Sekitar sepuluh menit sebelum pukul tiga lewat seperempat siang, stamina fisikku akhirnya pulih sebagian. Aku berdiri dan mendekati peti mati aneh itu.
Xiao Chengqian sudah mundur ke lingkaran beras ketan. Saat mayat bangkit, orang hidup harus menghindar untuk mencegah cedera dalam kekacauan, juga menghindari energi sha mayat yang tiba-tiba mengepul melukai lebih banyak orang.
Hanya aku dan Pak Johnny yang tersisa di dekat peti. Ia menatap peti sambil menghisap rokok, entah berpikir apa. Bunga merah kecil di saku dadanya terlihat begitu mencolok.
"Mengenai aku, justru tertarik pada gambar-gambar berwarna di peti mati itu. Baru sekarang kusadari bahwa gambar-gambar berwarna di peti mati itu sebenarnya bukan lukisan biasa, melainkan totem yang hidup. Tapi totem dewa apa tepatnya, aku tidak tahu. Lagipula Hindu hampir memuja semua dewa-dewi, jumlah dewa yang disembah begitu banyak, kecuali penganut senior mungkin takkan sanggup mengingat semuanya."
"Alasan totem-totem di peti mati ini menarik perhatianku hanyalah karena kurasakan adanya aliran kekuatan spiritual samar di atasnya."
"Ini kekuatan spiritual praktisi sejati, bukan kekuatan zombie..."
"Kau merasakannya?" Asap rokok yang mengepul membuat Pak Johnny menyipitkan mata. Pandangannya dalam, tiba-tiba dia bertanya demikian padaku.
"Hmm, totem berwarna ini... masih ada gelombang kekuatan spiritual samar. Dari tadi merasa heran, bertahun-tahun lamanya, peti mati tidak berubah bentuk, tidak rusak terendam itu sudah biasa, tapi pola di sini hampir tidak pudar... karena ini?" Tanyaku penasaran.
Peti mati di tengah batu terus-menerus memancarkan hawa dingin yang menusuk. Karena terlalu dekat, aku bahkan memakai jaket tambahan. Hanya Pak Johnny yang seolah tak terpengaruh sama sekali. Sambil menunggu bosan begini, lebih baik ngobrol sesuatu. Meski akan membuka peti, pola-pola ini sudah tidak berguna lagi.
"Bahan peti mati ini bukan kayu biasa, melainkan terbuat dari kayu khusus yang sangat berharga, tahu? Kayu Suram..." Pak Johnny berbisik pelan.
Kayu Suram?! Itu memang sangat berharga, nilainya setara dengan cendana kualitas tertinggi. Kayu ini merupakan bahan premium untuk peti mati, bahkan kaisar pun belum tentu mampu membelinya. Tapi sebagai penganut Taoisme, aku belum pernah dengar Kayu Suram punya efek penangkal zombie. Untuk menyegel Pathel sampai harus semewah ini?
"Kayu Suram ini dibawa oleh Li. Kayu Suram mentah tentu tidak ada gunanya, tapi setelah diproses dan dipersembahkan, hasilnya sangat berbeda! Tahukah kenapa? Secara alami Kayu Suram adalah kayu terkokalisasi yang mudah menyerap berbagai aura dan energi! Inilah keunikan yang tak dimiliki kayu lain. Sebelum menyegel Pathel, kayu ini tidak hanya diproses oleh Li, tapi juga dipersembahkan di kuil tertinggi kami selama enam bulan dengan ritual harian untuk menyambut kekuatan ilahi! Jadi kayu ini telah menyerap energi sakral dan berbagai pengaruh untuk menekan kekuatan Pathel..." Pak Johnny menceritakan asal-usul kayu legendaris ini dengan datar. Namun setelah peti dibuka, kayu ini tak terselamatkan lagi. Sudah terlalu lama mengurung zombie kuat, kayu ini tak layak pakai.
Saat aku masih terkesima dengan kayu peti mati ini, Pak Johnny melanjutkan: "Mengenai warna totem yang tak pudar ini, selain karena kekuatan spiritual yang masih melekat di atasnya belum bubar, tahukah kau bahwa semua totem ini dilukis oleh tangan mereka? Pendeta besar, pendeta tertinggi dalam agama, yang melukis totem dengan darah mereka sendiri dicampur pigmen berharga. Bagaimana mungkin warna itu mudah luntur? Contohnya warna merah muda muda ini, di tengahnya menggunakan emas yang dilarutkan dalam air keras untuk melukis... Alasan kemewahan ini karena totem yang dilukis demikian dapat menyambungkan kekuatan ilahi tertentu ke dalam totem, semakin menekan Pathel."
Aku terdiam memandang peti mati ini. Meski bukan terbuat dari emas, nilainya seratus kali lebih berharga dari peti emas. Fungsinya ternyata hanya untuk menekan Pathel. Sehebat apa Pathel saat itu? Aku teringat kata-katanya: Kekuatan yang diwarisinya membutuhkan tubuh untuk dapat digunakan.
Tiba-tiba aku merasa kemampuan kami mengalahkan roh Pathel seperti mimpi belaka, benar-benar tak wajar.
