Punya hubungan dengan guruku? Ini membuatku penasaran. Segera kusirikkan perasaan santai, siap mendengar penjelasan Pak Zheng dan Nenek Awan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Masalahnya sederhana. Dulu dia hampir menjadi murid gurumu, tapi akhirnya ditolak," kata Pak Zheng yang terkenal jujur. Baru kusiap-siap dengar cerita panjang, langsung dipotong dengan satu kalimat.
Kak Cheng Xin yang sedang minum teh, mendengar penjelasan singkat Pak Zheng, tak tahan menyemburkan tehnya ke wajah Xiao Chengqian. Ia batuk-batuk tersedak.
"Kau sengaja," protes Xiao Chengqian dengan wajah polos. Chengyuan menahan tawa sambil mengelap wajahnya.
Kak Cheng Xin sama sekali tidak menghiraukan Xiao Chengqian, menatap Pak Zheng berkata: "Ini sudah selesai?"
"Hmm, sudah selesai, masa masih ada yang lain?" Pak Zheng dan Xiao Chengqian bersama-sama 'polos'.
Nenek Awan malah batuk dua kali lalu berkata: "Masalah ini, kami dapat dari senior perguruannya, karena anak itu bermasalah denganmu, kami semua sudah melihat, sebagai tuan rumah harus menanyakan alasannya kan? Gurumu menolak menerimanya sebagai murid, mungkin melukai perasaan anak itu, jadi setelah kami tanya, kami datang mencarimu, memintamu jangan benar-benar marah padanya."
"Aku tidak marah." Kulepaskan cangkir teh, sejak awal memang tidak marah, apalagi setelah mendengar alasannya, semakin tidak mungkin marah. Hanya heran, meski guruku tidak bisa diandalkan, tapi pasti orang yang menepati janji, kenapa tiba-tiba menolak Ji Qing? Apa penyebab sebenarnya?
Tapi sebelum sempat kutanyakan, Ruyue sudah menopang dagu lebih dulu bertanya: "Nenek Awan, apakah nenek tahu detailnya? Seharusnya Pak Jiang pasti bukan tipe orang yang akan menyakiti orang, kenapa justru..."
"Masalah ini sebenarnya bukan kesalahan Jiang Lichun, bagaimanapun Jiang Lichun hampir seangkatan dengan kami para praktisi spiritual, reputasinya bagaimana, kami masih tahu. Ini lebih karena belum ada jodoh. Dulu, entah kenapa tersiar kabar Jiang Lichun akan menerima murid, lalu menarik perhatian banyak orang di komunitas. Kalian juga tahu aliran Lao Li meski tidak suka terlalu dekat dengan orang lingkaran, tapi reputasi tetap terjaga." Nenek Awan menjelaskan.
"Makanya, Pak Zheng buru-buru menambahkan: 'Jadi setelah kabar ini tersebar, orang-orang berhati licik itu mulai memilih keturunan mereka yang berbakat untuk dikirim ke bawah naungan gurumu.'"
"'Gurumu yang mengetahui situasi ini lalu berujar terbuka: entah siapa yang menyebarkan kabar bahwa ia akan menerima murid, padahal ini melanggar adat keturunan Lao Li. Tapi karena antusiasme semua orang, ia tak bisa menolak. Ia bilang akan mengikuti takdir. Jika dalam tiga tahun belum juga menemukan murid, ia akan memilih anak paling berbakat dari rekomendasi mereka untuk mewariskan ilmunya.'" Nenek Awan dan Pak Zheng bersahut-sahutan menceritakan kejadian masa lalu.
"'Benar, kebetulan Ji Qing juga tepat waktu. Sepuluh hari sebelum batas waktu tiga tahun yang ditetapkan Jiang Lichun, ia lahir! Saat itu komunitas metafisika ramai sekali, semua membicarakan betapa hebat bakatnya.'" Raut wajah Pak Zheng menampakkan nostalgia.
