"Kegembiraan Wei Yu yang berlebihan membuat biksu berjubah putih itu sedikit terhibur. Setelah terdiam sejenak, ia berkata: 'Awalnya kita akan mengundi nomor urut, jika kalian tidak keberatan, bolehkah aku mempersilakannya maju lebih dulu?'"
Usai berbicara, pandangan biksu itu menyapu seluruh ruangan. Mengingat tugas yang harus kuselesaikan, tiba-tiba aku berdiri dan berkata pada Wei Yu: "Saudara Wei, apakah kompetisi ini sangat penting bagimu?"
Wei Yu menatapku dengan bingung, mungkin tak menyangka justru aku yang mengajukan keberatan. Ia mendekat dan berbisik: "Aliran kami sampai di generasiku hanya punya keahlian tanpa sumber daya! Guruku wafat karena kecelakaan, menjelang akhir hayat berpesan agar aku melanjutkan perjalanan spiritual ini, merekrut murid baru untuk mewariskan aliran kita. Menurutmu, pentingkah kompetisi ini?"
Meski tak diungkapkan sepenuhnya, perkataan Wei Yu telah menggambarkan kepahitan seorang praktisi independen dan tekad bulatnya. Sungguh ia tak punya pilihan lain selain mengandalkan sumber daya organisasi besar untuk melanjutkan alirannya.
Kuanggukkan kepala sambil menepuk bahunya: "Baiklah, majulah duluan. Gelar juara mungkin akan jadi milikmu. Tapi kuharap kau tidak memilih Organisasi S."
"Basa-basi! Di Organisasi S ada dua orang itu, mana mungkin ada praktisi wanita yang mau mendekatiku? Kecuali aliran Gunung Salju, aku tak tertarik pada organisasi mana pun. Pilih yang biasa saja." Wei Yu menyeringai padaku.
Aku tak berkata lagi, memberikannya tatapan penyemangat sebelum kembali duduk.
Wei Yu naik ke panggung, sesuai aturan mulai menguji usia tulang, tapi hatiku tiba-tiba mulai tegang. Tangan di saku celana menggenggam erat botol ramuan yang bisa memulihkan penampilanku, ujung jari terasa membeku.
Aku berharap Wei Yu bisa meraih keinginannya, tapi juga bingung apakah prestasinya masih berlaku kalau aku tak sengaja mengacaukan pertemuan nanti saat giliranku?
Jika terpaksa... Aku menelan air liur untuk melembabkan tenggorokan yang kering, berhenti berpikir berlebihan. Saat ini lebih baik langkah demi langkah.
Setelah pemeriksaan usia tulang, pertandingan Wei Yu dimulai. Karena dia menargetkan aliran Gunung Salju, dia tidak memilih pengaruh tertentu secara intensif. Sesuai aturan, dilakukan pengundian acak.
Hokinya cukup baik - mengundi sebuah aliran Jalan Benar yang cukup ternama. Pertarungan ini akhirnya menjadi sorotan pertama malam ini, memaksa murid perwakilan aliran tersebut mengeluarkan semua kemampuannya, lalu mengalahkannya hingga membuat arena bergemuruh.
Aku duduk di bawah panggung, mengamati pertarungan ini dengan seksama. Ritual Sihir Wei Yu yang unik hampir menyamai ritual rahasia keturunan Lao Li, bahkan masih terlihat punya cadangan tenaga. Ternyata aku meremehkan si nak ini. Mengingat ucapannya sebagai keturunan dewa, hatiku tanpa sadar mulai lebih mempercayainya.
Di atas panggung, di tengah sorak gemuruh arena, Wei Yu mengeluarkan auman panjang lalu berteriak keras: "Apakah Gunung Salju mau menerimaku?"
Orang berjubah putih berdiri di depanku, mengangguk sedikit, entah apakah ini bisa dianggap sebagai pengakuan?
Mendengar target Wei Yu langsung mengarah ke aliran Gunung Salju, teriakan-teriakan di lokasi semakin membara. Wajah Murid dari faksi yang dikalahkan memang tampak muram, gengsi faksi tersebut juga terancam. Namun mereka tetap menjaga sikap elegan tanpa mengganggu. Setelah teriakan-teriakan berlangsung selama satu menit, seseorang berbaju jubah putih naik ke panggung, mengakui Wei Yu sebagai Murid.
Wei Yu bersorak keras, tak lupa memberiku isyarat tangan 'semangat'. Senyumannya mungkin tak terlalu indah dipandang, tapi terasa sangat tulus.
Ini juga bisa disebut sebagai sebuah kebaikan. Andai bukan karena beberapa jam bersama, mungkin aku sudah mengacaukan acara dan menghancurkan keinginan Wei Yu. Melihat ekspresi bahagianya, tiba-tiba kuputuskan: Aku akan tampil terakhir. Tidak mudah menjadi orang biasa. Tak pantas aku merusak hal yang sudah lama dikejar orang lain hanya karena ketergesaanku. Di dunia ini tak ada alasan yang sah secara hukum untuk menganggap diri lebih penting dari orang lain.
Senyuman Wei Yu memberiku pencerahan hati. Tanpa sadar kulum mundur selangkah. Orang berjubah putih di depanku seolah merasakan koneksi khusus, tiba-tiba menoleh dan menatapku. Dengan senyuman hangat yang sama, dia berkata tanpa alasan jelas: "Napasmu lebih stabil. Apakah pikiranmu sudah lebih jernih?"
Dalam hati aku terkejut, tapi di mulut hanya berkata: "Tidak. Hanya kurang percaya diri. Kuputuskan untuk tampil terakhir."