Ekspresi Pak Johnny tetap tenang, melemparkan puntung rokok yang tersisa, menghembuskan asap terakhir, lalu berkata: "Pertempuran besar tahun itu sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan pertarungan kita ini. Itu... pertarungan tingkat dewa, bukan? Aku selalu berpikir demikian! Yang kami hadapi hanyalah Pathel yang sudah dilemahkan setidaknya sepuluh kali lipat oleh segel, dan serangan spiritual bukanlah keahlian utamanya. Harusnya kita bersyukur, peti mati berharga ini terus-menerus menggunakan kekuatan yang terkandung di dalamnya untuk menggerus kekuatan Pathel. Kalau tidak, mana mungkin kami berani membuka peti dan mengambil kekuatan tersembunyi terkuat di dalamnya - segel Guru leluhurmu?"
"Bukannya untuk memusnahkannya?" Aku tidak berpikir mengambil segel lebih penting daripada memusnahkan Pathel.
"Tentu untuk memusnahkannya! Berbagai kekuatan yang digunakan untuk menekannya hampir habis terkikis. Sekarang saat tubuh aslinya paling lemah. Beberapa hari lagi, ia akan mulai pulih. Sebenarnya ia selalu melakukan ini - mengorbankan begitu banyak nyawa manusia untuk persembahan darah! Li pernah bilang segel harus dibuka. Tanpa membuka segel, mustahil ada kesempatan memusnahkannya sepenuhnya. Mengambil segelmu hanyalah langkah wajib, yang terpenting..." Tatapan Pak Johnny tiba-tiba tertuju ke langit, matanya memancarkan kedalaman tak terduga, "Tapi tetap harus memusnahkannya!"
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, tapi mungkin bisa menebak beberapa pengaturan Guru Leluhur. Segel yang dijaga oleh roh Guru Leluhur tentu merupakan segel terkuat. Namun ketika segel dan kekuatan Pathel saling menggerus hingga kehilangan fungsi, sisa roh Guru Leluhur yang ditinggalkan akan berada dalam bahaya, setiap saat bisa menjadi santapan lezat bagi Pathel yang telah pulih! Meski sisa roh Guru Leluhur sangat hebat, tetap tidak mungkin melebihi Pathel yang telah pulih, mengingat Pathel saat itu hampir memusnahkan talenta komunitas praktisi spiritual India.
Dengan menghitung waktu yang tepat untuk menembus segel, kita bisa sekaligus memusnahkan Pathel dan memungkinkan penerus (keturunan Lao Li) mengambil sisa roh, menuju Pulau Penglai, menghabisi eksistensi terakhir... Ini jelas cara paling menguntungkan. Guru Leluhur benar-benar layaknya dewa, telah menyiapkan jebakan sejak puluhan tahun lalu, menunggu semuanya terwujud satu per satu, mirip situasi di Danau Seribu Hantu.
Memikirkan ini, aku terdiam. Terasa bagi ku bahwa meski dunia fana penuh perubahan, ternyata ada orang yang bisa menembus arus kacau takdir, merancang jebakan yang pasti terwujud - sungguh di luar bayangan. Seiring waktu, semakin banyak pengalaman, semakin aku mengagungkan takdir! Semua yang dilakukan Guru Leluhur membuatku merasa, meski beliau adalah guru leluhurku sendiri, tetap sulit dipercaya...
Melihat aku terdiam, Pak Johnny pun ikut terdiam. Ia melihat jam tangannya, lalu menatap matahari yang tampak samar-samar di langit. Kemudian ia berkata kepada Kak Cheng Qing di dalam lingkaran beras ketan: "Cheng Qing, hitunglah waktu tepat pukul tiga lewat seperempat siang. Mengandalkan jam tangan untuk mengukur waktu Tengah Hari yang presisi tidak bisa diandalkan."
Kuperiksa waktu, tinggal sekitar dua menit lagi. Kutarik napas dalam-dalam, mengambil linggis besi yang tergeletak di samping, lalu kusodorkan satu ke Pak Johnny. Semua persiapan telah rampung.
Menanggapi ucapan Pak Johnny, Kak Cheng Qing mengangguk dan mulai menghitung waktu Tengah Hari yang presisi untuk lokasi ini... Segalanya menjadi hening. Tanganku mencengkeram linggis yang telah kutusukkan ke celah peti mati. Tali tinta yang terikat di atasnya, telah dilepas oleh Xiao Chengqian saat aku beristirahat.
Sinar matahari masih redup, angin sepoi-sepoi membawa gemericik air... Entah mengapa, dalam kesunyian singkat menunggu ini, bulu kudukku tiba-tiba merinding seluruhnya.
"Buka petinya!" Tiba-tiba teriak Kak Cheng Qing.
Aku dan Pak Johnny langsung bertindak tanpa menunda. Waktu Tengah Hari yang sesungguhnya hanya berlangsung kurang dari satu menit!
Kami berteriak serempak, otot lengan mengembang. Dengan sekuat tenaga kami menekan linggis... Akhirnya peti mati Pathel yang telah tersegel bertahun-tahun terbuka.
