Saat mengucapkan ini, senyuman hangat tetap menghiasi wajah si biksu berjubah putih. Tapi aku terus merasa kalimat itu khusus ditujukan padaku. Apakah ini peringatan karena yakin aku akan melanggar aturan?
Aku merasa pasrah, tapi tak ada cara lain. Bagaimana mungkin mereka tahu aku menyamar? Siapapun pasti akan waspada terhadap orang seperti ini.
Sadar diri, keberanianku memang keterlaluan. Di pasar besar ini banyak orang sakti. Jika si penyambut bisa menembus penyamaranku, para ahli lain mungkin juga bisa. Tapi mana sempat kupikirkan itu? Mencari saudara seperguruan jauh lebih penting!
“Aku sedang memikirkan beban pikiranku sendiri, sementara orang berjubah putih sibuk membagikan kamar. Dia sepertinya memiliki kepercayaan penuh pada semua orang. Bagi yang mengaku tahu lokasi, biasanya dia membiarkan mereka pergi sendiri ke kamar masing-masing.”
“Setelah biksu senior dan Pak Su berpamitan kepadaku menuju kamar mereka, hanya aku yang tersisa tanpa pengaturan kamar.”
“Ayo, kurasa ini pertama kalinya kau datang ke Pasar Besar, atau pertama kali masuk gua.” Orang berjubah putih tetap dengan senyum tipisnya, menghampiriku.
Ucapannya sederhana, tapi membuat hatiku terkejut. Ini juga bisa terlihat?
Orang berjubah putih sepertinya tak bermaksud menjelaskan, langsung berjalan ke suatu arah. Dengan pasrah aku mengikutinya. Dia tak menjawab, tapi aku akan bertanya: “Bagaimana kau tahu ini pertama kalinya aku ke sini?”
Tanpa menoleh, suaranya lembut bagai angin musim semi: “Dalam hal bertapa, bakatku mungkin biasa saja. Tapi aku punya keahlian khusus: ingatan fotografis terhadap orang. Tepatnya, bukan hanya wajah, tapi juga napas mereka. Sekali bertemu, akan kuingat selamanya.”
Saat mengucapkan kalimat terakhir, dia berhenti dan menatapku. Senyumnya yang tetap itu justru terasa lebih berjarak daripada wajah dingin penyambut tadi, karena semakin tak terbaca dan tak terjangkau.
Aku memandanginya, sesaat tak tahu harus berkata apa. Tentu saja hatiku tak percaya omongannya tentang kemampuan bertapanya yang ‘biasa-biasa saja’.
Sementara orang berjubah putih hanya menambahkan dengan senyum tipis: "Selama bertahun-tahun, yang bertanggung jawab menjemput tamu agung di gua selalu aku, jadi wajar jika merasa kau agak asing."
Setelah mengucapkan kalimat itu, orang berjubah putih kembali berjalan langsung ke depan. Aku pun terpaksa mengikutinya lagi. Namun saat ini, hatiku bukan lagi rasa pasrah, melainkan sebuah pikiran buram namun membuatku bersemangat yang muncul di benakku.
"Aku tak yakin konsekuensi dari mengatakannya, tapi aku harus mencoba, maka kumemanggil orang berjubah putih itu."
Dia berbalik dengan senyuman, hanya ada nuansa kebingungan di matanya.
"Aku..." Aku sedikit ragu, akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan semuanya sekaligus: "Aku ingin kau membantuku?"
"Kami tidak terlibat dalam aktivitas tamu manapun, apalagi mengurus hubungan atau urusan benar-salah antar tamu. Selain aturan, kami tak bertanggung jawab atas apapun. Maaf, aku tak bisa membantumu." Penolakan orang berjubah putih itu begitu lembut, sama sekali tidak meninggalkan ruang untuk harapan. Bahkan tak kubiarkan aku menjelaskan isi permintaanku.
Orang ini seperti yang kurasakan, meski terlihat lembut, tapi lebih dingin daripada orang yang dingin.
Sebenarnya, aku hanya mendengar tentang kemampuannya itu, ingin memintanya mencari di manakah saudara seperguruan kami. Meski agak lancang, konsekuensinya sulit diprediksi, tapi ini bukan hal yang terlalu merepotkan kan? Setidaknya aku bisa memastikan apakah mereka berada di area gua atau tidak.
"Setelah ditolak, aku dan si Biksu Berjubah Putih berjalan dalam kesunyian. Dia melangkah di depan, aku mengikuti dari belakang. Sepanjang jalan kami berbelok-belok tak tahu berapa kali, tapi belum juga sampai ke tempat tinggalku."
"Tapi dalam hati, aku sama sekali tak peduli di mana mereka menempatkanku. Bahkan jika mereka menyediakan gubuk reyot pun tak apa."
"Sebenarnya 'pemandangan' di tepi jalanlah yang menyita perhatianku. Deretan rumah ternyata adalah berbagai toko yang menjual barang-barang aneh. Dengan arsitektur klasik ini, seolah aku terbang ke era Dinasti Tang-Song - masa keemasan Tiongkok yang paling memesona."
"Tapi tidak sepenuhnya, karena selain bahan herbal, sebagian besar barang yang dijual adalah kebutuhan para praktisi spiritual. Pasar biasa di zaman Tang-Song mana mungkin jual barang begini?"
"Bagaimanapun, berjalan di sini memberiku sensasi telah terlepas dari dunia nyata."
