Aku memang membeku, tapi lihatlah Jue Yuan dan Huigen yang justru menunjukkan ekspresi sama sekali berbeda.
Saat mendengar suara lonceng, Huigen langsung membeku di tengah jalan. Ia kemudian menutup kedua matanya, ekspresinya berubah penuh welas asih seiring gemanya lonceng yang jauh. Seluruh tubuhnya memancarkan aura energi yang khidmat, penuh kesakralan dan kasih sayang.
Reaksi Jue Yuan bahkan lebih dramatis. Begitu lonceng berbunyi, air mata langsung mengalir di pipinya. Di tengah hiruk-pikuk teriakan kesakitan dan perkelahian gila para penghuni yang tak waras, sosoknya yang mengenakan jubah putih tegak berdiri sambil menutup mata dengan wajah basah oleh air mata itu, bagai adegan film yang membeku abadi dalam ingatanku.
Aku tak mengerti apa yang terjadi pada Jue Yuan dan Huigen. Kekhawatiranku membuatku lupa bertanya pada Zhu Zhuo. Saat dentang lonceng mereda, aku segera menghampiri Huigen: "Kau kenapa?"
Dengan raut wajah khidmat, Huigen menjawab serius: "Kak, belum pernah kudengar lonceng sepenuh welas asih seperti ini."
"Mendengar welas asih dari suara lonceng?" Sebelum sempat kutanyakan, Jue Yuan telah mengusap air matanya: "Cheng Yi, lonceng ini pasti dibunyikan oleh biksu senior yang hampir mencapai pencerahan. Dalam setiap dentangnya tersimpan kehendak untuk berkorban menyelamatkan umat manusia. Setiap nada menggema nestapa atas dosa yang tak terselamatkan di tempat ini. Tak kuasa kutahan air mata ini."
Sebenarnya, poin kunci yang tidak kupahami adalah bagaimana roh bisa meneteskan air mata. Hanya bisa ditebak, di tempat dimana seluruh kota ini adalah sebuah mimpi, Jue Yuan benar-benar ingin menangis untuk mengekspresikan perasaannya, sehingga kita menyaksikan pemandangan seperti ini.
Kupikir tak perlu bertanya pada Zhu Zhuo, aku sudah tahu makna bunyi lonceng ini. Untuk memastikan, kukatakan padanya: "Apakah ini Master Hongren?"
Zhu Zhuo mengangguk bersemangat, "Benar, Master Hongren! Kalian sangat berhoki. Master Hongren jarang membuat pengecualian seperti ini, muncul berturut-turut."
Beruntungkah? Aku agak ragu, tapi tak sempat berpikir panjang. Kukatakan pada Zhu Zhuo: "Cepat antar kami kesana."
Zhu Zhuo tentu bersedia, karena ia sendiri juga ingin mendatangi Master Hongren. Menurutnya, merasakan ritual pelepasan arwah Master Hongren dan mendengarkan penjelasan Dharma beliau bisa mengurangi penderitaannya serta menyadarkan rohnya.
Tempat Master Hongren melakukan ritual pelepasan arwah dan mengajar Dharma selalu tetap, yaitu di sebuah alun-alun di kota baru. Saat kami bergegas kesana, kami temukan jalanan berjejal Hantu yang semua menuju ke sana.
Sepanjang perjalanan, kulihat Hantu-Hantu paling sadar. Bahkan beberapa Hantu yang sudah tak begitu sadar, bermata merah, secara instingtif tetap bergegas menuju ke sana.
Melihat semua ini, aku tak bisa tidak merasa terharu. Di tempat yang dipenuhi berbagai emosi negatif namun kekurangan kehangatan dan energi positif ini, sungguh luar biasa bagaimana seseorang bisa membangun reputasi dan wibawa sebesar itu.
