“Sebenarnya sederhana saja. Pasar besar ini bukan pasar biasa seperti bayanganmu. Faktanya, tempat ini punya pemilik.” Dengan satu kalimat, si kakek langsung menyentuh inti permasalahan.
“Apa?” Awalnya aku hendak mengambil buah di meja panjang, mendengar perkataan kakek ini, spontan kuangkat kepala sambil berteriak kaget, sampai lupa mengambil buah itu.
“Benar. Pasar besar adalah tempat misterius. Ini hanyalah lokasi transaksi yang disepakati oleh para pemimpin praktisi spiritual. Setiap lima tahun selama sepuluh hari ini, ia menjadi pasar besar. Di luar itu, tempat ini milik sekelompok praktisi spiritual paling rahasia. Mereka adalah praktisi spiritual dengan sumber daya paling melimpah di dunia saat ini. Para pemimpin mereka dikabarkan sebagai orang-orang yang paling mungkin mencapai pencerahan dan menjadi dewa di dunia ini. Bahkan kuda-kuda ini pun hasil peliharaan para pemimpin mereka. Sekarang kau mengerti?” Si kakek bukan tipe yang suka basa-basi. Mirip seperti Pak Zheng dari Desa Danau, ia langsung menjelaskan asal-usul pasar besar tanpa bertele-tele.
“Ini……” Aku tak tahu bagaimana menggambarkan perasaan dalam hati. Sekelompok praktisi spiritual yang selama ini tinggal di zona terlarang? Ini benar-benar di luar bayanganku, fakta ini saja sudah cukup menggetarkanku, sedangkan kata sifat yang dilekatkan pada mereka justru tak terlalu kuperhatikan.
“Perkataan kakek ini sepenuhnya benar, tanpa sedikitpun berlebihan. Di luar sana ada rumor yang lebih hiperbolis, misalnya kuda penarik gerbong ini sebenarnya hampir jadi siluman, atau para praktisi itu sebenarnya adalah bumi dewa yang hanya menunggu peluang terakhir untuk menjadi dewa.” Seolah tak mau aku kurang terkesima, biksu itu menambahkan penjelasan.
Apel di tanganku pun terjatuh bergulingan. Mengingat emosi yang kurasakan dari kuda-kuda tadi, aku mulai merasa desas-desus yang disebut biksu itu mungkin bukan omong kosong. Tentu, aku sendiri juga sadar indera spiritualku luar biasa, seharusnya lebih peka menangkap emosi halus dibanding praktisi biasa.
“Karena itulah orang-orang berbondong-bondong ke pasar besar. Jika beruntung, kita bisa bertransaksi dengan para praktisi misterius asli pasar besar. Untungnya kita hanya terlambat dua hari, puncak aktivitas transaksi pasar baru akan terjadi lima hari lagi. Aku benar-benar beruntung, semula perjalananku tertunda, tak menyangka malam ini sudah bisa sampai di pasar besar.” Si kakek terkekeh Heihei, beralih ke topik lain tanpa peduli kekagumanku yang membeku.
Saat itu, kereta kuda sudah mulai bergerak, berjalan di jalan zona terlarang dengan sangat mulus. Tapi dari pemandangan di luar jendela yang terus menerus mundur terpental, kecepatannya juga cukup tinggi meski tidak seekstrim mobil.
Jalan seperti ini bahkan harus melewati pegunungan, aku sulit membayangkan bagaimana kuda biasa bisa melakukannya? Hanya bisa dikatakan para ahli di Pasar Besar ini sangat hebat, sehingga mampu memelihara kuda misterius penarik gerbong ini.
Setelah goncangan awal, perasaanku perlahan pulih tenang. Bagaimanapun aku berbeda dengan yang lain, tujuan ke Pasar Besar ini adalah mencari seseorang, bukan untuk transaksi. Seberapa misterius dan menariknya Pasar Besar, tetap tidak ada hubungannya denganku.
