Saat mataku menatap hantu berjubah merah, kurasakan jelas tatapan mereka juga mengarah padaku. Meski saling berhadapan dalam suhu membeku, mereka tetap sama sekali tidak bergerak.
Situasi di pihak kami sebenarnya cukup mencolok, tapi belum sampai membuat mereka merasa perlu bertindak?
Aku malas menebak. Di belakang Huigen muncul dua bayangan Vajra yang tak biasa - keduanya adalah Vajra delapan lengan langka, setiap tangan menggenggam senjata.
“Pinjam senjata sebentar.” Raut wajah Huigen tetap tenang, namun dengan gesit ia mengambil sebilah pedang besar dari tangan salah satu Vajra Berdelapan Lengan. Sambil memegang erat pedang itu, bibirnya komat-kamit melantunkan mantra tak dikenal. Seketika otot-ototnya mengembang dengan kecepatan yang terlihat mata telanjang. Celana monk-nya pun sobek sebagian sesuai dinamika gerakan, membentuk citra yang bahkan membuatku merasa sedikit tertekan.
Yang lebih mengerikan, salah satu bayangan maya Vajra di belakang Huigen tiba-tiba memudar beberapa tingkat.
Pemandangan ini membuatku tertegun. Dulu pernah kudengar bahwa tato darah baru bisa memaksimalkan kekuatannya setelah menyatu sempurna. Lalu apa yang terjadi dengan Huigen ini? Lagipula, meski dalam kondisi roh, bagaimana mungkin ia bisa meminjam senjata dari bayangan Vajra yang dipanggil ini?
Tapi sekarang bukan saatnya memikirkan itu. Kutarik napas dalam-dalam lalu berseru keras: "Arah barat laut, maju!"
Sambil berkata, tanpa ragu lagi kususur ke arah barat laut. Cheng Zhen menyusul di sampingku, terus memberi petunjuk arah. Sesuai pengaturan Kak Cheng Qing, Huigen harus selalu berada di depan barisan di manapun dan kapanpun.
Menghadapi gelombang hantu yang tak berujung, Huigen akhirnya mengayunkan pedang besarnya sambil meraung liar: "Minggir!"
‘Hong’, seiring ayunan pedang besar Huigen, udara tiba-tiba mengeluarkan suara ledakan. Puluhan Hantu yang berada di garis depan tanpa ampun terbelah dua oleh tepi pedang, sementara aliran udara dari pedang tersebut bahkan mampu melempar puluhan Hantu lainnya.
Hanya dengan sekali tebas, Huigen berhasil menciptakan zona vakum dalam radius belasan meter mengelilinginya.
Tanpa ragu, Huigen berbalik arah dan berlari ke depan kami. Melihat kegagahannya, aku tak kuasa berteriak "Bagus!". Dengan ritme seperti ini, biar jumlah Hantu berlipat ganda sekalipun takkan jadi masalah.
Ini adalah larian berdarah. Meski berada di tengah formasi tanpa ikut bertarung, aku benar-benar merasakan dahsyatnya medan perang. Di dunia yang mirip dunia yang ini, setiap meter yang kami tempuh seolah diaspal oleh daging dan darah Hantu bertudung hitam.
Tapi ini juga merupakan kerja sama yang sempurna. Jiao si petarung dan Ular Imut selalu turun tangan saat situasi genting. Yang paling menakjubkan adalah Kak Cheng Qing. Dengan tiga koin tembaga yang entah dari mana muncul lagi di tangannya, ia terus-menerus melempar dan menangkapnya. Aku tak mengerti apa yang dilakukannya, tapi setiap kali Kura-kura Bego Level 2 berubah menjadi perisai, tepat di saat genting ia bisa menghalau serangan untuk keempat pasukan utama.
Pusat Formasi pertama, Pusat Formasi kedua, Pusat Formasi ketiga... Kami terus berlari sambil menempuh jalan penuh pertumpahan darah, mengandalkan perkelahian untuk membuka jalan, dan tak disangka telah menyelesaikan sepuluh Pusat Formasi.
Ditambah lima Pusat Formasi di kota luar, total kami telah menyelesaikan lima belas Pusat Formasi melalui pertarungan hingga saat ini.
Formasi besar ini memiliki delapan belas Pusat Formasi biasa ditambah empat Pusat Formasi inti. Jika perjalanan ini diibaratkan 22 langkah, kami telah menyelesaikan 15 langkah di antaranya.
Berbeda dengan aktivasi Pusat Formasi di kota luar, penempatan Pusat Formasi di kota dalam tidak menimbulkan reaksi aneh sama sekali, seolah hanya melakukan rutinitas biasa. Tapi aku yakin saat Pusat Formasi terakhir selesai, peristiwa menggegerkan akan terjadi di sini.
Saat ini, kami sudah tidak tahu berada di bagian mana di kedalaman kota dalam. Kami hanya mengikuti arahan Cheng Zhen demi menyelesaikan Pusat Formasi - siapa yang tahu seberapa jauh kami telah menembus?
Dibanding kota luar, kota dalam memang lebih kecil namun merupakan kompleks rumit nan luas. Bangunan-bangunan bergaya istana di dalamnya seperti istana dalam yang sesungguhnya, bahkan sepuluh kali lebih rumit dari itu.
Orang-orang berjubah hitam yang sebelumnya membanjir kini sudah jarang terlihat, hanya tersisa beberapa yang mengelilingi kami dengan ragu-ragu tak berani mendekat, bagaikan badai besar di lautan yang akhirnya kelelahan dan berangsur reda.
Kami kini berdiri di sebuah alun-alun yang lebih tinggi dari area sekitarnya. Di belakang kami terbentang pintu gerbang istana megah yang menganga gelap pekat, seperti binatang buas yang menunggu kami masuk perangkap.
