Apapun yang akan kami lihat di luar aula, perasaan menyaksikan Pondok Bambu lenyap di depan mata tetap sangat kompleks, meski tahu itu palsu.
Pondok Bambu mungkin bukan sesuatu yang berharga, seperti tempat seseorang menghabiskan masa indah, juga tak bisa disebut berharga. Yang berharga selalu adalah masa-masa yang diwakilinya, segenggam kenangan.
Melihat Pondok Bambu memudar seperti ini, bagai menyaksikan masa laluku yang benar-benar telah melayang, bagaimanapun aku takkan pernah bisa mendapatkannya kembali.
"Pondok Bambu yang asli masih ada, terus bertahan di sana, bertahan di hati. Hanya berharap masa-masa indah baru akan terukir di sana."
Manusia, bagaimanapun, tak boleh menyerah pada harapan esok. Sekalipun hanya tinggal satu hari esok... Karena satu esok pun adalah masa depan milikmu sendiri.
Dimensi ini benar-benar hancur. Yang menyambut kami adalah kegelapan persis saat langit baru runtuh! Sekeliling hening, karena kami roh, bahkan suara nafas pun tak terdengar.
"Huigen, di manakah Huigen?" Hatiku cemas. Meski tak bisa melihat, kuberjalan dua langkah sebelum tersandung sesuatu. Rasa sakit mengingatkanku pada ilusi: Apakah ini nyata atau halusinasi? Mimpi atau mimpi dalam mimpi?
"Cheng Yi, apa yang terjadi?" Suara tersandungku menarik perhatian semua. Kak Cheng Qing tak tahan bertanya.
Kumerenguk getir hendak menjawab, tiba-tiba lentera-lentera menyala berderet. Api ungu berkedip di lentera, menerangi tempat ini dengan cahaya terang benderang.
Baru kusadari ini adalah tempat perlindungan jiwa sejati. Batu hitam tersusun rapi di lantai. Dinding sekeliling diukir pola aneh yang sama sekali tak kupahami.
Kami berdiri di ujung aula, namun saat menoleh hanya terlihat kabur, sama sekali tidak melihat jalan keluar. Di ujung seberang, di atas tangga batu, terdapat sebuah singgasana besar. Di atasnya duduk sosok yang sangat buram, bagaikan bayangan hitam, terhalang tirai manik-manik sehingga semakin sulit dilihat wujud aslinya.
Di bawah tangga, berdiri sosok berjubah merah dengan pola ungu bersulam, rambut hitam terurai alami. Itu, bukankah Yu Cui Zi?!
Jika hanya ini, takkan membuatku terkejut. Yang benar-benar mengejutkanku adalah di bawah Yu Cui Zi, berjejer dua barisan bayangan yang saling berhadapan - masing-masing lima sosok, total sepuluh!
Semuanya mengenakan jubah merah! Sepuluh Jenderal Jubah Merah!
"Sepertini kali kita keterlaluan." Kak Cheng Qing menghela napas halus. Baru saja ucapannya meluncur, kudengar Chengyuan berteriak: "Itu Huigen? Ah, Guru Jueyuan juga ada! Tao Bai? Lushan? Xiao Chengqian... Kak Xiao, kenapa kau tidak menjawab?"
"Di mana?" Aku langsung tegang. Chengyuan segera menunjuk, baru kusadari mereka semua melayang di langit-langit aula, lima meter di atas tanah.
Anehnya, selain mereka, ada sosok lain di sana - Li Hao yang telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk mengorbankan kepala kami! Ia pun melayang di udara.
Apa arti semua ini? Kuteliti diam-diam. Setidaknya mereka masih hidup, itu sudah menjadi penghiburan terbesarku. Ini membuatku tetap tenang.
Di bawah pengamatan ini, aku segera menemukan keanehan, yaitu ekspresi dan gerakan mereka. Contohnya Huigen menunjukkan ekspresi pantang menyerah namun tampak kesakitan, seolah bertahan dan menanggung sesuatu. Tubuhnya terus berkedut, bahkan sudut bibirnya memuntahkan darah segar, tampaknya hampir mencapai batas maksimal.
Sebaliknya, Li Hao menunjukkan wajah penuh kesombongan dengan ekspresi yang membeku dalam tawa terkutuk yang aneh dan mengerikan.
Bagaimana dengan Lushan? Wajahnya dipenuhi ekspresi duka dan kepasrahan. Tao Bai justru menunjukkan ketakutan, kecemasan, dan penderitaan yang memprihatinkan. Jue Yuan yang langka menunjukkan kebingungan. Terakhir Xiao Chengqian, wajahnya penuh kemarahan ekstrem yang ganas. Siapa yang tahu apa yang membuatnya begitu marah?
Mengaitkan dengan situasi kami, jantungku tiba-tiba mengencang tanpa alasan! Kurasa aku tahu titik krusialnya: Setiap orang berada dalam mimpi, namun bukan pemilik mimpi tersebut. Pemilik mimpi pasti adalah penguasa kota ini. Makhluk ini ternyata bisa memanfaatkan hal terdalam dalam hati seseorang atau sekelompok orang untuk menciptakan mimpi yang dikendalikannya.
Jika tidak bisa terbangun dalam mimpi, mereka akan tenggelam, bingung, menderita, bahkan mati di dalamnya... Memikirkan ini, tanganku refleks meraih kantong kain kuningku. Di dalamnya masih tersisa tiga untaian manik-manik cendana (18 untuk membentuk formasi, 1 digunakan saat menghadapi Yu Cui Zi, 1 saat melawan Wu Liyu, 1 untuk memecahkan mimpi). Bagaimana cara membangunkan semua orang?