Dalam ketenangan, aku mulai lagi mengobrol dengan si kakek dan biksu itu. Dari situ tahu banyak hal tentang Pasar Besar: formasi yang dipasang agar orang biasa tidak tersesat, gerbong di lembah itu pasti ditutupi kain minyak lalu ditambah salju dan tanah untuk menghindari pengintaian. Seperti jika tak sengaja terfoto dari udara banyak gerbong parkir di sana, bagaimana penjelasannya...
Dari cerita mereka, Pasar Besar seperti benteng baja yang sangat dijaga, hanya menunjukkan 'topeng' menariknya untuk praktisi spiritual, sementara mengesampingkan orang biasa secara ketat, bahkan legenda pun tidak ditinggalkan untuk mereka.
Ini juga baik, karena seseorang yang menyentuh dunia sama sekali di luar jangkauan hidupnya belum tentu hal baik. Tahu tapi tak bisa menyatu, tetap merupakan hal yang menyakitkan.
Dalam obrolan santai seperti ini, gerbong kereta terus melaju dengan cepat. Sampai pada saat kami semua sudah dilanda kantuk yang berat, kecepatan gerbong sama sekali tidak berkurang.
Benar-benar mengagumkan, kuda yang bisa berlari begitu baik di zona terlarang di malam hari. Apakah ini yang disebut "kuda tua mengenal jalan"? Dengan pikiran itu, aku tertidur lelap.
Entah berapa lama kemudian, barulah aku dibangunkan oleh si kakek di sebelah. Katanya: "Kita sudah sampai. Bagian terakhir perjalanan ini, siapa pun harus berjalan kaki."
Aku menggosok-gosok mata yang masih terasa perih, membuka tirai gerbong. Cahaya di luar begitu menyilaukan. Setelah berdiri, kusadari itu adalah cahaya pagi yang memantul di gunung salju.
"Turunlah." Suara ketukan dingin terdengar dari luar. Biksu membuka pintu gerbong. Benar, itu si dingin yang berjanji mengantar kami ke pasar besar.
Setelah kami semua turun, baru kusadari seluruh rombongan sudah berkumpul. Si dingin menyuruh kami berkumpul dan menunggu. Ia mendatangi beberapa gerbong kereta dan melakukan sesuatu. Ajaibnya, kuda-kuda penarik gerbong itu langsung berlari sendiri menjauh...
Setelah semuanya selesai, si dingin mendekati kami. Tanpa sepatah kata pun, ia memberi isyarat tangan agar kami mengikutinya, lalu berjalan cepat meninggalkan kami sendirian.
"Aku dan si kakek itu berjalan di barisan paling belakang. Merasakan sikap dinginnya, hatiku agak tak nyaman. Bukan karena sikap dinginnya bermasalah, tapi lebih pada kesan superior dan merendahkan yang terpancar darinya."
"Suh Lao, sebenarnya apa latar belakang orang yang memimpin kita ke Pasar Besar ini? Kok susah didekati ya?" Aku berbisik pada kakek di sampingku. Setelah semalaman bersama, aku sudah tahu namanya dan memanggilnya Suh Lao.
"Sst... Lembutkan suaramu. Sikapnya wajar saja, karena dia penduduk asli Pasar Besar - salah satu anggota kelompok praktisi misterius itu. Dia memang berhak meremehkan kita," jelas Suh Lao padaku.
Biksu di depan yang mendengar obrolan kami sengaja melambatkan langkah. "Kau harus mulai membiasakan diri. Rasanya tak enak diremehkan tiap lima tahun sekali, apalagi mereka memang punya alasan untuk itu," katanya sambil berjalan sejajar dengan kami.
Aku mengangguk membisu. Suh Lao mungkin khawatir sifat mudaanku yang keras kepala, lalu berbisik, "Sebenarnya kita sudah cukup beruntung bisa dibawanya masuk. Bayangkan harus melewati formasi pertahanan gerbang sendiri."
"Maksudnya?" Saat itu kami telah sampai di kaki gunung salju. Setelah berbelok, terlihat tanah lapang di balik gunung yang dipenuhi ratusan orang. Tatapan mereka pada kami penuh dengan keirian.
