Menghadapi senyuman tulus Lin Jianguo yang sudah dinilainya sangat tinggi, Liu Erye tentu tak mau menunda. Setelah menyungging senyuman paling bersahabat, dia mendekat dan jongkok di samping Lin Jianguo.
Posisi ini memiliki makna khusus, berjarak sekitar satu hingga dua meter dari Lin Jianguo yang sedang jongkok di depan pintu makan mi. Jarak ini tidak terkesan menjaga jarak, namun juga tidak terlalu dekat dengan pondok berburu di belakangnya yang gelap gulita karena tidak dinyalakan lentera minyak. Itulah tabu Lin Jianguo.
Orang lain tidak tahu tabu ini, tapi Paman Kedua Liu mengetahuinya. Siapapun yang mendekati pondok berburu Lin Jianguo, pasti akan melihat raut tidak senang di wajahnya. Beberapa kali warga kota kecamatan yang tidak tahu masuk ke pondok Lin Jianguo, Paman Kedua Liu selalu menyaksikan Lin Jianguo mempertahankan ketenangan dengan wajah muram, sambil mengepal tinju yang terus gemetar halus.
Detail ini tak sengaja diperhatikan Paman Kedua Liu. Setelah pandangan Paman Kedua Liu menyapu, Lin Jianguo seolah menyadari lalu menyelipkan tinjunya ke dalam saku celana.
Sebenarnya pondok berburu Lin Jianguo kosong melompong. Pondok yang transparan ini bisa menyembunyikan apa? Paman Kedua Liu yang awalnya tidak tahu juga pernah masuk, yakin tidak ada apa-apa di dalam. Tapi entah mengapa Lin Jianguo bisa begitu tegang dan bahkan antipati!
"Paman Kedua Liu memiliki pikiran-pikiran kecil sendiri, atau bisa disebut 'kelicikan' khas rakyat jelata. Setelah menemukan hal ini, dia tidak memberitahu siapa pun, hanya menyimpannya dalam hati. Dia menganggap dirinya sebagai orang yang paling memahami Lin Jianguo di kota kecamatan, sekaligus yang paling dekat hubungannya... Dia tidak ingin orang lain mengetahui ini, terutama beberapa pihak yang juga tahu, lalu menjadi lebih dekat dengan Lin Jianguo daripada dirinya."
"Paman Kedua Liu tidak punya niat jahat khusus. Dia hanya berharap suatu hari nanti ketika ajalnya tiba, Lin Jianguo bisa mengurus pemakamannya secara langsung. Semakin ahli seseorang, semakin bisa membuat roh tenang dan terbebas. Meski kini anti takhayul, konsep ini masih mengakar kuat di hati rakyat jelata."
"Lin Jianguo rendah hati... Paman Kedua Liu berpikir, banyak orang dekat dengannya. Mungkin dia tidak akan mengabulkan permohonan ini. Kalau sudah mengurus pemakamanku, masak nanti tidak mau mengurus orang lain? Orang Tiongkok punya konsep hutang budi. Begitu dimulai, ini tak akan ada ujungnya."
"Tapi kalau hubungannya spesial denganku, mungkin masih ada alasan untuk menolak yang lain."
"Inilah satu-satunya perhitungan kecil Paman Kedua Liu. Memikirkan ini, tatapannya pada Lin Jianguo semakin ramah. Melihat mangkok mi pedas minyak goreng Lin Jianguo sudah hampir habis, dia segera menggulung sebatang rokok lintingan dan menyodorkannya."
"Ngemil sebatang setelah makan, mantap. Ayo." Paman Kedua Liu menunjukkan perhatian yang berlebihan.
Lin Jianguo tersenyum polos tanpa menolak, meletakkan mangkoknya berkata: "Paman Kedua, sudah makan? Aku buatkan semangkok? Mi ini enak sekali."
Paman Kedua Liu menelan air liur. Meski warga kota kecamatan, menyantap semangkok mi pedas minyak panas tetap dianggap mewah, apalagi dia harus menghidupi seluruh keluarga. Siapa bisa sesantun Lin Jianguo yang pekerja di departemen pengangkutan kayu?
