"Harus bagaimana lagi? Tidak ada yang mau mendekati gubuk kayu reyot itu... Biarkan menunggu penanganan atasan? Kalau bisa menemukan keluarga ya dicari, kalau tidak ya dikubur di tempat yang layak. Cuma kali ini kejadiannya agak menyeramkan." Niu Dazhuang masih tampak trauma.
“Paman Kedua Liu baru hendak mengatakan sesuatu, tapi sudah diinterupsi oleh wakil kepala. Dia melambaikan tangan sambil berkata: 'Hmm, memanggilmu untuk menceritakan hal ini secara detail adalah untuk memberitahumu bahwa ini hanyalah kasus biasa penemuan mayat terapung. Karena kejadiannya malam itu dan kamu sedang dalam keadaan terkejut, sehingga menimbulkan pengaruh buruk. Makanya kami perlu menanyakan detail kejadiannya. Tentu saja, kami punya alasan mengatakan ini. Paman Liu ini... di kota kecamatan memang mengerti sedikit, batuk, bagaimana ya... hal-hal warisan leluhur. Dia bisa menilai masalah ini. Memanggilnya hari ini adalah untuk mendengar pendapatnya, agar kamu bisa tenang.'"
Setelah mengucapkan itu, wakil kepala menghindari tatapan orang banyak sambil memberikan kode mata keras-keras ke Paman Kedua Liu. Sebenarnya Paman Liu tidak rela, menurutnya membujuk Niu Dazhuang seperti ini justru merugikan orang lain. Tapi akhirnya tetap berkata dengan terpaksa: "Batuk, begini ceritanya. Teluk putar itu mudah mengumpulkan sedikit energi Yin, soalnya banyak orang mati di sana. Kalau kamu kerja siang-malam, mudah terpengaruh. Kamu ini kan sudah kena pengaruh, jadi timbul halusinasi. Lihat, orang lain kan baik-baik saja? Nggak ada masalah besar. Pulang istirahat beberapa hari, pasti sembuh."
"Jadi, jangan sebarkan cerita ini ke mana-mana, ngerti? Tahun baru sebentar lagi, jangan bikin suasana jadi tidak enak! Kita harus percaya pada Ilmu Pengetahuan. Suatu hari nanti ilmu pengetahuan juga bisa menjelaskan apa itu energi Yin, ngerti?" Wakil kepala berkata dengan wajah serius.
"Niu Dazhuang yang tak berpendidikan, setelah di'ombang-ambingkan' oleh kedua orang ini, akhirnya benar-benar percaya. Ekspresi wajahnya pun mulai mengendur."
Hanya saja Paman Kedua Liu sudah menetapkan suatu tekad dalam hatinya, saat itu juga memilih untuk tidak berbicara lagi.
Setelah selesai diinterogasi, Niu Dazhuang keluar dari kantor. Begitu langkahnya menghilang, Paman Kedua Liu tahu yang tersisa di kantor hanyalah 'orang dalam'. Barulah ia meletakkan cangkir tehnya, memukul-mukul betis, dan berseru: "Ini bahaya! Kenapa kalian berani meninggalkan mayat itu sendirian semalaman?!"
"Ada apa?" Begitu ucapan Paman Kedua Liu meluncur, yang pertama bereaksi bukanlah wakil kepala, melainkan sang kepala sendiri. Ia terlihat begitu emosional sampai-sampai 'bangkit' berdiri seketika.
"Mayat itu ditemukan tengah malam kemarin (bukan pakai hitungan pukul 12, murni sistem siang-malam biasa). Sampai pagi ini, adakah yang mendekati gubuk reyot itu?" Paman Kedua Liu bertanya dengan ekspresi wajah serius.
"Belum. Siapa yang mau mendekati tempat itu tanpa alasan?" Sang kepala tampak heran, tapi tetap menjawab dengan sungguh-sungguh.
