Apakah ritual sederhana ini begitu penting? Kukerutkan alis. Di balik riak air yang bergelora, tampak punggung hitam legam raksasa. Tak diragukan lagi, ini pasti makhluk besar—sepertinya sejenis ikan raksasa.
"Sifat keras kepala Johnny yang meledak-ledak, kami semua sudah merasakannya. Aku tidak bisa mencoba membujuknya, atau menghentikan pekerjaan di tangan. Hanya bisa mengayunkan langkah berirama, melantunkan teks ritual pemakaman, terus menghamburkan kertas sembahyang, berusaha menyelesaikan ritual pelepasan arwah tanpa alasan jelas ini secepatnya."
"Apapun lingkungan sekitarnya, aku tetap menyelesaikan ritual ini dengan perasaan tulus. Saat itu, Johnny sudah terseret masuk air sekitar satu meter. Aliran deras yang ganas telah mencapai pinggangnya. Entah karena kekuatan air atau ikan, tubuhnya mulai terbaring tak beraturan."
"Tapi di wajah Johnny sama sekali tidak terlihat ketakutan. Malah matanya melotot penuh amarah, memaki-maki dengan bahasa India. Aku pun tak mengerti apa yang diumpatkannya! Pokoknya kesannya seperti sedang berhadapan langsung dengan makhluk biologis dalam air itu."
"Johnny seperti ini mengingatkanku pada novel klasik 'Orang Tua dan Laut'. Entah apakah wajah nelayan tua yang akhirnya menangkap ikan besar itu sama seperti rupa Johnny sekarang. Tapi sekaligus ingin tertawa dan menangis, tak tahu apa yang dipaksanya begitu?"
"Walau dalam hati berpikir demikian, aku hampir berlari ke arah Johnny sambil berteriak: 'Pak Johnny, buang kail pancingnya! Kalau tercebur, kau bukan lawan 'itu'!'"
"'Tidak! Aku tak mau! Pernah kau lihat penembak membuang senjatanya? Nelayan meninggalkan perahunya? Aku harus menariknya naik!' kata Johnny dengan keras kepala. Sambil berbicara, tubuhnya kembali terseret sedikit lebih dalam."
Jika terus begini akan berbahaya. Saat itu aku sudah sampai di tepi air, tanpa ragu langsung ikut masuk ke dalam air. Padahal ini musim panas terik, tapi begitu aliran air di pintu masuk menyentuh kulitku, dingin yang menusuk tulang itu membuatku merinding sekujur tubuh.
Air dari tempat berkumpul energi yin!
Pikiran itu melintas di otakku, tapi tubuhku terus melangkah mendekati Johnny. Aku membantunya memegang kail pancing, berhadapan dengan ikan besar itu.
Nyatanya usaha kami sia-sia. Meski tenaga kami cukup besar, tapi sama sekali bukan tandingan ikan besar itu. Di saat krusial akan terseret ke sungai, diam-diam aku merebut kail dari tangan Johnny dan melemparkannya ke air. Aku tak peduli makiannya, langsung menyeretnya ke darat.
Tapi proses ini tak mulus. Ikan raksasa itu yang baru saja bebas dari belenggu, mencoba membalas kami. Saat menyeret Johnny mundur, kulihat jelas tubuh hitamnya yang mencolok berbalik dan menyergap kami. Untungnya gerakannya terlambat. Aku berhasil menyeret Johnny ke darat dan menekannya kuat-kuat di tepian sungai.
‘Wah’ suara gemericik air memukuli tepi sungai, sentakan terakhir ikan besar membuatku melihat kepalanya. Lagi-lagi ikan lele, seekor lele raksasa. Meski hanya sekilas pandang, kulihat garis-garis ungu di kepala ikan lele ini begitu jelas, seluruh kelopak matanya merah, mulut menganga, gigi-gigi tajam, horor yang luar biasa.
"Kau lihat? Pak Johnny, ikan ini jauh lebih termutasi dibanding yang kita lihat sepanjang perjalanan. Kau tak harus membawanya ke darat untuk melihat ini, ya kan? Pada dasarnya sudah bisa dipastikan di sinilah tempatnya, benar kan? Kau tahu sejak memasuki permukaan sungai ini, kita belum melihat ikan besar sama sekali, tidak seekor pun." Aku berbicara dengan hati-hati pada Johnny sambil melepaskan genggamanku padanya dengan gerakan penuh ujian.