"Lihat kan? Inilah alasannya! Setiap lima tahun, pasar besar dibuka. Formasi di luar ini akan terbuka, hanya menyisakan formasi pengaburan paling dasar. Tapi peserta biasa harus menerobos formasi sendiri. Yang berhasil masuk bisa ikut pasar besar, yang gagal akan terperangkap di pegunungan salju ini sampai acara selesai dan diselamatkan. Pemilik undangan seperti kita akan diantar melalui jalur rahasia. Bukankah ini keberuntungan kita?" Si Kakek menjelaskan padaku.
Sambil berbicara, kulihat sekilas kerumunan di kaki gunung. Tapi kerumunan itu begitu rapat dan berjejal, hanya kusorot pandangan sebentar lalu kulewatkan.
"Tidakkah mereka tahu harus mengikuti jalur rahasia kita?" Usai mengamati kerumunan, kutanyakan. Sebenarnya kebanyakan praktisi spiritual punya dasar ilmu formasi. Menerobos formasi pengaburan (seperti di depan Pondok Bambu) bukan masalah. Tapi formasi sebesar ini rawan kesalahan kecil. Sekali salah... Bukankah mengikuti kami adalah cara terbaik?
"Siapa yang tak tahu? Tapi jalur rahasia itu, meski kukatakan ada, tak ada yang berani sembarangan masuk! Di sanalah formasi pembunuh sesungguhnya dipasang. Tanpa pemandu, siapa berani lewat? Lagi pula aturan pasar besar jelas: Hanya pemegang undangan yang boleh lewat jalur rahasia." Master Su kembali memberi penjelasan.
“Aku juga kali ini beruntung, mendapatkan sebuah undangan. Sebelumnya selalu melewati formasi gunung salju. Kalau bicara tentang formasi gunung salju ini, meski terlihat sederhana, tidak semudah itu untuk dilewati. Satu langkah salah, langkah berikutnya ikut salah. Ini bisa disebut penyaringan untuk praktisi spiritual yang ingin ikut pasar besar. Maksudnya, tidak semua praktisi bisa datang ke pasar tingkat tinggi ini.” Biksu besar itu juga memberikan penjelasan di sampingku.
Sembari berbicara, kami sudah dibawa oleh si penyambut yang dingin itu ke arah berlawanan dari kerumunan orang, memasuki sebuah jalan kecil yang terjepit di antara gunung-gunung salju. Mungkin inilah yang disebut rute rahasia itu?
Aku menatap jalan kecil ini. Saat ini terjepit di antara gunung-gunung salju, di kejauhan berkelok mengelilingi sebuah gunung salju lagi, dengan percabangan jalan yang memanjang. Singkatnya, terlihat sangat rumit.
“Ngomong-ngomong, mengapa orang-orang itu berkumpul di sana tapi tidak mencoba menerobos formasi?” Setelah menginjakkan kaki di jalan kecil itu, aku mengajukan pertanyaan terakhir. Meski tahu diri ini cerewet, rasa penasaran tak tertahankan.
“Hanya setelah tengah hari setiap hari, orang boleh masuk ke formasi besar gunung salju. Sekalipun pasar besar dibuka, formasi ini baru akan terbuka sepenuhnya setelah tengah hari, dengan beberapa Pusat Formasi ditarik, lalu ditutup lagi malam hari. Sekarang masih pagi, masuk sekarang sama saja mencari kematian?” Si Kakek Su menjelaskan padaku.
Tapi kata-katanya belum selesai, penyambut yang dingin di depan sudah berhenti. Dia melepas bungkusan di punggungnya, mengeluarkan seutas tali panjang dan beberapa lembar kain hitam. "Aturan-aturan pasti sudah kalian ketahui, tak perlu kuulangi lagi?" ujarnya.
Aturan? Aturan apa lagi? Saat aku masih bingung, beberapa orang sudah maju mengambil kain hitam dan mengikatkannya di mata...
