Meski kesadaranku semakin kabur, kebingungan dalam hatiku tak berkurang. Konsep "kota baru" dalam bayanganku memiliki ribuan bentuk. Meski tak mungkin benar-benar sebuah kota, tapi tak seharusnya hanya berupa karang yang terselubung kabut begini.
Walau karang ini cukup besar - seperti bagian memanjang yang mirip jalan di balik kabut yang seolah tak berujung - area tempat kami berpijak hanya sekitar seratus meter persegi.
Inikah kota baru itu? Kantuk hampir menyeretku ke alam mimpi, tapi perasaan dalam hati ini sungguh rumit.
Si kakek itu menyunggingkan senyum kecut sambil membereskan perahu dengan santai. Setelah mengikatnya, ia mendekat sambil berkata: "Sampai ya sudah sampai. Di sini ya di sini. Mau dipikir bagaimana, perahunya cuma sampai sini. Takkan jalan lagi."
Sikap si kakek sama sekali tidak ramah, tanpa penjelasan secuil pun. Tapi dari sanubari terdalam, aku percaya padanya. Dalam kondisi setengah sadar ini, aku tak bisa menelusuri asal kantuk dan kebingungan ini. Refleks kutanyakan: "Pak, apa yang harus kami lakukan sekarang?"
Tidak mungkin terus berdiri di atas karang ini? Lihatlah karang ini, cukup unik, rata dan datar. Di dekat bagian tengah, terdapat tungku api sederhana dengan panci di atasnya. Di sekitarnya terdapat tumpukan rumput liar tak dikenal, serta beberapa benda yang mirip kentang atau ubi, tapi tidak persis.
Tak jauh dari panci, ada sebuah bantal duduk meditasi. Di sebelahnya terdapat batu karang yang sangat rata, di atasnya terbentang seprai compang-camping namun rapi. Seprai itu ditutupi selimut tipis dengan kondisi serupa, dan sebuah bantal yang terbuat dari lipatan pakaian usang.
Terakhir, di sisi lain terdapat batu dengan cekungan di tengahnya. Di dalam cekungan itu tergenang air jernih yang tidak berwarna keunguan.
Semua yang sederhana ini memenuhi kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Tidak ada lebih dari itu, seperti para pertapa di gunung yang sejati - kondisi yang memungkinkanmu tetap hidup namun meredam segala nafsu. Kebutuhan pokok seperti sandang-pangan dipangkas hingga titik minimalis.
Namun baik para pertapa maupun ahli spiritual biasa, takkan menyangka ada orang yang menjalani hidup asketis seperti ini di tepi neraka kecil. Sungguh mengejutkan.
Si kakek membiarkan kami mengamati segala sesuatu di sini, seolah dia hanyalah penonton. Setelah hening sejenak, tiba-tiba dia menjawab pertanyaanku: "Tinggalkan semua alat ritual. Berjalanlah lurus mengikuti jalur karang ini sampai tak ada lagi jalan. Di sanalah tempat yang kau cari."
Meninggalkan alat ritual? Permintaan macam apa ini? Jika alat ritual ditinggalkan, bukankah kami pasti mati?
Menghadapi kebingunganku, si kakek itu menunduk mengambil air jernih dengan gayung, meletakkannya di panci, lalu mulai menggesek dua batu dari sakunya untuk menyalakan api. Tiba-tiba dia bertanya: "Ada korek api yang bagus? Tolong berikan padaku."
Aku menahan kantuk sekuat tenaga, mengumpulkan semua korek api dari tubuh kami dan menyerahkannya padanya. Tanpa basa-basi, dia menerimanya lalu mengambil beberapa kayu kering dari tumpukan rumput liar dan ubi itu sambil berkata: "Tak perlu tinggalkan alat ritual, benda-benda duniawi lain boleh dibawa. Lagi pula tak bisa dimasukkan! Alat ritual sejati pasti beraura spiritual. Alat tanpa energi spiritual di dalamnya tak bisa digunakan. Tentu saja alat ritual yang bisa memanggil roh transformasi juga langka. Kalian cukup 'kaya', masih punya beberapa! Pokoknya tetap bisa bawa beberapa barang! Oh iya, si gadis kecil perlu perhatikan ini - tinggalkan semua ulat dan bubuk obatmu, tak satu pun bisa dibawa. Tapi untungnya di tubuhmu sudah tertanam Benming Gu. Benming Gu sejati yang kuat adalah roh ilmu santet, mirip kucing roh atau Anjing Roh. Jika sudah mencapai puncaknya, bahkan dewa pun takut. Kau punya roh ilmu santet, jadi bukan berarti tak punya alat proteksi. Aku terlalu banyak bicara, cepatlah pergi."
Si kakek benar-benar berbicara panjang lebar tanpa fokus, sibuk menyalakan api. Saat mengatakan semua itu, alisnya pun tak berkedip. Tapi ucapannya justru membuat kami semakin kebingungan.
"Entah kenapa, aku justru merasa percaya begitu saja pada si kakek ini. Saat itu juga aku melepas kantong kain kuning yang melekat di tubuhku - barang yang hampir setara dengan nyawaku sendiri - dan menaruhnya di samping si kakek."
Aku tidak bertanya alasannya, pasti dia juga takkan menjawab. Melihatku meletakkan kantong kuning itu, si kakek tiba-tiba menarik pergelangan tanganku dan bertanya dengan misterius: "Apakah semua benda dalam kantong ini sudah kau tapabrata?"
"Alat ritual andalanku, mana mungkin tidak kutapabrata? Hanya beberapa mainan kecil yang tidak mungkin..." Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, si kakek sudah menggerakkan tangannya tanda tak sabar: "Pergilah, pergilah."