Kami berjalan mengikuti kerumunan hantu yang padat. Jue Yuan berbisik di telingaku: "Inilah welas asih sejati. Daya tarik yang berasal dari belas kasih yang memancar dari dasar hati. Sedikit kepalsuan atau keegoisan, semuanya mustahil mencapai efek seperti ini. Baik hantu baik maupun hantu jahat, tetaplah roh. Dan roh adalah makhluk yang paling sensitif. Kebaikan atau kejahatanmu, di mata mereka selalu terlihat langsung."
Mungkin memang begitu. Pada kepercayaan tanpa alasan yang Zhu Zhuo berikan pada kami, aku melihat hal ini. Jika bukan karena sensitivitas roh, bagaimana mungkin dalam lingkungan seperti ini dia berani mempercayai kami yang asing?
Bahkan di dunia yang, jika seorang baik hati biasa bertemu kami, pasti tidak akan mengambil risiko seperti itu untuk mempercayai kami.
Alun-alun tempat Master Hongren berada tidak jauh dari kawasan tempat kami sebelumnya. Hanya tiga persimpangan jalan lagi. Zhu Zhuo mengatakan, jika bukan karena jarak yang dekat ini, meski sangat ingin bertemu Master Hongren, dia sama sekali tidak berani keluar.
Aku mengangguk. Kini kami sudah berada di alun-alun ini. Namanya cukup megah: Alun-alun Jijun. Bayangan pasukan berkuda dalam jumlah besar yang pernah berkumpul di tempat luas ini pasti sangat menggetarkan.
Kau bisa merasakan ambisi orang yang memberi nama alun-alun ini dulu, juga bisa merasakan getaran saat ribuan hantu berkumpul di sini. Bagaimana jadinya jika ini adalah pasukan tentara?
Sekeliling alun-alun dipenuhi ukiran dan patung, semuanya menggambarkan jenderal hantu jahat dengan adegan perkelahian yang mengerikan. Di bawah tanah alun-alun juga terdapat ukiran-ukiran, saat kau menunduk melihatnya, perasaanmu langsung tidak nyaman - ternyata itu ukiran mayat-mayat terapung yang berserakan.
Beberapa ukiran itu ada yang sudah menjadi tengkorak lapuk, ada juga orang yang sekarat. Rasanya seperti semua korban ini menjerit terakhir kali di bawah injakan kaki orang-orang.
Segala sesuatu di alun-alun ini membuat orang tidak nyaman. Tapi ketika sorak-sorai Gelombang Hantu bergema, akhirnya muncul bayangan orang di platform komando yang mirip podium di tengah alun-alun.
Karena terlalu jauh, aku tidak bisa melihat wajah bayangan itu dengan jelas. Samar-samar kulihat sosok bungkuk berjubah biksu abu-abu yang sangat biasa dan tidak mencolok. Tapi saat dia melangkah perlahan ke depan platform, hatiku tiba-tiba merasakan aura kemanusiaan yang perlahan menyebar di alun-alun ini.
Alun-alun ini adalah tempat yang mengenaskan. Saat aku berdiri di sini, seolah berada di medan perang yang baru saja usai. Namun tak disangka, begitu Master Hongren muncul, dengan aura energinya sendiri dia mampu menghilangkan energi jahat penuh perkelahian, kekejaman, kekerasan, dan keputusasaan yang memenuhi tempat ini seperti medan perang, membuat hati terasa damai.
Tiba-tiba aku teringat komentar Jue Yuan tentang suara lonceng tadi. Seorang biksu senior yang hampir mencapai pencerahan, jelas bukan omong kosong. Biksu besar seperti ini layak menuju Sukhavati, namun dia memilih tempat penuh penderitaan ini.
Tatapan Huigen dan Jue Yuan ke arah siluet itu penuh kekaguman. Sedangkan aku mulai merenung: Di alun-alun yang penuh sesak hantu ini, bagaimana cara kami menerobos kerumunan untuk bisa berbincang dengan master legenda ini?