"'Hmm, detailnya kami tidak tahu pasti. Tapi mengingat ayah Ji Qing adalah orang dalam lingkaran, bahkan anggota sekte tempat Ji Qing berada dengan pengaruh cukup tinggi, mungkin mereka melebih-lebihkan demi menjaga gengsi. Bagaimanapun, selain soal bakat, setelah Ji Qing lahir ayahnya menyebarkan kabar ingin anaknya berguru pada Jiang Lichun. Katanya aliran Lao Li adalah satu dari belasan aliran yang paling diharapkan mencapai Jalan Benar, dan itu adalah warisan tunggal! Ini yang terbaik untuk masa depan sang anak.'" Nenek Awan menyambung cerita.
"Tapi, hal ini entah mengapa tiba-tiba menghilang tanpa kabar, hingga akhirnya kami pun tak tahu kelanjutannya. Kalau bukan karena tadi melihat Ji Qing berperilaku aneh lalu kami mencari informasi, mungkin kami takkan pernah tahu kejadian selanjutnya. Kira-kira setelah janji tiga tahun berlalu, gurumu muncul, tapi mengatakan bahwa murid sudah ditetapkan dan tak akan menerima murid lagi. Saat itu, ayah Ji Qing tak rela, khusus menggendong Ji Qing menemui gurumu, namun tetap ditolak." Pak Zheng menggeleng-gelengkan kepala sambil berbicara.
Masa depan cerah? Aku menjilat bibir atasku, mengecap aroma teh di ujung lidah, yang terpikir justru perlakuan guruku yang tidak bisa diandalkan padaku. Ia tak pernah membicarakan masa depan, Jalan Benar, atau apa yang harus kulakukan. Yang paling sering ia katakan hanyalah ikuti hati nurani, cari ketenangan hati. Jika ada jodoh menjadi praktisi spiritual di kehidupan ini, jalani saja. Sampai akhir, asal hati nurani tenang, segala konsekuensi adalah hasil...
Lalu diam-diam ia kabur. Ini namanya punya masa depan?
Memikirkan ini, senyum getir muncul di wajahku. Entah apakah hal ini menyentuh kesamaan perasaan, kulihat saudara seperguruanku juga menunjukkan senyum pahit.
Tapi Nenek Awan tak menyadarinya, berbisik di telingaku: "Kudengar waktu itu gurumu bilang, bakat Ji Qing tak sebaikmu. Seperti ucapan tak sengaja karena gurumu terlalu bangga. Kukira perkataan ini mungkin melukai Ji Qing."
“Bukankah Ji Qing saat itu masih bayi?” Aku berkata dengan alis berkerut, lagipula soal bakat seperti ini memang agak samar dan abstrak, tidak ada standar pengujian yang seragam. Siapa yang lebih kuat atau lemah selama perbedaannya tidak terlalu mencolok, sungguh sulit ditentukan.
Kupikir ucapan itu mungkin cuma celoteh Guruku yang terlalu protektif, yang sedang lupa diri karena kesombongan? Tapi tak kusangka...
“Loh, ayah Ji Qing kan bukan bayi? Masa dia tidak memberitahu Ji Qing?” Nenek Awan terlihat sangat ingin tahu, membuatku berkeringat dingin. Aku hanya bisa mengangguk terus sambil membatin betapa absurdnya perbuatan Guruku dulu.
Orang tua itu sering menasihatiku: jangan sembarangan bicara, apalagi sekadar ingin menang dalam debat. Ucapan sekecil apapun mengandung karma besar. Tapi dia sendiri lupa saat sedang jumawa.
Rupanya tak ada yang sempurna seperti orang suci atau dewa, termasuk Guruku. Buktinya dia menabur benih karma ini. Tapi memang sejak awal dia bukan dewa, tiba-tiba kuingat gaya jongkoknya mengamati gadis-gadis di jalan...
Tiba-tiba aku merasa rindu pada Guruku.
Hanya saja tak tahu kapan bisa bertemu lagi. Realita ini membuatku kecewa. Segera kuhibur Pak Zheng dan Nenek Awan dengan beberapa kalimat penenang, meminta mereka membujuk Ji Qing, lalu kehilangan keinginan untuk berbicara lebih lanjut.