Tapi mana boleh merepotkan orang? Jangan sampai kesan baiknya rusak karena hal sepele. Paman Kedua Liu tersenyum manis sambil melambaikan tangan: "Sudah kenyang. Istriku memanggang roti kering tadi malam. Ayo merokok, aku cuma ingin mengobrol sebentar. Tak mengganggu kan?"
Lin Jianguo menyalakan rokok lintingan yang diberikan sang paman. Setelah menghisap dua kali, ia menggelengkan kepala sambil tersenyum polos. Sebenarnya di sakunya ada rokok kemasan yang lebih bagus, tapi ia selalu menerima kebaikan Paman Kedua. Rindu akan seseorang yang mau mendengarkannya.
Di bawah cahaya bulan, di samping pondok reyot... Dua siluet yang berjongkok terasa lebih hangat daripada satu bayangan yang menyendiri.
Di era tanpa hiburan, orang-orang selalu tidur lebih awal. Setelah mengobrol tentang berbagai hal, Paman Kedua Liu pamit pada jam yang biasa seperti hari-hari lainnya. Lin Jianguo menatap punggung Paman Kedua Liu dengan pandangan yang dalam, entah apa yang dipikirkannya. Ia menghela napas perlahan lalu bangkit masuk ke dalam rumah.
Pondok reyot itu diterangi cahaya bulan yang menyelinap melalui celah-celah, mengurangi kesan kegelapan. Dengan memanfaatkan sinar bulan yang lemah dan dingin itu, Lin Jianguo meraba-raba mencari lentera minyak, menggesek korek api untuk menyalakannya.
Cahaya kuning lentera minyak yang menyala akhirnya menambah secercah kehangatan pada pondok yang sunyi ini. Biasanya dalam situasi seperti ini, seseorang akan merasa tenang dan melepas semua kewaspadaan. Namun nyatanya, cahaya itu justru menyoroti wajah Lin Jianguo yang dipenuhi rasa sakit dan ketakutan.
Ia menengadah melihat celah di atap pondok, memperkirakan waktu berdasarkan posisi bulan. Dengan tangan gemetar tidak terkendali, ia mengeluarkan sebungkus rokok lintingan dari saku bajunya. Meraba-raba tembakaunya, ia menggulungnya dengan kertas putih yang disediakan. Menyalakannya dengan nyala lentera, ia menghirup dalam-dalam. Ketakutan di wajahnya mulai memudar, tapi kesakitan masih tertinggal.
Sudah bertahun-tahun berlalu, anak itu pasti sudah besar. Apakah sudah saatnya membawa istri dan anak keluar? Anak seusia 7-8 tahun ini sudah mengerti, seharusnya tidak akan bicara sembarangan lagi. Jika terlambat... jika terlambat seperti diriku yang keluar pun tak ada artinya lagi, tak boleh melewati halangan usia 9... Ekspresi kesakitan Lin Jianguo semakin dalam.
Hanya menyusahkan ayah dan ibu... Nasib apa yang akan menimpa mereka? Lin Jianguo tiba-tiba menundukkan kepala, tangannya mencengkram rambut dengan sakit hati, suara terisak-isak rendah keluar dari mulutnya seperti binatang buas yang terluka.
Bulan sabit yang dingin dan sepi itu semakin tinggi. Lin Jianguo yang awalnya tergeletak di meja reyok sambil terisak-isak, tiba-tiba merasakan koneksi khusus. Tubuhnya tegang seketika, bahkan air mata dan ingus yang mengotori wajahnya pun tak sempat diusap. Ia bangkit seperti kesurupan iblis.
Ekspresinya berubah total. Raut takut dan sakit hati menghilang, digantikan wajah tanpa emsi dengan tatapan kosong yang mekanis. Tubuhnya bergerak kaku mengikuti ekspresi wajah, mendekati kang* satu-satunya di pondok berburu. Dalam cahaya lentera minyak yang remang, ia berjongkok dengan gerakan robotis.
