Saat tersadar, aku langsung paham situasinya. Sebuah kepala hantu mencoba menguasai tubuhku saat tidur, atau mungkin menjeratku. Apapun tujuannya, jelas ingin menundukkanku.
Sayangnya, trik yang ampuh untuk orang biasa bahkan praktisi spiritual lengah ini tak mempan padaku. Rohku dijaga Si Bodoh, ibarat benteng alami yang kokoh. Bagaimana mungkin kepala hantu biasa bisa menembusnya? Sepuluh sekalipun takkan mampu!
Perasaan campur aduk menyelinap di hati. Lebih dominan rasa sedih. Aku bukan orang bodoh, sudah jelas siapa dalangnya. Tapi itu tak penting. Yang kritis sekarang: apa motif dibalik serangan ini?
Aku menekan Si Bodoh, lalu berkomunikasi dengannya dalam hati. Setelah itu, kubuka pertahananku dan membiarkan kepala hantu yang sedang membelitku masuk ke dalam jiwaku!
Bagi orang lain, cara ini jelas sangat berisiko. Tapi bagiku, sama sekali tidak menjadi beban.
Saat kepala hantu memasuki jiwaku, ia langsung ditekan oleh kekuatan jiwa Si Bodoh—atau lebih tepatnya oleh kekuatan jiwaku sendiri. Lalu kupun berpura-pura kerasukan, tak bisa bergerak sama sekali, bahkan berpura-pura linglung sambil menanti...
Angin malam di zona terlarang dataran tinggi begitu ganas, menerpa perapian di luar tenda hingga nyala api melonjak-lonjak. Bayangan di depan perapian yang terpantul di tenda pun seolah ikut bergoyang, hingga akhirnya bayangan itu berdiri dan mendekati tenda.
Sudah kuduga hasilnya akan seperti ini. Justru saat dia masuk, hatiku malah tenang. Sebagai tuan dari kepala hantu, tentu dia tahu ritual penguasaan tubuhku berhasil. Dalam kondisi "terkendali sempurna" ini, sudah pasti dia akan masuk. Aku hanya perlu terus berpura-pura tak berdaya.
"Mas, Mas..." Begitu masuk, si pemuda itu tidak langsung menyerang, tapi memanggilku dua kali.
"Hmm..." Aku berpura-pura linglung, memutar bola mata putihku, persis seperti orang yang sedang kerasukan.
Dia menyalakan senter di tangannya, berpura-pura panik sambil memerikuku dengan seksama. Setelah beberapa detik, tiba-tiba dia tersenyum. Wajahnya yang semula agak tampan kini terlihat mengerikan dan berkerut di balik senyuman serakah itu.
Dengan perlahan dia bangkit berdiri, mulai melihat-lihat sekeliling tenda sempit itu sambil berkata: "Mas, jangan salahkan aku. Kau tahu hidup penyendiri itu sulit. Tanpa merampok beberapa domba gemuk, aku takkan bisa dapat barang yang kuinginkan di pasar besar. Lalu apa artinya aku mempertaruhkan nyawa pergi ke sana?"
Aku tetap berpura-pura linglung, meski kini sudah mulai mengerti tujuan sebenarnya...
Tak lama kemudian, pemuda itu menemukan tas kantor dan ranselku di sudut tenda. Dia melangkahi tubuhku dengan gesit, mulai membongkar barang-barangku dengan penuh semangat.
Dalam hati aku menghela napas. Beberapa barang di bawaanku sama sekali tak ingin kulihatnya - seperti alat ritual yang mungkin tanpa sengaja mengungkap identitasku. Jadi tak perlu lagi berlagak.
"Kenapa harus memilih aku?" Aku menyangga tubuhku setengah duduk di tenda, tiba-tiba bersuara.
"Basa-basi, orang lain semua berkelompok, yang sendirian memang sedikit, dan semuanya sangat waspada. Hanya kau yang bepergian, menganggap kebaikan sebagai kebodohan. Kalau bukan kau, siapa lagi yang mau kuhampiri?" Pemuda itu hampir refleks menjawab, lalu tiba-tiba menyadari sesuatu yang salah. Dia menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengobrak-abrik barang, menoleh ke arahku dengan raut wajah panik.
Aku juga menatapnya dengan tenang. Dalam hatiku, aku tak menerima alesannya. Kebaikan hati disamakan dengan kebodohan? Setidaknya teman-teman Guruku dan beberapa pengalamanku membuktikan bahwa Jalan Benar masih menjadi arus utama di komunitas ini. Bagaimana mungkin pandangan berubah hanya karena minoritas?
"Kau sudah sadar?" tanya pemuda itu hati-hati dengan nada menguji. Kemudian dia seperti merasakan sesuatu dengan saksama, lalu ekspresinya sedikit mengendur. Senyum aneh muncul di wajahnya.
"Sudah kuduga, yang berani datang ke Pasar Besar sendirian pasti punya keahlian. Untuk sementara berhasil menekan kepala hantu itu, kan? Tapi apa gunanya? Menekannya saja sudah membuatmu kehabisan tenaga. Mustahil kau bisa jadi lawanku sekarang." Begitu katanya padaku.
