Guruku pernah berkata, semakin krusial dan berbahaya situasinya, pikiran harus semakin jernih. Jangan berpikir macam-macam! Fokuskan energi spiritual pada satu tujuan, maka masalah akan teratasi.
Jangan meragukan kekuatan pikiran manusia. Seperti ketika kita terus memikirkan hal buruk, seringkali benar-benar terjadi. Di saat krisis, jangan pikirkan kemungkinan buruk, fokus saja pada tujuan.
Jadi aku takkan memikirkan makhluk-makhluk di bawah air itu. Aku juga tak memikirkan kecepatan kapal Penglai... Aku hanya fokus mendekati ikan besar itu.
Sebenarnya aku bukan perenang handal. Tapi petunjuk energi spiritual dan kehendak baja membuat tubuhku melesat seperti anak panah yang dilepaskan dari busur, dalam sekejap mendekati ikan raksasa itu.
Di tengah riak-riak yang menggelegak, aku berusaha stabil. Mengangkat senjata ikan, ikan besar itu seperti merasakan bahaya sesungguhnya. Ia menggeliat dahsyat, menciptakan ombak besar yang membuat Wolma semakin merintih kesakitan.
"Harus diakui, jurus ini memang efektif! Beberapa kali tubuh besarnya menghantamku. Jika bukan karena aku berpegangan pada Kapal Penglai, pasti sudah terlempar. Dalam pergulatannya ini, mustahil bagiku mengangkat senjata untuk menembak!"
Yang berbeda adalah, ia tidak peduli dengan berlalunya waktu, sedangkan aku tidak bisa kehilangan waktu sedetik pun.
Serangannya padaku tak kunjung berhenti. Entah mengapa, ia juga enggan melepaskan Wolma. Dalam kekacauan ini, kurasa hanya satu jalan: bertarung habis-habisan! Tentu saja, aku juga butuh sedikit hoki...
Sekali lagi, ikan raksasa itu menggeliat. Tubuhnya berkerut-kerut sebelum menghantamku dengan dahsyat. Kali ini, sambil bersandar pada Kapal Penglai, di detik yang tepat kulepaskan pelatuk tombak ikan. Tombak dengan silangnya melesat dengan 'dentum' menggelegar, menusuk tubuh ikan itu dengan kecepatan luar biasa.
Berkat ukurannya yang sangat besar dan target yang jelas, sembrono sekali tombakan dalam panik ini ternyata tepat mengenai tubuhnya!
"Wolma! Bertahanlah! Sepuluh detik lagi, aku janji!" Teriakku sambil mencengkeram erat tombak ikan ke arah Wolma yang masih bergantung di lambung kapal. Wolma menatapku lemas, pandangannya mulai mengabur. Tapi dengan sisa tenaga, ia masih sempat mengangguk lemah padaku.
Ikan besar tertusuk tombak ikan, meronta semakin dahsyat. Tapi di saat bersamaan, ia tak bisa melepaskanku lagi. Aku bisa menggunakan tali kokoh antara tombak dan senjata untuk mendekati ikan besar, menstabilkan posisi, tak takut terlempar lagi.
Ini pertaruhan petualanganku, tapi juga alasan aku menyuruh Wolma bertahan. Karena kuduga ikan besar akan meronta lebih ganas.
Menarik napas dalam, kugigit senjata itu lalu kutarik tali tersebut. Dengan tenaga penuh, akhirnya aku mendekati ikan raksasa itu.
Aku menempel erat di tubuhnya yang licin, dingin, dan besar. Kedua paha mengapit tubuhnya yang semakin ganas meronta. Di saat itu, aku meraung keras, mengerahkan tenaga sekuat mungkin untuk terus mengapitnya melawan kekuatan itu.
Lalu kupegang ujung tombak ikan. Otot-ototku mengencang sampai puncak, lalu dengan teriakan keras, kucabut tombak itu.
Tanpa ragu, kurentangkan tangan menggenggam bibir ikan raksasa. Gigi tajamnya menusuk telapak tanganku. Harus kulakukan ini untuk mengamankan posisi. Rasa sakit sudah kuhiraukan.
Akhirnya…aku menarik napas dalam-dalam. Api kemarahan yang terpendam sejak awal akhirnya meledak sepenuhnya. Kuangkat tombak ikan setinggi-tingginya, menggunakan seluruh kekuatan seumur hidupku pada detik ini. Dengan suara 'krak' kecil, kutusukkan tombak itu ke kepala ikan besar ini.
Saat itu, ikan itu dahsyat meronta-ronta. Tapi seiring kugoyangkan tombak, kekuatan tubuhnya mulai cepat menghilang. Tubuhnya perlahan mengeras kaku…Namun giginya masih mencengkeram Wolma dengan erat. Kulepaskan tombak, tak peduli lagi, tangan satunya kucengkram mulut lebar ikan ini. Sambil meraung liar, kedua tanganku mengerahkan sisa tenaga untuk membuka rahang ikan yang sudah mati namun tetap terkunci rapat ini.
"Aaa…!" teriakku histeris. Kudengar suara retakan insang ikan yang pecah. Darah ikan, darah Wolma, dan darahku menyatu. Riak-riak air yang bergelora pun tak sanggup membersihkannya seketika. "Huigen, cepat! Tarik Wolma!" pekikku.
Huigen mana berani menunda. Dengan teriakan ia menarik tubuh Wolma yang akhirnya terbebas ke dek kapal. Sekilas kulihat betis Wolma sudah pucat seluruhnya. Jika tidak segera ditangani, bisa-bisa kakinya benar-benar tak terselamatkan.