Di belakang sudah tidak ada orang berjubah hitam, seolah-olah alun-alun ini dan istana merupakan larangan tertinggi dalam segala tabu. Mereka yang berjubah hitam tidak berani mendekat, namun orang-orang berjubah merah itu terus menyusul kami hingga ke sini.
Di tanah tempatku berdiri terasa licin akibat darah yang menyebar dan membeku. Ini adalah medan perang terakhir untuk perkelahian. Setelah sampai di sini, para orang berjubah hitam itu sudah tidak berani maju lagi.
Pedang besar Huigen, pisau tulang Lushan, senjata pasukan surgawai Xiao Chengqian, dan tinju Tao Bai - darah telah mengental menjadi warna merah pekat kehitaman, masih menetes setetes demi setetes.
Kupingku mendengar suara terengah-engah mereka. Jelas perjalanan tempur ini telah menguras kekuatan jiwa mereka. Setiap orang terluka, tapi sama sekali tidak terlihat gagal. Hanya Xiao Chengqian yang kehilangan dua prajurit surgawinya.
"7 Pusat Formasi terakhir semuanya di sini. Tiga Pusat Formasi biasa tersisa ada di alun-alun ini. Pusat Formasi inti berada di dalam aula utama." Cheng Zhen berbisik di telingaku.
Aku mengangguk. Tampaknya perjalanan terakhir ini benar-benar tidak akan mudah.
Orang-orang berjubah hitam yang tersebar itu mulai berkumpul lagi, tapi masih ragu-ragu. Kukatakan pada mereka: "Kalau mau bunuh, silakan datang. Jika tidak, kami akan masuk."
Tidak ada satu pun Hantu yang menjawabku. Sebenarnya, melalui perkelahian ini, aku telah menemukan keanehan yang sangat mencurigakan. Para orang berjubah hitam ini semuanya sama sekali tidak takut mati, meski begitu banyak kematian muncul di hadapan mereka, mereka tetap maju seperti biasa, terus melangkah... Padahal sebagai Hantu, kematian berarti nasib Hancur Lebur. Apa yang membuat mereka begitu gila? Dan apa yang membuat mereka berhenti di depan alun-alun ini?
"Anak-anak, mengundurlah. Kalian, jika punya kemampuan, silakan coba masuk." Para Hantu berjubah hitam itu tidak bersuara, namun tiba-tiba dari belakangku terdengar suara yang sangat kukenal - suara yang disebut-sebut sebagai Walikota itu.
Namun berbeda dengan dua kali sebelumnya yang penuh amarah dan kesombongan, kali ini ada ketenangan yang aneh dan mengerikan. Seolah-olah keunggulan yang kami dapatkan sebelumnya sama sekali tidak berarti di matanya?
Saat ia berbicara, para orang berjubah hitam mulai bubar. Beberapa Hantu berjubah merah itu juga menghilang dengan cara yang aneh dan mengerikan.
"Orang itu sebenarnya tidak sanggup kehilangan terlalu banyak. Lagipula di sebelah sini, masih ada Kota Lama yang sedang memandangi dengan tatapan siap menerkam." Kak Cheng Qing memutar-mutar tiga koin tembaga di tangannya, berkata dengan singkat. Aku sangat setuju dengan pandangan ini.
Entah peran apa yang akan dimainkan Kota Lama di akhir pertempuran ini.
"Istirahatlah sejenak." Kak Cheng Xin tiba-tiba berbicara. Setelah memasuki kota dalam, perkelahian tak berujung membuat momen hening ini langka. Kak Cheng Xin mengusulkan hal itu, entah kapan tangannya sudah memegang beberapa pil. Berbeda dengan obat duniawi, pil di tangannya lebih menyerupai gumpalan gas.
Huigen dan yang lain menghentikan sihir mereka, duduk santai di tepi alun-alun. Kak Cheng Xin menyerahkan pil-pil itu sambil menghela napas, "Telanlah. Ini untuk mengembalikan kekuatan jiwa. Meski tak bisa menyembuhkan luka roh, obat ini sangat berharga. Hanya karena ada roh obat inilah aku bisa membawanya masuk."
"Aku tidak perlu. Tidak banyak tenaga terkuras." Hanya Tao Bai yang menolak, seolah tenaga yang digunakannya berasal dari sumber berbeda.
Kak Cheng Xin tak memaksa, dengan tenang menyimpan pilnya. Huigen dan yang lain langsung menelannya. Beberapa saat kemudian, wajah mereka terlihat nyaman seolah kelelahan tiba-tiba mengendur.
"Jika ini istirahat, biar kubacakan sutra. Kekuatan pikiran ini bisa memelihara roh dan kehendak, memberi tambahan tenaga." Jue Yuan yang selama ini diam sejak menyaksikan pembantaian di dalam kota akhirnya bersuara. Dengan tenang ia bersila, memutar tasbih di tangannya, mulai melantunkan sutra untuk kami.
"Seiring alunan mantra Jue Yuan, hatiku terhisap dalam kedamaian yang tak biasa. Di tengah kota dalam yang penuh krisis ini, aku seolah terbawa ke hamparan bintang nan jauh."
Waktu mengalir perlahan. Dibawah lantunan sutra Jue Yuan, entah sudah sepuluh atau dua puluh menit berlalu. Kedamaian langka ini begitu kusukai, tiba-tiba derap langkah kaki beruntun dari belakang memecah kesunyian.
"Wah, Tuan Kota kami berbelas kasih memberi waktu bernapas, kalian malah menyambar keledai turun bukit? Sudah cukup istirahat?" Suara mengejek bergema dari belakang.