"Kalau begitu mari kita periksa. Jika tak ada masalah, syukurlah. Tapi jika ada keanehan, beri libur para pekerja. Bilang saja cuti Tahun Baru Imlek dimajukan. Ini benar-benar masalah..." Paman Kedua Liu menghela napas panjang.
※※※
Dari kantor keluar, hari sudah menjelang tengah hari, cuaca berubah menjadi abu-abu timah yang aneh, sementara salju yang tertahan sejak pagi akhirnya turun. Awalnya butiran salju halus ‘plak-plak’ menghujam tubuh orang, tak lama kemudian berubah menjadi salju lebat seperti bulu angsa yang beterbangan.
Saat Tengah Hari, para pekerja sudah pergi ke kantin tak jauh untuk makan, seluruh lokasi proyek terlihat sepi. Sedangkan gubuk kayu reyot tempat mayat disimpan terletak di sudut lokasi proyek, harus menaiki lereng bukit kecil, di tepi teluk yang berkelok.
Rombongan Paman Kedua Liu berjumlah delapan orang: Paman Kedua Liu, ditambah lima pejabat, dua pekerja—tidak ada satupun wanita, semuanya pria. Namun saat melihat gubuk kecil yang terpencil dan menyedihkan di tengah hujan salju, seluruh tubuh mereka merinding.
"Mau ke sana?" Salah seorang pejabat berkacamata mengucapkan kalimat ini.
"Lalu kau tidak mau pergi?" Ekspresi wajah si pemimpin masam, seolah menyuruhnya untuk tidak pergi, namun terdengar seperti kalimat tanya balik.
Pejabat berkacamata itu mungkin tak ingin bermusuhan dengan atasan, diam seribu bahasa. Meski agak takut, akhirnya tetap mengikuti langkah orang banyak!
Yang berjalan paling depan adalah pekerja bernama Wei Dahan, Paman Kedua Liu mengikuti dari belakangnya. Dari melihat gubuk kecil hingga sampai di depannya, rombongan membutuhkan waktu lebih dari sepuluh menit.
Sebenarnya jaraknya tidak sejauh itu? Hanya saja mereka berlambat-lambat sampai di sini, lalu berhenti di tempat yang berjarak 10 meter dari pondok kayu.
"Aku yang akan melihat." Paman Kedua Liu berkata demikian. Bagaimanapun, menerima uang orang berarti harus menanggung masalahnya - ini aturan terpenting yang harus dipatuhi paranormal pengembara di dunia persilatan. Jika tidak, karma akan melilit, konsekuensinya dua kali lebih berat dibanding orang biasa. Paman Kedua Liu tidak berani melanggar aturan ini, jadi seberbahaya apapun harus dilakukan! Seperti Taoist di film yang begitu menerima uang, bahkan harus maju paling depan menghadapi hantu jahat atau zombie. Kalau tidak, dia akan dianggap paranormal palsu tanpa identitas yang tak paham adat.
Salju telah turun hampir setengah jam. Kini di tanah lapang kecil depan pondok kayu telah tertutup lapisan tipis salju, tapi ini tidak terlalu berpengaruh. Beberapa jejak masih belum bisa dihilangkan.
Paman Kedua Liu mengamati dengan cermat di depan halaman. Baru beberapa menit, perasaan ngeri kembali menyergap hatinya. Ia melirik orang-orang lain, akhirnya melambaikan tangan memanggil wakilnya. Meski semuanya orang dalam, hal seperti ini tidak boleh diumbar.
"Ada apa?" Wakilnya mendekati Paman Kedua Liu.
"Perhatikan tanah, ikuti langkahku." Paman Kedua Liu tidak banyak bicara, hanya memberi penjelasan singkat.
Wakil ketua melirik curiga ke arah Paman Kedua Liu, namun akhirnya tetap menundukkan pandangan ke tanah. Pada saat itu, Paman Kedua Liu tepat waktu menunjuk suatu titik di tanah sambil batuk sekali.
