"Aku seharusnya menjadi penunjuk jalan yang membawamu ke Penglai... Hanya aku yang tahu lima lokasi sisa roh Li. Syukurlah sudah kuberitahukan. Temukan semua sisa roh Li, maka...kau bisa...pergi ke Penglai, batuk-batuk... Jika kelak bertemu dia, katakan padanya kekuatan Pathel lebih besar dari perkiraannya... Jadi...jadi aku tak bisa...tak bisa...menemani kalian...ke...Penglai..." Inilah pesan terakhir Pak Johnny setelah menyampaikan wasiatnya, sebelum akhirnya pergi.
Aku memeluk mayat Pak Johnny, sebenarnya sangat ingin memberitahunya: Kurasa kau tak perlu merasa bersalah karena tidak menemani kami ke Penglai. Pasti seperti aku, kau hanya merasa sedih dan menyesal tak bisa menemani kami lebih lama lagi. Menikmati hari-hari santai di Kapal Penglai: pagi yang tenang, sore penuh canda tawa, berbagai jenis arak, dan gelak tawa yang membahagiakan... Kau juga ingin hidup seperti itu lebih lama, kan? Hari-hari yang penuh kehangatan!
Memikirkan ini, hatiku sangat pedih... Kebahagiaan dalam hidup manusia selalu singkat, seperti masa kecilmu yang mengalir tenang, malam dimana cahaya bulan tertiup angin menerangi tubuh kami bertiga... Seperti setiap hari di Kapal Penglai... Tapi kebahagiaan akan mengkristal menjadi keabadian dalam ingatan. Itu adalah kekuatan dahsyat yang bisa menjadi harapan dan tujuan hidup di saat sakit hati, karena keinginan untuk mengejar kebahagiaan seperti itu akan mengalahkan rasa sakit saat itu.
Kebahagiaan setiap orang adalah kekuatan dahsyat seperti ini, kekuatan spiritual yang tak boleh diabaikan.
Selalu ingat itu, begitulah nasihat Guruku padaku. Jika lupa cara berbahagia, itu adalah awal kekalahan hati. Manusia bisa kalah oleh berbagai hal, tapi hati tak boleh pernah kalah.
Jadi, Pak Johnny, aku pasti akan selalu mengingatmu. Mengingat setiap hari bahagia yang kita lalui bersama.
Kau juga, saat rohmu sampai di tempat peristirahatan, sebelum memasuki reinkarnasi, tolong ingat setiap hari penuh tawa yang kita bagi.
"Membayangkan ini, aku melepaskan mayat Pak Johnny lalu mengusap air mata dan berdiri. Di belakangku ada rekan-rekanku. Aku memberikan senyuman penghiburan pada setiap mata yang berkaca-kaca - hanya itu yang bisa kulakukan. Dalam perjalanan kami, perubahan mendadak dan hal-hal berliku tak pernah absen..." Aku mengerutkan alis, berkata pada Xiao Chengqian: "Chengqian, gunakan Jurus Petir."
Xiao Chengqian juga mengusap air matanya, menyipitkan mata memandang cakrawala jauh, lalu mengangguk. "Cheng Yi, aku percaya semua penilaianmu," ujarnya singkat.
Usai berkata demikian, Xiao Chengqian mundur beberapa langkah. Kami otomatis berpencar, menanti dia menggunakan Jurus Petir.
Angin menerpa pipiku, mengacak rambut. Tangan masuk kantong, ku tatap langit dalam kesunyian... Awalnya karena terlalu sedih sampai tak menyadari. Semoga belum terlambat.
Semua berdiri di belakangku, sama-sama menanti. Saat ini, setiap orang telah mengeringkan air mata, bersiap menyambut hal baru yang tak terduga. Di kejauhan, titik hitam semakin mendekat - jelas terlihat sebuah helikopter. Sebenarnya tak perlu melihat, deru mesin khasnya sudah terdengar.
"Cheng Yi, kenapa buru-buru menggunakan Jurus Petir?" Kak Cheng Xin mendekat, berdiri di sampingku.