Orang berjubah putih tersenyum tanpa bicara, tampak hendak berbalik, tapi tiba-tiba berkata padaku: "Bagus! Aku senang kau bisa mengambil keputusan ini."
Apa yang membuatnya senang? Apa yang dia tahu? Hatiku mulai cemas, sosok berjubah putih yang tak terbaca ini menjadi beban pikiranku terbesar. Tapi dia tak memberiku penjelasan apapun, dan aku pun tak punya jalan mundur lain.
Waktu tersisa hanya untuk menunggu. Wei Yu yang sudah mengundurkan diri mendatangiku dengan gembira, menyemangatiku agar sukses dan bisa bergabung dengan Sekte Gunung Salju. Tapi karena dia sudah menjadi anggota, tak boleh lama-lama di area peserta. Masih banyak hal yang harus dijelaskan padanya, akhirnya dia segera dipanggil pergi.
Melihat punggungnya yang menjauh, kukira pertemuan singkat kami akan berakhir di sini. Tapi itu hanya asumsiku saat itu.
Waktu berlalu detik demi detik. Pertandingan berikutnya justru lebih membosankan dibandingkan pertarungan murid-murid sekte. Nyatanya kemampuan orang biasa tak bisa disamakan dengan sekte. Tingkat kelulusan lebih rendah, sementara tingkat korban meningkat drastis - dua orang tewas dalam pertandingan ini. Sementara di pertandingan sekte tak ada korban jiwa. Kurasakan nuansa kejam yang lebih tajam dibanding kekejaman dunia biasa di luar komunitas praktisi spiritual.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 8:30 malam. Semua peserta sudah mengikuti pertarungan di atas ring, tinggal aku yang masih sendirian.
“Giliranmu.” Orang Berjubah Putih menguap lebar, tiba-tiba menatapku sambil menghela napas: “Mengingatkanmu soal adat sekarang sudah jadi basa-basi, ya? Chen Cheng Yi.”
Mataku membelalak, waspada menatap Orang Berjubah Putih itu. Kubalas dengan suara berat: “Aku tak paham maksudmu?”
“Apa yang kau lakukan sementara tak urusan dengan kami, asal jangan keterlaluan.” Orang itu mengabaikanku, melayang melewatiku. Saat bersinggungan, bisiknya di telingaku: “Kebetulan aku menguasai empat garis keturunan selain Aliran 'Gunung'. Kau pula objek pengamatan. Takdirmu di komunitas metafisika sudah bukan rahasia. Banyak yang tahu ciri-cirimu. Menebak identitasmu tak sulit, setuju?”
Dia menatapku sambil tersenyum.
Kutatap balik, tiba-tiba bibirku terasa kering. Kukatakan pelan: “Kalau sudah tahu identitasku, tak ada maksud tertentu?”
“Bagiku, masa-masa panjang ini membosankan. Kuharap pertunjukanmu malam ini menarik. Sekedar ingatkan, di tribun ini banyak orang berniat jahat, siluman tua pun tak sedikit.” Senyum Orang Berjubah Putih itu kembali mengembang, mirip rubah yang membuatku teringat si Su Cheng Xin.
“Bukannya kau salah satu siluman tua itu?” kubentak kesal.
“Hehe, pemuda memang punya nyali.” Pria berjubah putih itu mungkin tak menyangka aku akan berkata demikian, memandangiku dengan heran sebelum pergi. Sampai akhir pun aku tak paham maksudnya. Di sisi lain, petugas penguji usia tulang sudah mulai mendesakku.
Aku berjalan ke tepi panggung, memulai prosedur pengujian usia tulang sesuai adat. Saat itu, atmosfer ruangan diselimuti kelelahan dan kepasrahan - bagaimanapun aku mewakili pertarungan terakhir.
Wei Yu sengaja datang ke bawah panggung untuk memberi semangat. Secara samar kurasakan sesuatu yang tak beres, seolah ada puluhan pasang mata mengawasi gerak-gerikku.
Tapi sudahlah. Ucapan tak sengaja pria berjubah putih itu mungkin telah memberiku jawaban. Begitu naik panggung, identitasku pasti akan terbongkar! Kekhawatiran sebelumnya kini tak relevan lagi. Justru di sini tercipta rasa aman yang paradoks, bukan?
Pengujian usia tulang cepat selesai. Kunaiki anak tangga ring tinju satu per satu. Berdiri di tengah ring, kurasakan semakin banyak tatapan - beberapa di antaranya memancarkan permusuhan tajam yang jelas terdeteksi oleh indera spiritualku. Tampaknya eksposur identitas sudah tak terhindarkan.
Di atas ring, sesuai protokol datang seorang perwakilan aliran Gunung Salju yang bertanya: "Chu Ming, murid aliran mana yang hendak kau tantang?"
Suaranya menggema ke seluruh sudut ruangan melalui pengeras suara. Kuputar leher, kuregangkan tangan dan kaki, lalu kujawab santai: "Terserah."
"Percayalah melalui kalimat ini, saudara seperguruanku pasti sudah mengetahui keberadaanku jika berada di lokasi. Penyamaran mengubah rupaku, tapi tidak mengubah suaraku. Dan aku juga tidak sengaja mengubah suaraku sendiri."
Begitu ucapanku berakhir, tiba-tiba dari bilik Sepuluh Kekuatan Besar di seberang muncul setidaknya empat kelompok orang. Dengan malas kuperhatikan mereka. Baiklah, setidaknya sekarang aku tahu siapa saja musuh-musuhku!
