Waktu berikutnya menjadi milik Si Bodoh. Berkat kekuatan jiwa misterius yang terus mengalir deras, kemampuan Si Bodoh mencapai batas maksimal—bahkan kurasakan melebihi masa kejayaannya dulu.
Penyatuan roh kami saat ini bagai pisau tajam yang menembus krim panas, benar-benar tak tertandingi. Aku pun tak perlu pelit melepas jurus andalan.
Setiap teriakan, cakaran, dan gigitan Si Bodoh... Tiap jurus pamungkasnya menumbangkan ratusan hantu berjubah merah. Untuk pertama kalinya kumerasakan betapa nikmatnya kekuatan yang begitu dominan.
Hanya dalam hitungan detik, dengan dukungan itu, aku telah sampai di kaki singgasana. Tinggal menapaki beberapa anak tangga lagi, tujuanku akan tercapai.
Pertama kalinya aku merasa jalan ini terlalu pendek. Hantu berjubah merah tak cukup kuat, tak cukup banyak. Beberapa jurus pamungkas Si Bodoh bahkan tak sempat digunakan.
Di sini, aku menghentikan langkah, mulai berjalan perlahan naik ke atas. Karena setelah berlari kencang sejauh ini, selanjutnya aku harus menggunakan tubuh Si Bodoh untuk melakukan ritual memanggil arwah. Aku belum pernah mencoba ritual dalam keadaan menyatukan roh, saat ini perlu menenangkan diri sejenak.
Beberapa anak tangga di depan, masih ada hantu jubah merah yang nekad menyerang, namun semuanya hancur oleh api yang mengelilingi tubuhku. Akhirnya aku tiba di platform itu, berhenti di depan tirai itu. Pemilik Kota Baru ini akhirnya akan menampakkan wajah aslinya.
Perasaanku tiba-tiba menjadi sangat heboh, seperti soal sulit yang lama dikerjakan akhirnya hampir menemukan jawabannya. Pada saat ini, makhluk-makhluk itu akhirnya berhenti menabrak tubuhku dan memberikan bantuan terus-menerus.
Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus kulakukan, yaitu menengok ke belakang untuk melihat kekuatan apa yang mendukungku. Pasti ada jawaban di tempat Guru Leluhur.
Saat menoleh, yang pertama kulihat adalah mayat hantu jenderal jubah merah yang berjejal sepanjang jalan. Saat berlari sambil membunuh tadi tidak terlalu memperhatikan, sekarang baru kusadari pasukan hantu jubah merah yang memenuhi langit itu tinggal tersisa beberapa ratus saja.
Dan di ujung Gelombang Hantu Berjubah Merah ini, terdapat tirai cahaya biru berkilauan yang telah melebar hingga ratus meter. Rekan-rekanku berkumpul di dalam tirai cahaya ini yang juga menghalangi semua serangan hantu. Guru leluhur masih terus membakar rohnya!
Adapun kekuatan yang mendukungku? Aku segera mendapatkan jawabannya. Jalan petunjuk yang dibangun Guru leluhur dengan membakar rohnya terus dilalui oleh bayangan-bayangan biru muda yang memasuki aula besar, ada yang mendarat di tanah atau melayang di udara, membentuk pemandangan yang aneh.
Hanya dengan sekali pandang, aku tahu bayangan-bayangan ini bukanlah roh, bahkan bukan sisa roh. Ini adalah kekuatan jiwa terkonsolidasi dari seseorang yang dikendalikan oleh sedikit kehendak, mirip dengan keberadaan seperti Roh Kunlun. Mungkin karena tingkatannya lebih rendah dari Roh Kunlun, diperlukan sedikit kehendak untuk mengendalikannya.
Aku teringat saat berkomunikasi dengan Guru leluhur dulu, di belakangnya terlihat bayangan-bayangan manusia yang berjejal rapat. Rupanya mereka inilah... Dari awal sampai akhir, kami benar-benar tidak berjuang sendirian. Ternyata foreshadowing sudah ditulis dan dikubur sejak awal, hanya menunggu saat ledakan ini.
Setelah mendapatkan jawaban yang kuinginkan, aku tidak ragu lagi. Aku berbalik dan mengulurkan cakar, menyibak tirai di depan mata.
Di balik tirai, terdapat kabut kelabu pekat. Di dalam kabut itu, sudah terlihat jelas siluet singgasana dengan sesosok bayangan yang duduk tegak tanpa gerakan.
‘Aku sekarang dalam kondisi roh, itupun dalam keadaan roh yang menyatu. Seharusnya tak ada detak jantung, tapi sejak berdiri di balik tirai ini, aku seakan bisa mendengar detak jantungku sendiri yang berdegup kencang.
‘Bruk’‘Bruk’ Dalam ritme seperti ini, kuayunkan langkah. Meski terhalang kabut abu-abu pekat yang memisahkanku dengan singgasana itu, jarak sebenarnya kurang dari 10 meter. Begitu kugerakkan kaki, tubuhku langsung terjerembab ke dalam kabut kelabu itu.
Kabut itu menyergap wajahku. Di dalamnya kulihat serpihan-serpihan gambar: kota luar, kota dalam, satu per satu makhluk penghuni kota luar dan dalam, membentuk momen-momen yang membeku seperti foto, melayang-layang di sekelilingku.