"Saat bertarung, aku sudah merasakan kegelisahan di hati. Saat ini perasaan itu semakin jelas. Memusnahkan sisa roh Kunlun adalah tujuan akhir kami. Kesempatan ini dibayar dengan nyawa Pak Johnny. Sebelum situasi berubah, aku tidak ingin semua sia-sia. Sebagian besar sisa roh telah kami hancurkan. Semoga jurus petir biasa Chengqian bisa memusnahkan sisa terakhir roh Kunlun yang terakhir tersegel di sini." Aku menjelaskan pada Kak Cheng Xin.
"Menurutmu siapa yang akan datang?" Cheng Zhen juga berdiri di sampingku. Setelah Pak Johnny meninggal, aku jelas kembali menjadi tumpuan harapan semua orang. Aku harus menjadi yang pertama memikul lebih banyak beban, termasuk berbagai penilaian dan tebakan yang sangat mereka andalkan dariku, atau lebih tepatnya andalkan indera spiritualku.
"Aku tidak yakin siapa yang datang. Kegelisahan yang begitu kuat... ditambah helikopter, mengingatkanku pada sebuah kenangan dan seseorang. Kenangan yang tidak menyenangkan. Atau mungkin setelah Chengqian selesai menggunakan jurus petir, aku harus bertanya bagaimana dulu mereka bisa menerbangkan helikopter ke Desa Tandus lalu mengambil tumbuhan ungu di dasar air." Setelah berkata demikian, aku mengatupkan bibir dan mengerutkan alis. Di tengah keseriusan, tanpa alasan jelas terasa selapis kesedihan yang tak terucapkan. Dengan penjelasan ini, saudara seperguruanku yang memahami semua tentangku pasti sudah mengerti peristiwa dan orang yang kumaksud.
Ya, Yang Sheng dan kisah tentang kami di Desa Tandus.
Masa-masa membuat orang bertumbuh, di Desa Tandus dulu, itu juga pertemuan pertamaku dengan Xiao Chengqian. Kala itu aku hampir menggunakan Jurus Petir, namun dihentikan oleh gurunya Xiao Chengqian. Saat itu Xiao Chengqian masih kesal kenapa aku bisa menggunakan Jurus Petir, tapi sekarang dia menggunakan jurus itu dengan mudah bahkan sangat cepat!
Awan hitam cepat terkumpul di atas kami. Saat itu, helikopter masih berada pada jarak tertentu meski terus mendekat dan turun perlahan.
Titik-titik hujan mulai jatuh... Helikopter sudah terlihat jelas... Tapi kilat juga mulai menyambar...
‘Gemuruh’, kilatan petir pertama akhirnya menghantam boneka kertas di atas batu. Boneka itu hancur, namun terlihat lapisan cahaya ungu samar membungkus anyaman bambu di bawah kertas... Seperti berusaha melepaskan diri namun tertahan kuat. Saat kilatan emas menyentuh... Cahaya itu meredup sedikit.
Jantungku mulai tenang. Meski efek petir biasa tak terlalu kuat, sisa roh Kunlun sudah sangat lemah - hanya pecahan kecil yang terlepas dari roh Pathel dan menyatu. Dengan tenaga dalam Xiao Chengqian yang menopang Jurus Petir, ini cukup untuk memusnahkannya sepenuhnya.
Petir terus menyambar satu per satu. Begitu Jurus Petir berhasil diaktifkan, kecepatan serangannya sangat tinggi.
Aku tiba-tiba sangat ingin tertawa, maka kubiarkan diriku tersenyum tipis. Lalu kulihat helikopter itu berhenti di permukaan danau - rupanya model amfibi, persiapan yang sangat matang. Senyuman masih melekat di wajahku, karena dari pintu helikopter yang terbuka, kulihat beberapa kenalan lama. Ekspresi wajah mereka yang muram membuatku senang.
