berwarna-warni justru semakin mematikan. Bisa dinikmati dari jauh, tapi rasanya berbeda jika didekati."
"Lalu, bagaimana dengan matahari terbenam di Danau Sepuluh Ribu Hantu?" Aku berpikir ngawur sambil menyalakan sebatang rokok, berkata pada Ruyue dengan nada memanjakan: "Pergilah, aku tidak punya bayangan." Bahkan jika ia berusia 80 tahun, aku tetap akan memperlakukannya seperti adik perempuan!
Ruyue yang jarang bersikap kekanakan seperti ini, mendengar ucapanku langsung bersorak gembira sebelum berlari ke arah sana sambil tertawa. Aku menghembuskan asap rokok, memandang matahari terbenam itu, tak kuasa berkomentar: "Matahari sore ini merahnya benar-benar tidak wajar, bahkan awan merah terbakar di masa kecilku pun tak bisa menandingi. Senja ini seolah mencelup seluruh langit menjadi merah."
Sayangnya Ruyue tidak menghiraukan perkataanku, tetap berjalan riang di depan. Tiba-tiba aku teringat awan merah saat bertempur dengan si kecil, perasaan tegang menyergap, tapi kusadari ini berlebihan. Bukankah ini desa penganut Taoisme? Selama Hantu Rakshasa tidak muncul, bahaya apa lagi?
Dan 'itu' sendiri sudah hampir lima hari tidak terlihat.
"Sungguh indah. Andai waktu bisa berhenti di momen ini." Sepuluh menit kemudian, kami telah sampai di pintu desa. Ruxue yang bersandar di pohon besar itu terpana memandangi senja, tak kuasa mengeluarkan desah kekaguman.
Aku juga bersandar di pohon besar, berdiri di samping Ruxue. Yang kulihat bukanlah matahari terbenam, melainkan kabut pekat di lereng bukit bawah yang bergulung-gulung seperti pasang surut, terlihat begitu tidak nyata.
"Sebenarnya hatiku cukup tenang di senja seperti ini, tapi entah mengapa setelah beberapa kali menatap kabut itu, tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Sebuah rasa krisis yang dahsyat meledak di dalam hati!"
Ini adalah fungsi Indera spiritual-ku yang bekerja. Aku mengerutkan alisku. Setelah mengalami beberapa Tragedi, aku tidak akan pernah meragukan Indera spiritual-ku dalam situasi normal lagi. Jika sudah muncul rasa krisis ini, pasti ada bahaya yang akan terjadi.
Aku segera menoleh ke Ruyue: "Kabut itu ada keanehan, cepat kita kembali."
Ruyue kaget mendengar nada bicaraku yang tiba-tiba serius. Ia menoleh dan bertanya: "Kakak San, ada apa? Bukankah desa ini selalu berkabut seperti ini setiap malam? Kenapa dikatakan aneh?"
"Aku tahu, tapi pernahkah kau lihat kabut yang menggelembung tak wajar seperti ini? Aku tidak tahu menjelaskannya, yang pasti kita harus pergi." Ekspresiku sudah sangat serius, serius sampai tak bisa ditolak.
Melihat ekspresiku, Ruyue melirik senja yang mulai memudar dengan rasa sayang, lalu mengangguk tegas tanpa bersikap egis lagi.
Aku sudah tidak peduli. Rasa krisis ini disertai perasaan gelisah yang tak bisa dijelaskan. Aku berbalik menarik tangan Ruyue dan berjalan cepat. Ruyue membiarkan tanganku menggenggam lengannya, mengikuti langkahku yang tergesa.
"Kakak San, besok kita akan ke Danau Seribu Hantu. Apakah kita akan mati?" Mungkin karena sikapku yang tiba-tiba ini membuat Ruyue tegang, ia bertanya dengan suara bergetar.
“Tidak akan mati, selama kita semua bersama, tidak ada situasi yang akan membuat kita mati.” Aku berkata dengan lantang.
“Kakak San, apakah kita masih bisa melihat senja seperti ini?” Ruyue bertanya dengan nada rindu. Aku menyadari perasaan Ruyue seakan jatuh ke titik terendah yang aneh. Nona kecil ini biasanya tidak akan mengucapkan kata-kata pesimis seperti ini, alisku kembali berkerut.
Apakah ini pengaruh dari senja? Ada sesuatu yang tidak beres?
Angin malam berhembus pelan, setiap tiupannya membawa hawa dingin yang semakin menusuk. Saat menyentuh pipiku sekejap itu, tubuhku langsung merinding. Angin sedingin ini justru membuat hatiku dipenuhi perasaan gagal dan tenggelam, bukannya menjadi tenang.
Ini pengaruh energi Yin! Energi Yin yang tidak murni seperti ini biasanya mengandung aura negatif, bisa membuat orang tertekan atau menjadi kejam! Tapi setiap halaman di desa kecil ini dilindungi daun calamus darah, bagaimana energi Yin masih bisa memberi pengaruh sebesar ini?
Memikirkan ini, aku tak tahan menoleh ke belakang. Saat itu kulihat senja di ufuk sudah buram. Bukan karena menghilang, tapi karena pandanganku terhalang kabut pekat yang tiba-tiba muncul dari lereng bukit!
Kenapa kabut ini tiba-tiba naik? Aku tak sengaja berhenti. Ruyue tampak sangat gugup dan bertanya, “Kakak San, apa ini berarti Hantu Rakshasa datang?”
“Bukan, kabut ini...” Aku belum selesai bicara, sudah melihat siluet seorang pria keluar dari kabut. Ia mengenakan pakaian era Republik Tiongkok, wajahnya penuh keresahan, menatapku dengan tatapan kosong. Tubuhnya terlihat samar-samar seperti melayang.
Aku langsung membeku. Dengan sekali pandang kusadari makhluk yang keluar dari kabut ini jelas-jelas bukan manusia, melainkan Hantu. Padahal aku tidak membuka Mata Ketiga, tapi bisa melihatnya dengan jelas. Ini hanya membuktikan satu hal: itu bukan Hantu biasa!
Apa penilaianku salah? Kubicaskan pada Ruyue: “Kau lihat ke belakang, apa yang kau lihat?”
Ruyue tampak gugup, tapi menurut permintaanku, ia berbalik dengan gemetar. Seketika ia berteriak: “Kakak San! Banyak...banyak orang. Ini...masih manusia?”
Suaranya serak. Aku menelan air liur. Kulihat jelas saat Ruyue berbalik, puluhan siluet telah muncul dari kabut. Semuanya terlihat nyata! Ekspresi mereka mengerikan - ada yang tersenyum sinis, menangis histeris, terduduk lesu dengan tatapan penuh kebencian...
Wajah-wajah itu tak kumau lihat lebih detail.
Kutarik Ruyue sambil berteriak: “Cepat ikut aku pulang ke desa! Cepat, cepat...” Ucapan terakhirku terpotong saat kumulai menariknya berlari. Dari dalam kabut, terus bermunculan siluet-siluet baru. Kabut itu sendiri dengan cepat menyebar memenuhi seluruh desa!