Setelah aku menjadi contoh, satu per satu yang lain pun melakukan hal serupa. Hanya Kak Cheng Qing dan Jue Yuan yang masih ragu-ragu di belakang, entah apa yang mereka pikirkan.
Si kakek tidak mendesak maupun berbicara. Dia hanya menatap keduanya sebentar sebelum kembali fokus pada 'proyek pengapian besar'-nya. Dengan gerakan mahir, tak lama tumpukan kayu itu benar-benar menyala berkobar.
Aku yang tidak tahan akhirnya bertanya: "Kalian...?"
"Lentera ini harus tetap kubawa, Cheng Yi. Tidak ada kompromi," jawab Kak Cheng Qing blak-blakan.
Jue Yuan menambahkan: "Yang lain boleh saja, tetapi tasbih ini wajib menempel di tubuhku. Aku harus menunggu sampai 108 butirnya menyala semua."
Mendengar penjelasan mereka, aku bingung. Bukankah si kakek bilang tidak boleh membawa apapun? Lalu bagaimana dengan kondisi seperti ini?
Si kakek akhirnya meletakkan urusannya, mendekat lalu mengambil tasbih di tangan Jue Yuan tanpa permisi. Matanya memancarkan kekaguman samar, berkata: "Lepaskan tasbih ini, meski kau lepaskan, kehadirannya tetap ada."
Usai bicara, si kakek menatap Jue Yuan dengan tatapan seolah mengandung 'sihir'. Jue Yuan terdiam sejenak, lalu dengan tegas meletakkan tasbihnya di tanah.
Si kakek kemudian menghampiri Kak Cheng Qing, mengambil kantong kain kuningnya tanpa permisi. Dia mengeluarkan lentera kecil dan mengamatinya dengan seksama. Kekaguman di matanya bahkan lebih besar dibanding saat melihat tasbih Jue Yuan.
Tentang lentera itu, dia hanya berkomentar: "Ini sudah menjadi objek takdir. Roh senjata sejati telah diwariskan padamu. Menyalakan api ini bukanlah api biasa! Di dunia biasa, gunakan lentera untuk ritual. Di dunia tak biasa, gunakan cara khusus. Untuk apa kau nekad membawanya?"
Mendengar ini, Kak Cheng Qing terlihat merenung dalam. Setelah lama, dia melepaskan kantong kain kuning di punggungnya dan mengucapkan terima kasih pada si kakek.
Si kakek kembali menjaga panci berisi airnya, tak lagi memperhatikan kami.
Tak ada gunanya berlama-lama. Semua petunjuk sudah diberikan. Aku memimpin memberi hormat pada si kakek, lalu berjalan menuju karang itu. Yang lain mengikuti di belakangku, melakukan hal sama, bersama-sama menuju karang.
Batu karang yang panjang itu benar-benar seperti sebuah jalan, permukaannya sangat rapi dan bersih, mirip jalan batu pualam kuno di kota-kota kecil Jiangnan, tapi lebarnya tidak lebih dari dua meter. Berjalan di atasnya terasa seperti melintasi jembatan sempit.
Di kedua sisinya terdapat air danau berwarna ungu kemerahan. Di sini, air danau tidak lagi diam sepenuhnya, melainkan bergelombang pelan tertiup angin sepoi-sepoi. Air itu sesekali menyembur ke batu karang di bawah kaki, lalu berdebur turun...
Seluruh permukaan batu karang diselimuti pemandangan berkabut. Kabut tipis seperti asap bergerak perlahan, sesekali memperlihatkan langit ungu kemerahan yang tersembunyi.
Tanpa menoleh, langkahku terhuyung-huyung. Setiap melangkah, rasa kantuk yang kuat menggodaku. Kuteriakkan, "Master, aku ingin tidur. Tempat ini membuat orang sangat mengantuk. Apa ini berpengaruh?"
"Master, tidak memanggil 'paman tua' lagi?" Lelaki tua itu jarang bercanda. Katanya, "Tidak apa-apa. Jalan Huangquan dilarang menoleh ke belakang." Lalu ia terdiam.
Sepanjang jalan, gema larangan "Jalan Huangquan dilarang menoleh ke belakang" terus bergema, membuat bulu kuduk merinding. Apakah ini pertanda kita benar-benar sedang menuju neraka?
Tapi sang tua berkata tidak apa-apa. Jadi kuikuti saja keinginan untuk terus berjalan dalam kantuk ini...
Berjalan, berjalan, tiba-tiba aku menyadari karang yang diselimuti kabut seolah mencapai ujung. Di samping ujung itu, berdiri prasasti batu kecil tanpa tulisan. Dengan susah payah aku menyeret tubuh ke sisi prasasti itu, lalu melangkah melewatinya tanpa ragu...
Saat itu, seakan mengalami kenangan hidup yang mengharukan, pikiranku melayang. Tubuh terasa sakit sesaat, namun segera menghilang!
Lalu terjadi hal ajaib: tiba-tiba aku terbebas dari kesulitan yang tak kunjung sirna tadi. Kondisi fisik kembali prima. Jalan yang hampir habis di depan mata - karang sepanjang dua tiga meter setelah prasasti - kini berubah menjadi jalan hitam lebar yang membentang ke dasar kabut.
Di kedalaman kabut, samar-samar terlihat siluet bangunan. Tempat apakah ini?
Persis ketika aku sedang linglung, semua orang tiba di sampingku dan melihat pemandangan di depan mata!
Apakah ini kota baru yang sesungguhnya?