Setelah dilepaskan, Johnny langsung bangkit berdiri, memaki-maki dalam bahasa India, lalu mendorongku dengan kasar. Dengan sikap sangat ganas ia berjalan ke arah perahu. Aku segera menyusul, berteriak di belakang Johnny: "Pak Johnny, takkah kau merasa sejak tiba di sini, dirimu jadi tidak masuk akal dan sulit didekati? Apapun yang terjadi, ingat kita sekarang adalah teman, teman yang hidup mati bersama. Kau tak boleh seperti ini."
Johnny yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti. Punggungnya kaku selama satu detik, lalu ia berbalik dengan kasar. Kulihat wajah yang dipenuhi api kemarahan. Saat itu, kukira Johnny akan memukuliku.
‘Huu’, di dalam hati aku berpikir, dia adalah sahabat guru leluhurku, termasuk generasi yang lebih tua. Meski saat ini sikapnya tidak masuk akal dan sangat ganas, bahkan jika menyerang, aku tidak boleh melawan. Aku hanya bisa menanggungnya sambil berusaha meyakinkannya.
‘Huu’, yang mengejutkan, Johnny tidak memukuliku. Dengan ekspresi marah dia menatapku beberapa detik, lalu menghela napas panjang. Ekspresinya mulai sedikit tenang, akhirnya bicara: "Maaf."
"Tidak apa-apa." Aku tersenyum, lalu mendekat dan memeluk Pak Johnny. "Aku tidak akan mempermasalahkan ini."
"Beraninya kau mempermasalahkanku? Atau tadi seharusnya aku pukuli kau?" Wajah Johnny kembali memerah oleh api kemarahan.
Aku segera menghapus senyum dan berkata serius: "Hanya bercanda! Pak Johnny, kami semua merasakan keganasanmu. Tapi kami tak pernah berniat melawan, bahkan sedikit pun tak ada kemarahan. Kami selalu berusaha memahami, meski tak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Pandangan Johnny padaku sedikit tersentuh, lalu dia menundukkan kepala. Sambil berjalan, dia berkata: 'Aku tadi... Aku tadi terlalu ingin mengangkat ikan itu ke permukaan, melihat mutasi apa yang terjadi untuk memastikan apakah ini benar-benar...? Cheng Yi, dalam hidup seseorang selalu ada satu dua peristiwa yang meninggalkan cap seumur hidup. Aku hanya... tiba di sini mengingat terlalu banyak surat yang ditinggalkan, sampai-sampai mereka membangkitkan perasaanku, mengaburkan kemampuanku berpikir. Li pernah bilang, kehilangan ketenangan adalah hal yang menakutkan. Tapi aku bukan Li, aku tak memiliki kedewasaan mentalnya. Beberapa hal rupanya masih bisa membuatku tak bisa bersikap biasa, kalau tidak, mana mungkin aku bertahun-tahun mengurung diri di permukiman kumuh, mencoba mendekati sesuatu, melupakan kesedihanku sendiri.'"
"Pak Johnny, apa yang sebenarnya terjadi? Membuatmu sedih seperti ini?" Saat Johnny mengatakan hal-hal itu, aku bisa merasakan kesedihan mendalam yang tersimpan, sampai tidak tahan untuk menanyakan lebih lanjut.
Saat itu kami sudah kembali ke perahu. Johnny menghidupkan mesin. Di tengah deru mesin, dia berteriak padaku: "Kau akhirnya akan tahu! Tapi sekarang... aku tak punya mood untuk bercerita."
Perahu kembali melesat cepat di permukaan air. Memandang pintu masuk yang semakin menjauh dari pandangan, dasar hatiku dipenuhi kegelisahan hebat. Sekali lagi rasa krisis menyelimutiku—sensasi wajib setiap kali memasuki tempat berbahaya. Namun ia hanya memberi petunjuk akan bahaya, tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi? Kuinginkan satu hal: apapun yang terjadi, meski kami terluka parah, semoga kami semua bisa keluar hidup-hidup.