Aku berbisik menyampaikan ide pada Zhu Zhuo. Namun dia menggelengkan kepala kecilnya: "Ini mustahil. Tak ada (hantu) yang mau mengalah sedikitpun. Mereka semua ingin sedekat mungkin dengan Master Hongren. Nanti saat Master membagikan energi Yin murni, yang dekat bisa dapat lebih banyak. Konon, semakin dekat dengan Master Hongren, 'penghiburan' dan 'kenyamanan' yang didapat juga lebih banyak. Siapa yang mau mengalah?"
Mendengar penjelasan Zhu Zhuo, wajahku berubah pucat. Jangan-jangan harus menerobos paksa? Tapi mana mungkin? Akhirnya kutanyakan: "Mengapa 'konon'?"
Zhu Zhuo dengan malu-malu menggaruk-garuk kepala, berkata padaku: "Karena aku tidak pernah mendapat posisi depan, waktu itu mendapat sedekah juga karena hoki."
Aku pasrah, Kak Cheng Xin di samping juga mendengar semua ini, berkata dengan nada pasrah: "Setelah Master Hongren selesai ritual pelepasan arwah, mari lihat apakah ada cara mendekatinya?"
Satu-satunya jalan sekarang hanya ini. Aku mengangguk, hendak bicara sesuatu, tiba-tiba Master Hongren yang sudah berdiri di depan panggung mulai bersuara. Suaranya sepelan tapi terdengar ke seluruh alun-alun: "Kedatanganku bukan untuk ritual pelepasan atau mengajar Dharma, hanya ingin temui beberapa orang yang ditakdirkan. Semua boleh bubar, mereka yang berjodoh akan datang sendiri."
Suaranya tenang namun penuh welas asih. Entah bagaimana, meski terpisah hampir sepanjang alun-alun, kurasakan tatapan Master Hongren tertuju pada rombongan kami saat mengucapkan ini.
Setelah mengatakannya, Master Hongren diam dan duduk bersila di podium. Aku khawatir hantu-hantu tidak mau bubar, karena ucapannya masih samar-samar, semua bisa menganggap diri berjodoh.
Ternyata para hantu benar-benar bubar tanpa dendam, tak ada yang membandel. Hanya beberapa yang ragu mendekat. Master Hongren hanya geleng kepala sambil tersenyum, mereka pun pergi dengan sendirinya.
Melihat pemandangan ini, Jue Yuan seolah mendapat pencerahan berkata: "Mudah meraih gelar Master di hati orang yang memang berbudi luhur. Yang sulit adalah mendapat penghormatan dan sedikit kepercayaan dari para penjahat. Namun dia berhasil mencapai tingkat ini, Amitabha."
Perkataan Jue Yuan membuatku sepenuhnya setuju dari dasar hati, sekaligus semakin mengagumi orang Buddhis ini. Di dunia ini, berapa orang yang bisa mencapai tingkat seperti ini, membuat biksu senior seperti Jue Yuan pun terkagum-kagum?
Gelombang Hantu yang padat telah bubar sepenuhnya dalam waktu kurang dari lima belas menit. Untuk menjaga 'rendah hati' yang katanya, kami tetap diam di tempat. Baru sekarang kami sadar, keinginan untuk rendah hati ini mustahil terwujud.
Di alun-alun luas yang megah, hanya tersisa dua kelompok: kami dan Master Hongren. Kami saling memandang dari seberang alun-alun.
"Orang yang ditakdirkan akan tetap tinggal. Kalianlah orangnya, mengapa tidak mendekat?" Master Hongren tiba-tiba bicara. Suaranya yang tenang dan penuh welas asih bergema dari kejauhan.
Ini sebenarnya hasil yang sudah kami antisipasi, tak terlalu mengejutkan. Mengikuti perintah Master Hongren, kami berjalan mendekat. Berbeda dengan ketenangan kami, yang bersemangat adalah Zhu Zhuo. Makhluk itu gemetar ketakutan sambil bergumam: "Apakah aku juga punya takdir dengan Master Hongren?"
Kami tidak menjawab pertanyaan Zhu Zhuo. Saat berdiri di hadapan Master Hongren dan memandangnya dengan seksama, kami tertegun serentak berteriak: "Kau...?"