"Apa tujuanmu? Sekadar merampokku lalu pergi bertransaksi di Pasar Besar?" Aku mengabaikan omongannya, hanya ingin mengonfirmasi lagi maksudnya.
“Harus!” Tangannya menggenggam bungkusan bahan-bahan herbal milikku, berkecamuk emosi sambil berteriak: "Kalian orang-orang kaya sumber daya ini mana mungkin mengerti aku si cultivator miskin? Bahkan ongkos ke pasar besar saja harus dikumpulin susah payah! Aku tak punya barang berharga, ke pasar juga percuma. Kau pikir aku rela? Mengapa mereka yang Jalan Tao-nya goyah bisa menikmati banyak sumber daya? Mengapa usahaku sekeras ini tak diberi secercah harapan?"
Aku malas berdebat dengannya. Dia sudah terlalu fanatik sampai tak tertolong. Setelah memahami tujuannya, kubicarakan dengan malas: "Lepaskan bungkusan itu dan pergi. Mengerti?"
"Dengan apa kau..." Pemuda itu jelas tak menyangka responsku.
Saat itu, Si Bodoh yang selama ini menahan kepala hantu di dasar hatiku akhirnya mengaum keras, menelan bulat-bulat kepala hantu itu.
Sebagai majikan kepala hantu, pemuda itu langsung kena karma balasan. Saat kepala hantu ditelan, dia mendengus kesakitan lalu mundur dua langkah, darah mengalir dari hidungnya.
"Sekarang kau mengerti?" Tatapku menancap padanya.
Dengan wajah ketakutan, dia segera melepas bungkusannya dan tiba-tiba bersujud: "Mas, aku salah! Aku cuma serakah sesaat. Mas, aku benar-benar kasihan. Jangan... jangan bunuh aku."
Jika aku lebih tega sedikit, atau membunuh pemuda ini adalah cara yang paling aman. Tapi kenyataannya sejak kecil aku bukan orang yang tega. Membunuh bagiku jelas merupakan beban berat, meskipun ini di zona terlarang, meskipun di sini hilangnya beberapa orang tiba-tiba adalah hal yang sangat biasa.
Sepertinya dia tidak menemukan apa-apa. Sebenarnya, aku juga tidak mengira seorang praktisi spiritual independen bisa mengetahui identitasku. Jadi kukatakan: "Sebelum aku berubah pikiran, lebih baik kau mingkir sejauh-jauhnya. Ini peringatan terakhir."
Mendengar ucapanku, ekspresi pemuda itu berubah penuh kelegaan. Seperti takut aku berubah pikiran, dia terus mengucap terima kasih sambil merangkak sambil terguling keluar dari tenda...
Kudengar langkah kakinya semakin menjauh. Saat akhirnya tak ada suara lagi, kubaringkan tubuhku kembali. Menyalakan sebatang rokok, akhirnya aku mengerti mengapa para praktisi spiritual selama perjalanan begitu dingin. Mungkin kejadian seperti ini sudah terjadi lebih dari sekali dua kali?
Daya tarik apa sebenarnya yang dimiliki Pasar Besar sampai membuat banyak praktisi spiritual nekat mengambil risiko?
Dengan pikiran yang agak berkabut, rasa kantuk kembali mengepungku. Aku tidak memperhatikan si pemuda itu, hanya menganggapnya sebagai intermezzo tak menyenangkan. Bahkan rasa kantukku pun tidak terganggu.
※※※
Keesokan paginya, aku melanjutkan perjalanan. Menurut petunjuk peta, sisa perjalanan sudah tidak jauh. Begitu melewati pegunungan di depan dan mencapai kaki gunung sebelah sana, dengan undangan di tangan, akan ada yang memandu ke Pasar Besar.
Memandang pegunungan tak jauh di depan, perasaanku agak lega. Bagaimanapun sisa perjalanan sudah dekat, tapi kenyataannya hanya mengelilingi pegunungan kecil ini menghabiskan waktu hampir lima jam lebih.
Kukira aku tidak akan mengalami reaksi dataran tinggi di plato ini. Sampai saat harus memutar pegunungan, baru kusadari semua aktivitas di sini jauh lebih melelahkan. Mengelilingi pegunungan kecil saja membuatku terengah-engah.
Rupanya, aku belum benar-benar beradaptasi dengan plato ini.
Sambil merenung, akhirnya aku berhasil mengelilingi pegunungan kecil itu. Di balik formasi geologis langka ini, terbentang sebuah lembah yang diapit dua rangkaian pegunungan – lebih tepatnya dataran kecil.
Di dataran sempit ini, beberapa satwa liar plato berkeliaran. Biasanya mereka sangat pemalu, lari saat melihat manusia atau kendaraan mendekat. Tapi di sini, mereka justru santai dan menatap penasaran ke suatu titik di kejauhan!
Tempat itulah yang mengharuskan semua praktisi spiritual turun dari kendaraan. Berdiri di mulut lembah, tiba-tiba jantungku berdegup kencang tanpa alasan jelas saat memandangnya...