Akhirnya kami tiba kembali di Kapal Penglai. Kail pancing yang hilang, pakaian basah kuyup—penampilan kami membuat semua orang bingung. Bukankah kami hanya pergi survei? Mengapa bisa gagal seperti ini?
Johnny masih tetap hening. Aura kegelisahan datar dan ketidaksabarannya kembali muncul saat ia pergi mengganti pakaian.
Di hadapan tatapan penuh tanya kru, kuberikan senyum tipis: "Kami bertemu senjata besar. Alih-alih memancingnya, hampir saja kami berdua yang diseretnya ke bawah! Tempat itu sama sekali tidak cocok untuk memancing, justru lebih pas disebut tempat yang bagus untuk ikan memancing manusia."
Kucoba meredakan ketegangan dengan gaya santai, tapi sama sekali tidak mempan. Chengyuan menanyakan dengan hati-hati: "Kakak Cheng Yi, apakah itu... tempat tujuan akhir pelayaran kita?"
Kukanggukkan kepala. Dengan pandangan penuh penyesalan kulihat Singh yang berdiri di sudut geladak: "Maafkan aku. Tempat Iblis itu... memang menjadi titik akhir perjalanan kita."
Begitu kata-kataku selesai, kulihat Singh menatap langit sambil menghela napas. Entah itu bentuk relaksasi atau beban berat.
Kak Cheng Xin awalnya masih sedikit tegang. Setelah melihat anggukanku, dia kembali bersandar malas di kursi malasnya sambil mengupas mangga. "Tanah Iblis, Singh sudah memberitahu kita. Tampaknya, hoki kita memang tak pernah bagus ya?"
Di permukaan sungai nun di sana, muncul beberapa kapal barang yang rutenya memutar kembali ke aliran utama. Singh melirik ke arah itu tiba-tiba berkomentar: "Aku iri dengan perjalanan pulang mereka."
Tapi Johnny yang sudah berganti pakaian bersih muncul dengan tenang. "Jangan bicara pesimis. Kita juga akan pulang. Tapi sekarang, kita harus mengarahkan kapal ke sana..." Tangannya menunjuk jauh ke arah... bukankah itu Tanah Iblis?
Semua terdiam satu detik setelah mendengar itu, lalu berhamburan.
Singh berlari cepat ke ruang kemudi. Yang lain mulai merapikan barang-barang seperti alat ritual dan tombak ikan. Pelajaran sepanjang perjalanan membuat kami membeli banyak tombak ikan berkualitas tinggi di beberapa tempat. Jujur, ini lebih menenangkan daripada alat ritual.
Kapal Penglai pertama kalinya melaju kencang. Mesinnya mendengung penuh tenaga untuk pertama kali, membelah ombak demi ombak, membawa kami menuju tempat paling berbahaya.
Aku berdiri di bagian depan geladak, angin menerbangkan rambutku... Johnny berdiri di sampingku, tampak ragu namun dengan keteguhan berkata padaku: "Cheng Yi, di dalam sana pastinya tidak tenang, ada Hantu. Begitu kau masuk, langsung turun tangan ya."
Saat mengucapkan ini, mata Johnny kembali memancarkan sedikit kesakitan.
Sebenarnya aku heran, sebagai seorang Taoist, bukankah wajar jika melihat Hantu langsung bertindak? Entah aku ingin menekan mereka, mengusir mereka, atau melakukan ritual pelepasan arwah, tidak mungkin membiarkan mereka jalan-jalan sendirian di dunia fana?
Apalagi... cerita Singh membuatku yakin di dalam sana ada Hantu jahat! Ditambah keberadaan misterius yang masih berada di sana, Hantu jahat itu mungkin akan menghalangi kami. Baik secara emosi maupun logika, aku harus turun tangan!
Tapi, mengapa Johnny sengaja menekankan hal ini?
Kecepatan Kapal Penglai sangat tinggi, tak lama kemudian kami telah melewati tepian sungai. Mulut air misterius itu akhirnya muncul kembali di pandanganku.