Gambar ini terlihat begitu Aneh dan Mengerikan, tercampur dengan nuansa horor di dalamnya... Cahaya lentera minyak yang bergoyang-goyang, cahaya bulan yang dingin dan sepi, seorang pria dengan ekspresi datar yang bergerak secara mekanis... Perlu diketahui, bahkan ekspresi kesakitan yang penuh penderitaan dan isakan seperti binatang buas pun masih termasuk dalam emosi manusia yang hidup, tidak seperti ini... Saat ini, Lin Jianguo seperti... keberadaan yang tak bisa dijelaskan.
Dia mengulurkan kedua tangannya, meraba-raba memasuki lubang kang* (tempat tidur pemanas). Karena belum masuk musim dingin, lubang ini dipenuhi tumpukan abu kang* yang hitam pekat. Tangannya mengais-ngais dalam abu itu dengan gerakan sangat terampil. Kurang dari dua menit, sebuah bungkusan yang dibungkus rapi berhasil dikeluarkan dari tumpukan abu tebal itu.
Kain yang membungkusnya adalah jenis kain bunga desa yang khas, terlihat sangat tipis namun kokoh – jenis kain mewah yang biasanya digunakan untuk membuat selimut pernikahan. Setelah mengeluarkan bungkusan kain bunga ini, senyum mengerikan tiba-tiba muncul di wajah Lin Jianguo yang sebelumnya mati rasa dan kosong. Senyuman yang tiba-tiba muncul di wajah seperti ini akan membuat siapapun yang melihatnya kaget setengah mati, lalu memilih buru-buru berpamitan dan pergi.
Tapi di pondok berburu yang sepi ini, tak ada yang melihat senyuman Lin Jianguo, juga tak ada yang bisa memahami bahwa senyuman tipis di wajahnya menyiratkan ketenangan hati yang tak terduga. Dengan membawa bungkusan itu, ia kembali ke depan meja. Ekspresi kosong dan mati rasa di wajaknya sempat menunjukkan secercah ketakutan, sebelum tiba-tiba kembali ke ekspresi aneh dan mengerikan. Dengan gerakan cepat, ia membuka bungkusan tersebut.
Di dalam tas jaring bermotif bunga itu, tersembul sebuah patung. Berbeda dengan patung dewa yang biasa dipersembahkan di seluruh Tanah Tiongkok, bahkan Hantu Gunung sekalipun tak akan menimbulkan rasa takut. Saat dibuka, patung dalam bungkusan ini benar-benar memancarkan aura mengerikan yang langsung menyeruak ke dalam pandangan Lin Jianguo.
Patung itu berbentuk tengkorak, tapi bukan tengkorak manusia. Ini adalah patung tengkorak hybrida antara kepala ikan dan manusia - sebuah patung tengkorak aneh berwarna hitam yang terlihat hidup. Ekspresinya mengerikan, mulut yang menganga memperlihatkan gigi-gigi tajam. Di balik kelopak mata hitam yang kosong, seolah ada tatapan dingin yang mengawasi Lin Jianguo di hadapannya.
Yang lebih mengerikan bukan hanya itu, melainkan bercak-bercak darah yang menempel di tulang belulang tersebut. Lin Jianguo memandang patung tengkorak itu sejenak, lalu dengan tangan gemetar mengangkat patung tersebut dan membawanya ke sudut ruangan.
Di sudut tembok itu, terpampang sebuah papan kayu yang kosong tanpa hiasan apapun, namun tidak terlalu mencolok... Lin Jianguo meletakkan patung tengkorak di atas papan tersebut, lalu bersujud dengan khidmat. Ia mulai melakukan tiga kali sujud dan sembilan kali ketukan kepala sambil bersenandung sebuah lagu aneh yang meliuk-liuk dan menyedihkan, mirip musik latar film horor.
Setelah semua ritual selesai, Lin Jianguo menyobek pakaiannya dengan kasar. Di bagian perutnya terlihat luka-luka yang berantakan, bekas baru dan lama yang bertumpuk, membuat siapapun yang melihatnya merinding.
Namun Lin Jianguo seperti tidak merasakan apapun. Ia mengeluarkan pisau kecil yang tajam dari ikat pinggangnya, lalu tanpa ragu menggoreskannya ke perutnya...