"Sebenarnya Tamu terhormat, jika Anda bisa membayar biaya atau menanggung konsekuensi tertentu, Anda juga bisa menyewa toko sementara di sini. Ini akan memudahkan transaksi maupun pengumpulan informasi. Kawasan niaga ini buka pukul 9 pagi hingga 12 siang, lalu 3 sore sampai 6 petang. Saat itu ramai sekali. Kalau tertarik, boleh datang melihat." Biksu Berjubah Putih menoleh, mungkin melihat ketertarikanku pada toko-toko itu, lalu memberi penjelasan.
"Apa penghuni area tenda juga boleh menyewa toko di sini?" tanyaku. Jika benar begitu, harus kujelajahi baik-baik. Jangan-jangan mereka menyewa toko?
“Mereka tidak bisa, mereka punya area transaksi sendiri. Tamu VIP boleh turun ke area transaksi mereka, dan mereka juga bisa membayar sejumlah biaya untuk naik ke sini. Tapi toko-toko di sini tidak bisa mereka sewa. Sebenarnya aturan detailnya sudah dijelaskan dalam buku panduan yang ada di kamarmu.” Terhadap pertanyaanku, orang berjubah putih biasanya menjawab dengan detail, tapi sebenarnya dia sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk mengajukan pertanyaan lanjutan.
Selama percakapan, kamar yang disediakan untukku segera terlihat. Lokasinya cukup bagus, di belakangnya terdapat salah satu jalan komersial, dan dari depan juga bisa melihat tiga patung raksasa itu. Kalau begitu, ini bisa disebut 'lokasi emas' di sini? Jika mereka sudah berhati-hati terhadapku, mengapa memberikan perlakuan istimewa seperti ini? Aku agak bingung memikirkannya.
Orang berjubah putih mendorong pintu gerbang kamarku, dan aku mengikutinya masuk. Seluruh ruangan diatur secara sederhana namun bernuansa kuno, sesuai dengan eksterior bangunan yang bergaya era Dinasti Tang dan Song. Tempat tidur, kursi, penyekat ruangan... Setiap detail barang-barang ini dibuat sempurna, benar-benar meniru zaman itu.
Jangan-jangan aliran Gunung Salju sudah ada sejak zaman Dinasti Tang dan Song? Pikirku penuh keraguan, tapi jelas pertanyaan seperti ini tidak bisa kuajukan.
Saat aku melihat-lihat ruangan, orang berjubah putih itu sudah sampai di pintu. Menurut sifatnya, kupikir dia tidak akan mengucapkan sepatah kata pun lagi. Tapi di depan pintu, dia tiba-tiba berhenti dan menatapku dengan ekspresi senyum yang sama.
"Ada hal lain?" tanyaku sambil mengangkat alis.
"Jika aku jadi kau, mungkin akan lebih sedikit keluar kamar kecuali dalam situasi khusus." Orang itu tiba-tiba mengucapkan kalimat yang membuatku bingung.
Mataku sedikit menyipit, bertanya: "Mengapa?"
"Pasar Besar adalah acara besar komunitas praktisi spiritual. Biasanya dalam tiga hari, jumlah praktisi yang datang ke sini akan mencapai puncak. Bayangkan seratus ribu orang bukanlah angka berlebihan. Dengan kerumunan sebanyak ini, jika pergi keluar, kamuflase tidak akan ada artinya lagi." Senyuman orang berjubah putih itu terlihat semakin tulus.
Aku terkejut, seratus ribu orang? Tapi jika dibandingkan dengan populasi planet ini, jumlah itu justru terlihat sedikit. Meskipun yang berkumpul di sini bukanlah seluruh praktisi spiritual, setidaknya ini mewakili jumlah tertentu. Tampaknya dibandingkan era-era tertentu, praktisi spiritual memang semakin menyusut.
Namun di saat yang sama, aku memahami maksud tersembunyi dalam perkataannya. Dia benar-benar punya niat baik mengingatkanku, dan ada isyarat lain dalam ucapannya.
Aku bukan orang bodoh, langsung mengejar pertanyaan: "Kondisi khusus seperti apa?"
Orang berjubah putih sedikit memiringkan kepalanya dengan gerakan yang terlihat polos: "Tergantung masing-masing orang? Jika mencari seseorang, jangan sampai melewatkan besok. Besok sudah hari keempat, jumlah orang di sini sudah mencapai puncak. Menurut adat, akan diadakan Perlombaan Ikan Melompati Pintu Gerbang. Aturan spesifiknya ada di buku panduan yang diletakkan di tepi perahu."
Setelah mengucapkan ini, orang berjubah putih bersiap pergi. Tapi bagaimana mungkin aku membiarkannya pergi begitu saja?
"Mengapa membantuku?" Aku berteriak bertanya. Dia tahu aku sedang berkamuflase, tapi tetap membantu. Hal ini terasa sangat Aneh dan Mengerikan.
“Jika kau merasa aku tulus, mengapa harus tahu alasannya? Jika kau butuh alasan, sederhana saja: penyamaranmu jelas untuk menghindari sesuatu. Tapi komunitas kami telah damai terlalu lama, takkan mengizinkan hal di luar aturan.” Biksu jubah putih menjawab dengan sempurna tanpa celah.
“Tapi mengapa kau mengingatkanku cara mencari orang?” Aku merasa pertanyaanku idiot, tapi harus ditanyakan. Jika aliran Gunung Salju bermaksud membantuku, urusanku bahkan posisiku mungkin berubah.
“Kau mencari orang? Oh, baru kusadari.” Biksu itu berpura-pura polos, senyum tipis kembali menghiasi wajahnya. Tapi kali ini, sekeras apa pun kumemandang, terasa nuansa licik senior.
Dia pergi. Aku terdiam di kamar, merasa hidupku 'beruntung' selalu bertemu orang dan hal aneh. Setelah termenung hampir semenit, baru teringat untuk melihat buku aturan di tepi perahu.