Aliran Gunung Salju, Pertemuan Lompat Naga, Empat Kekuatan Besar, generasi muda paling berbakat? Banyak yang datang. Yang kusebut kenalan lama adalah tiga dari mereka: Zhang Han, Zheng Mingyi, dan Yan Chenning... Zhang Han masih berdiri di depan para pemuda, tetap dengan sorot mata bak jenderal besar. Zheng Mingyi masih berpenampilan preman dengan aura ganas. Sedangkan Yan Chenning terus berpura-pura elegan layaknya bangsawan... Satu-satunya kesamaan hanyalah wajah pucat mereka.
Mereka pasti melihat senyumanku yang perlahan mendekati tepi batu. Dalam gemuruh petir dan hujan lebat, wajah mereka semakin suram. Zheng Mingyi yang impulsif sepertinya membentak sesuatu ke arahku. Karena deru helikopter, aku tak bisa mendengar. Tapi kulihat setelah Zhang Han meliriknya, dia langsung diam.
Berdiri di pintu kabin helikopter total lima orang. Selain tiga orang yang saya kenal, dua lainnya tidak saya kenal. Kedua orang itu terkesan sangat rendah hati dan asing. Meski berdiri di belakang Zhang Han, mereka tidak menunjukkan sikap hormat padanya. Zhang Han tiba-tiba tersenyum sinis ke arahku, wajah buruknya menjadi sedikit lebih tenang. Kemudian dia membawa generasi muda ini berbalik dan kembali ke kabin. Tak lama kemudian, sebuah perahu kecil dilempar keluar dari kabin helikopter dan jatuh di permukaan kolam dalam.
Kemudian, lima orang dari generasi muda itu melompat ke perahu. Di belakang mereka diikuti dua orang tua. Selain mereka, ada seorang berjas hujan dengan topi tertutup rapat, mengenakan masker dan kacamata hitam yang terlihat sangat misterius. Dia juga menarik seseorang yang lebih misterius lagi, seluruh tubuhnya terbungkus jubah.
Saat orang-orang lain muncul, saya sama sekali tidak peduli. Tapi ketika melihat siluet itu, jantungku mulai berdebar kencang sekaligus merasa sesak seperti dicengkeram sesuatu.
Meski dengan penyamaran seperti ini... Dari siluetnya, saya masih bisa mengenali bahwa ini adalah Yang Sheng.
Dari gua rahasia di dasar Tianchi Gunung Changbai sampai sekarang, seharusnya ini adalah pertarungan langsung kedua kami. Dia seperti anjing pemburu yang lincah - di mana ada peninggalan Kunlun, di situ pasti ada bayangannya.
Dibandingkan yang lain, Yang Sheng terlihat sangat rendah hati, hanya diam-diam menyilangkan tangan di dada, duduk di buritan kapal. Tapi aku bisa merasakan rasa hormat dan keengganan mereka padanya. Aku tidak bersuara, pandanganku tertuju pada Yang Sheng. Berapa banyak yang telah dia rampas? Kali ini... Aku melirik Xiao Chengqian. Jurus Petir sudah mencapai tahap akhir, lapisan cahaya ungu itu hampir tak terlihat lagi.
Dulu alasan interupsiku terhenti karena petir belum turun. Tapi begitu petir menyambar, bahkan dewa pun tak bisa menghentikannya. Ini adalah tantangan bagi Dewata. Bisakah kau menghalangi petir yang hendak diturunkan Dewata? Jika kau benar-benar punya kemampuan melawan takdir, tak perlu menginterupsi Jurus Petir sekalipun.
Tapi jelas mereka tak punya keahlian sehebat itu!
Mereka tak berdaya. Kehancuran roh Kunlun adalah takdir yang tak terelakkan.
Konfrontasi bisu pun dimulai... Sekelompok mereka melawan sekelompok kami... Perahu kecil itu segera merapat ke batu keras, sementara helikopter itu mulai perlahan terbang menjauh.
Mereka mulai memanjat batu... Kami pun tak menghentikan. Itu kekanak-kanakan!
Sudah sampai di sini, tinggal menghadapinya, bukan?