"Tak disangka ada orang yang tidak masuk mimpi malah menerobos ke dalam dunia mimpi, pantas saja kalian bisa benar-benar memasuki aula utama. Rupanya perlu usaha ekstra." Suara datar Yu Cui Zi terdengar dari ujung sana. Begitu ucapannya meluncur, dua barisan jenderal jubah merah serentak berbalik, sepuluh topeng mengerikan menatap kami tajam, sepertinya siap menyerang.
Semua dengan sigap berkumpul dan berdiri di belakangku. Aku mengerutkan alis, situasi sekarang sudah mencapai titik terparah. Apakah gagal meski sudah menempatkan 18 Pusat Formasi? Tidak, aku tak boleh membiarkan diri gagal.
Otakku berpikir cepat. Tiba-tiba kuajak bicara Yu Cui Zi: "Takut kami terbangun? Tuan Walikota yang begitu hebat, kenapa tidak masukkan kami lagi ke mimpi lalu bunuh dengan mudah?"
Yu Cui Zi tertawa 'Hehe' sinis, tapi tak langsung menjawab. Suaranya mendayu: "Tak kusangka anak muda gegabah sepertimu cukup cerdik. Maukah jadi Chen Nuo? Sudah kukumpulkan banyak sekali Chen Nuo."
Mendengar ini, teringatlah kisah tentangnya dan mimpi aneh yang pernah kualami. Sejuk menusuk tulang punggungku merambat ke otak. Kugigit pelan bibirku, berbisik ke Kak Cheng Qing: "Cuma tiga mutiara. Tolong hitung, untuk siapa paling tepat! Aku ingin mereka semua selamat."
Kak Cheng Qing berkata pelan, "Permintaanmu ini sangat sulit dan tidak masuk akal. Tapi, manik-manik tidak bisa melakukan ini, hanya aku yang harus turun tangan langsung. Kalian jaga ritual untukku."
Apa yang akan dilakukan Kak Cheng Qing? Kulemparkan pandangan ke arahnya, tapi dia sama sekali tidak menjawabku. Dari atas kepalanya, dia mengambil kura-kura bego tingkat dua, lalu berkata, "Maaf merepotkanmu."
Kura-kura itu menggelengkan kepala dengan gerakan manusiawi, sikap acuh tak acuh yang membuat Kak Cheng Qing tampak kesal.
Karena Kak Cheng Qing enggan menjelaskan lebih lanjut, aku pun berhenti bertanya. Aku memutar badan dan waspada mengawasi Yu Cui Zi, meski hatiku sudah lebih tenang dibanding sebelumnya. Sebenarnya dialog tadi dengan Yu Cui Zi hanyalah uji coba kecil dariku. Meski dia tidak menjawab langsung, jawabannya sudah kudapatkan dalam hati.
Intinya, kemampuan membuat mimpi melawan kodrat dari Tuan Kota itu terbatas. Jika ada yang terbangun dari mimpinya, dia tidak bisa memaksa orang itu tertidur lagi, setidaknya tidak dalam waktu singkat.
Suara 'klang' bergema di belakangku. Kulihat Kak Cheng Qing menarik dengan kasar kantong kain kuning yang selalu digendongnya. Kantong itu terbuka, roh lentera tembaga di dalamnya berhamburan, memproduksi gemerincing khas logam.
“Bangkit...” Kak Cheng Qing mencubit sebuah segel tangan, tiba-tiba berteriak keras. Lentera-lentera tembaga yang sebelumnya berantakan di lantai benar-benar bangkit sesuai perintah, lalu saling bersilangan dengan cepat. Kak Cheng Qing masuk ke dalam kondisi konsentrasi pikiran, terlihat sangat kesulitan. Entah apa yang sedang dia lakukan?
Tapi mengingat sikap penuh perhatiannya terhadap lentera tembaga selama perjalanan, aku bisa menebak ini pasti teknik sihir yang sangat luar biasa.
Ritual Kak Cheng Qing hanya memakan waktu beberapa detik. Yu Cui Zi tersenyum sinis, lalu berpaling ke siluet samar-samar di singgasana: "Tuan Kota, mereka sudah terbangun dari mimpi. Rencana untuk menghemat tenaga dengan tidak memusnahkan mereka telah gagal. Hamba mohon Tuan Kota memerintahkan semua kekuatan di aula ini untuk bertindak, menghentikan rencana perdamaian, dan segera membantai mereka demi kelancaran Kota Baru melewati bencana ini serta menyelesaikan ambisi agung Tuan Kota!"
Yu Cui Zi berbicara cepat. Saat ini, aku sudah punya firasat buruk. Aku berteriak ke saudara seperguruan: "Satukan roh! Bertarung habis-habisan! Apapun yang terjadi, lindungi ritual Kak Cheng Qing!"
Sekarang satu-satunya yang bisa diandalkan adalah aliran Lao Li kami sendiri. Bahkan dengan kekuatan kami, mustahil mengalahkan semua kekuatan di aula ini termasuk Yu Cui Zi.
Tapi kalau tidak bertarung, apa lagi jalan keluarnya?
Setelah bicara, Yu Cui Zi berdiri khidmat menunggu. Tapi bagaimana mungkin kami menunggu? Dengan tegas kami menyusun segel tangan - penyatuan roh adalah kartu as terakhir kami. Sekarang saatnya bertindak.