“Pak Zheng dan Nenek Awan pamit undur diri. Seluruh kampus tiba-tiba terasa sepi setelah keriuhan tadi. Matahari masih bersinar hangat, tapi cahayanya entah kenapa tak bisa lagi menembus relung hati kami.”
Cheng Zhen meringkuk di kursi bambu. Tiba-tiba dia bicara padaku: "Kak Cheng Yi, kalau akhirnya kita tak bisa menemukan Guruku, mungkinkah kita saudara seperguruan ini bisa hidup bersama selamanya?"
Dadaku sesak. Kutahan batuk sambil melirik ke Cheng Qing. Sebagai yang paling dewasa di antara kami, dia segera merasakan tatapanku. Cheng Qing tiba-tiba mengeluarkan kacamata hitam dan mengenakannya. Wajahnya menatap langit biru nan luas. "Bagus juga. Kalau memang tak ketemu, kita tinggal di Pondok Bambu. Bertapa seumur hidup sampai tua nanti. Pasti tak akan merasa kesepian."
"Bicara soal itu nanti saja kalau memang tak ketemu. Kita masih di perjalanan. Sebelum sampai ujung, jangan dulu berandai-andai." Cheng Xin menyesuaikan kacamatanya. Matanya menyipit, mungkin berusaha menyembunyikan sedu sedan di balik lensa.
"GOBLOK! Kalian pikir lagi syuting film indie ya?" Xiao Chengqian menghantam meja hingga berdentang. Suaranya menggema sebelum berubah lirih: "Pasti ketemu! Aku masih harus mengurus pemakaman Kakekku... Tapi kalau memang gagal, aku mau ikutan hidup bersama kalian. Tak mau pulang. Di sana semuanya dingin. Benar-benar beku. Sejak Kakek tiada, tak ada lagi kehangatan sejati."
"Xiao Da Shao yang jarang menunjukkan ekspresi memelas itu justru mengurangi kesan ekspresif dan kesombongannya sehari-hari. Aku menatapnya sambil mengusap dagu, "Biar aku pertimbangkan dulu ya?"
"Masih perlu dipikir-pikir lagi?" Xiao Chengqian menunjukkan wajah penuh kemarahan.
"Ngomong doang? Kalau nggak, kau bisa sediakan pakaian buatan tangan khusus untukku?"
"Gampang."
"Trus penuhi satu ruangan dengan merek-merek mahal yang bahkan namanya susah kusebut, sampai aku bosan memakainya?"
"Sesuka hatimu."
"Hmm, bahan-bahan herbal langka juga boleh, meski nggak perlu sampe buat kumur-kumur atau cuci muka." Kali ini Cheng Xin yang menyela.
"Bisa diatur, asal apotek besar ada stok atau rumah lelang menjualnya." Si Young Master Xiao mulai membusungkan dada.
"Eh, villa juga boleh dua unit ya?" tanyaku serius.
Xiao Chengqian menatapku tak berdaya: "Chen Cheng Yi, kau becanda ya? Bukan 'Bie Ye'! Jangan bilang kau nggak tahu itu bacanya 'Bie Shu', dasar sialan..."
"Wahahaha..." Aku tergelak. Cheng Qing yang masih berkacamata hitam terus mengusap dagunya sambil tersenyum: "Logat Sichuanmu payah, berani-beraninya memaki pakai dialek Sichuan."
Komentar Cheng Qing memecah tawa seluruh penghuni halaman, mengusir kesedihan tadi. Benar, kita tak boleh larut dalam duka. Perjalanan masih panjang, mana ada waktu untuk bersedih?
Terkadang, hasil akhir sesungguhnya sudah tidak penting lagi, yang terpenting adalah kita pernah mengejarnya, maka tak ada penyesalan dalam hati.
Seperti kehidupan yang pernah kujalani, kuhidupi dengan mempertahankan hati nuraniku, apakah aku masih akan mempedulikan akhir cerita yang berujung kematian? Mereka yang takut pada akhir yang tak tenang pastilah orang-orang yang masih menyimpan penyesalan dan rasa bersalah dalam hati.