Tapi sekarang dalam kondisi puncak, aku sama sekali tak terpengaruh kabut ini. Hal-hal ini hanya melintas sekilas di depan mataku, dan aku tiba-tiba tahu dengan jelas: inilah serpihan mimpi Penguasa Kota itu. Sungguh luar biasa kuatnya hingga kebocoran napasnya saja bisa membentuk realitas mimpi.
Dalam kekaguman yang bercampur heran, aku telah menembus kabut abu-abu pekat dan akhirnya berdiri di hadapan singgasana ini.
Saat singgasana itu benar-benar muncul di hadapanku, saat itu aku benar-benar tergetar sampai tak percaya dengan apa yang kulihat. Bahkan sedikit pun tak berani menerima kenyataan bahwa makhluk yang terpejam mata, lemas tertunduk, dan tertidur lelap di singgasana ini adalah sang Penguasa Kota.
Aku melihat apa? Takhta itu sama sekali bukan takhta dalam arti biasa, melainkan bentuk takhta yang terbentuk dari kumpulan utuh hun makhluk hidup yang melingkar. Makhluk apa itu? Keberadaan yang hampir bisa disebut paling kuat di dunia ini - jiao yang hampir berubah menjadi naga!
Seharusnya bisa disebut sebagai naga jiao. Jiao tingkat ini sudah termasuk kategori yang berhasil menjalani proses menjelma naga sungai, hanya selangkah lagi menjadi naga sejati.
Bagaimana bisa mati? Kehilangan kesempatan menjelma menjadi naga sepenuhnya? Lalu hun-nya muncul di sini, menjadi takhta penguasa kota?
Tapi saat ini, aku teringat istilah siluman. Tanpa perlu menyebut wangliang, bukankah Yu Cui Zi sendiri adalah hantu penggoda itu? Adapun chī memiliki penjelasan - mirip naga tapi belum mencapai tingkat naga sejati, bukankah keberadaan naga jiao ini menjelaskan semuanya?
Hehe, mengumpulkan chimei wangliang, apakah penguasa kota ini ingin mengulangi pertempuran besar dari legenda kuno? Dalam catatan seperti dongeng itu, Chiyou mengumpulkan siluman-siluman, menciptakan formasi kabut beracun, menjebak pasukan Kaisar Kuning, untungnya ada kereta penunjuk arah Feng Hou...
Pikiranku melayang. Benarkah legenda kuno ini sama sekali tak berdasar? Bukankah Kota Baru ini adalah mimpi penguasa kota? Dari warna abu-abu di sekeliling, bukankah kabut ini membentuk akar mimpi? Apakah ini yang disebut formasi racun?
Lalu bagaimana dengan kereta penunjuk arah?
Aku merasa ideku sendiri lucu. Saat menoleh ke Penguasa Kota, aku terkejut menemukan dia menghilang secara aneh. Seketika, kabut abu-abu pekat berkumpul membentuk kembali wujudnya.
Ini sesuai dengan sifat siluman yang bisa berkumpul dan bubar tanpa wujud, bagaikan bayangan.
Hanya saja... Aku menatap wajah biasa ini seperti melihat orang biasa. Tak kusangka ini Penguasa Kota yang legendaris. Entah kenapa wajah ini terasa familiar. Mengapa?
Aku menyisir memoriku. Meski daya ingatku kuat, tak ada detail tentang wajah ini. Kubiarkan sebagai kepekaan berlebihan. Wajah ini terlalu umum, seperti wajah orang kebanyakan yang mudah terasa familiar.
Memang bisa dimaklumi, wajah ini benar-benar sangat biasa.
Setelah paham, aku fokuskan pikiran dan kumpulkan kekuatan jiwa, memulai ritual Memanggil arwah!
Ini teknik sihir paling dasar. Bahkan Taoist pemula pun menguasainya, lebih sederhana dari semua teknik teriakan khas Taoisme. Meski sederhana, harus menyertakan kekuatan jiwa agar arwah yang dipanggil bisa mendengar. Besarnya kekuatan jiwa disesuaikan dengan situasi.
Aku tidak berani meremehkan Penguasa Kota ini. Meski saat ini ia hanya tampak di hadapanku, berkumpul dan bercerai-berai sambil terus tertidur, terlihat tidak berbahaya, dan tanpa risiko apapun, tapi bagaimana setelah ia bangun? Dan pastinya membangunkannya juga cukup melelahkan?
Karena itu, pada teriakan pertama, aku langsung mengerahkan kekuatan jiwa dalam jumlah besar, hampir-hampir meneriakkan dengan suara yang mengguncang langit: "Bangun!"
Alis Penguasa Kota berkerut tipis, seolah menunjukkan reaksi, namun ekspresinya segera pulih! Masih tetap tertidur lelap. Entah karena ritual Memanggil arwah, aku terus merasa seluruh aula berguncang tanpa henti.
Kalau ada efek, berarti bagus... Jadi, aku terus menerus berteriak tanpa henti: "Bangun, bangun, bangun..."
Suaraku terasa menusuk langit, goyangan aula semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya saat kekuatan jiwaku yang begitu melimpah mulai terasa terkuras...
Bersamaan dengan teriakan "Bangun" berikutnya, naga jiao yang membentuk singgasana tiba-tiba membuka matanya. Lalu tubuh Penguasa Kota itu mulai bergerak...