"Semoga aku tidak terlambat." Aku melepaskan pegangan, mengusap wajah dengan air... Kulihat Kak Cheng Xin telah mengambil alih Wolma dari tangan Huigen. Di saat yang sama, tubuh seksi ular besar yang sebelumnya masih berjuang dengan dahsyat itu kini sudah lemas tak berdaya. Meski tak melihat sosok Tao Bai, yang terlihat hanyalah lengan yang bergerak liar, terkadang terangkat tinggi.
Apakah semuanya sudah mereda?
"Kak, kasih tangan ke gua. Gua akan menarikmu naik." Huigen mengulurkan tangannya.
Aku tersenyum tipis pada Huigen lalu mengulurkan tangan... Tapi tiba-tiba ikan besar yang melayang di sampingku bergerak. Matanya tiba-tiba berkilat sinar beringas, seluruh tubuhnya menggeliat dahsyat. Tubuh raksasanya melayang ke udara setinggi satu meter, lalu jatuh berat sekitar 10 meter dari kapal Penglai.
Tenaga ledakan tadi membuatku yang tak waspada terlempar. Dorongan riak air mengangkat tubuhku ke udara. Aku jatuh ke permukaan air bersama ikan itu, bahkan terdorong lebih jauh oleh gelombang kejatuhannya, lalu tenggelam dengan cepat...
"Sial!" Itu pikiran pertamaku saat tercebur. Dari sini kulihat buritan Penglai. Jarak ke buritan saja 7-8 meter, apalagi kapal ini terus melaju!
Kemudian, aku mulai tenggelam dengan sangat cepat. Dalam proses tenggelam ini, lengan yang mengibas-ngibasku bahkan menyentuh kepala seekor lele raksasa. Tapi karena kecepatan tenggelam yang terlalu tinggi, aku hanya bersinggungan dengannya!
Jatuh ke sarang ikan-ikan buas ini. Aku sangat menyadari situasiku, tapi dalam krisis seperti ini, aku tetap penasaran: Ikan yang otaknya sudah hancur oleh tusukan serampangan itu seharusnya benar-benar mati. Tatapan terakhir dan ledakan akhir itu sebenarnya apa maksudnya?
Aku tidak bisa menemukan alasannya. Setelah tenggelam sampai kedalaman tertentu, daya apung air yang besar dengan cepat mengangkatku. Seketika aku muncul kembali di permukaan air!
Bahkan dalam situasi paling putus asa sekalipun, tidak boleh diam saja menunggu kematian. Saat muncul ke permukaan, tanpa berpikir panjang aku mulai mengayunkan kedua lengan dengan kuat, mengkoordinasikan gerakan kaki dan tubuh, berenang cepat menuju Kapal Penglai!
Kulihat Kapal Penglai sudah memperlambat laju. Ini pertanda akan berhenti. Mungkin mereka melihat saat aku terlempar dan segera merespons.
Suara air glekuk bergema di telingaku. Aku tidak bisa melupakan lele raksasa yang bersinggungan denganku saat tenggelam... Karena keterlambatan akibat tenggelam, jarak ke Kapal Penglai semakin jauh, mungkin sudah 10-20 meter.
Dan jarak inilah yang akan menentukan hidup-mati!
Aku berusaha mengosongkan pikiran, fokus berenang sekuat tenaga. Saat melewati mayat ikan raksasa yang mengapung itu, kulihat riak-riak air merah bergelora di sekitarnya—tak kurang dari belasan ikan buas sedang menggigit-gigit tubuhnya!
Mungkin ini alasan mengapa aku tidak langsung diserang? Ini juga bisa dianggap hoki!
Aku menggigit gigi terus mendayung. Di depan, kapal Penglai sudah berhenti. Dari kejauhan kulihat Huigen dan yang lain berdiri di buritan. Huigen memegang ban renang yang diikat tali, berteriak-teriak menyuruhku cepat!
Tapi di saat bersamaan, kurasakan gelombang di belakangku sangat tidak wajar. Sungai ini sempit—mayat ikan yang dikerubuti ikan-ikan buas itu tidak menyisakan ruang untuk makhluk lain. Yang datang belakangan jelas-jelas mengincarku!
Aku mendayung mati-matian. Tambahan satu meter pun jadi harapan hidupku. Saat jarak sudah cukup, Huigen mengayunkan ban renang itu: "Kak, tangkap!"
Ban renang melambung membentuk parabola lebar, mendarat kurang dari satu meter dariku. Di detik itu, kurasakan sesuatu yang tak dikenal sudah sangat dekat di belakang. Tapi aku tak menoleh—dengan sisa tenaga, aku menerjang ke arah ban itu dan mencengkeramnya!
Lalu, daya tarik dahsyat pun terasa. Di atas perahu Penglai, hampir semua orang menarikku dengan sekuat tenaga, jauh lebih cepat dari kecepatan berenangku sendiri!
Dengan cepat aku mendekati perahu Penglai. Sampai di buritan kapal, tanganku bahkan belum sempat terulur, mereka langsung menarik tali dan mengangkatku ke atas!
Baru saja kupegang pagar, tiba-tiba perahu Penglai kembali diguncang getaran dahsyat. Karena digenggam erat oleh mereka, aku tidak terjatuh. Tapi saat pertama kali menoleh, kulihat seekor monster ikan tak dikenal sedang menghantam lambung Penglai. Inikah makhluk yang mengikutiku tadi?
Rupanya, betapa berbahayanya posisiku sebelumnya! Saat itu, api kemarahan kembali membara di hatiku. Dengan reflek kuterapkan teknik teriakan khas Taoisme, berteriak lantang: "Enyahlah!"
Baru memulai perjalanan sudah menghadapi krisis seperti ini. Lalu apa lagi yang harus dihadapi selanjutnya? Usai berteriak, dalam hati kubertanya, sama sekali tak menyadari tatapan tajam ikan raksasa di bawah kapal.