Tatapan Wakil ketua secara kebetulan mengikuti arah jari Paman Kedua Liu. Begitu melihatnya, ia spontan berteriak "Ah!", karena di tanah terpampang jelas jejak kaki... lebih tepatnya jejak sepatu wanita! Entah kapan terinjak, terasa agak basah.
“Tahu tidak, ini adalah tanah kuning, agak berpasir. Kalau kaki basah menginjaknya, tanda yang tertinggal akan sangat jelas! Lapisan salju tipis mana bisa menutupi jejak kaki ini?”
Wakil ketua tak berani melihat lagi, juga tak berani mengikuti Paman Kedua Liu. Tapi Paman Kedua Liu adalah orang yang sangat menjunjung 'tugas profesional'. Karena sudah ada pikiran dalam hati, ia merasa harus memberikan penjelasan yang jelas pada pelaku. Dengan tegas ia berjalan dua langkah, menarik lengan wakil ketua, berjalan belasan langkah sampai akhirnya berhenti di depan pintu gubuk reyot.
“Sudah paham?” kata Paman Kedua Liu pada wakil ketua.
Wakil ketua sama sekali tidak melihat jelas apa-apa, hanya merasakan keringat dingin basah kuyup mengucur dari seluruh tubuhnya yang menempel di kulit, sampai-sampai sulit membedakan udara luar panas atau dingin. Tapi karena takut Paman Kedua Liu menariknya berjalan lagi, dia hanya bisa mengeluarkan saputangan sambil mengusap keringat dan berkata: "Sudah paham, lihatnya sudah sangat jelas."
“Paman Kedua Liu menghela napas, menarik Wakil Kepala ke sudut sepi jauh dari pondok kayu. Kedua tangannya terbuka, pasrah berkata: "Aku tak takut kau anggap aku menyebar takhayul kuno. Ini bukan sekadar urusan hantu, tapi mayat hidup, kau tahu? Mayat hidup itu memangsa manusia! Aku hanya pernah baca di buku warisan keluarga. Lebih rumit dari zombie. Tapi baik hantu jahat maupun zombie tak bisa kuhadapi, apalagi makhluk ini. Tak ada jalan lain."”
Wakil Kepala langsung kehilangan akal. Kantor pengelola kayu diatur negara di sini, mungkinkah pindah seenaknya? Pekerja juga tak bisa libur terus-terusan. Haruskah...? Memikirkan ini, Wakil Kepala sadar ini sudah di luar wewenangnya. Dengan tegas ia memanggil Kepala.
Berbeda dengan Wakil Kepala yang bingung, Kepala tampak tenang. Sambil menggigit rokok, ia terdiam sejenak lalu berkata: "Paman Liu, kau benar-benar tak punya cara? Jika ini tak terselesaikan, mungkin harus laporkan ke atasan dan minta pasukan datang."
"Pasukan bisa mengatasi? Kalau dikorbankan nyawa manusia, mungkin." Paman Kedua Liu menggeleng sambil menghela napas.
"Tak usah kau urus itu. Dulu pernah kejadian buruk di kantor pengelola kayu lain. Tapi sekarang mendekati tahun baru, proses pelaporan agak rumit. Bisakah kau cari cara menstabilkan makhluk itu beberapa hari? Prosedur pelaporan butuh waktu." Dibanding Wakil Kepala, Kepala jelas lebih berpikiran jernih.
“Apa lagi yang bisa kulakukan?” Paman Kedua Liu bergumam kesal, tapi Si Stang sepertinya tak berniat melepaskannya. Matanya menyala-nyala menatapnya, seolah ingin memojokkan Paman Kedua Liu sampai menemukan solusi.
Paman Kedua Liu pasrah. Dengan tangan terlipat di punggung, ia mondar-mandir di hamparan salju. Setelah lama merenung, akhirnya ia bersuara lantang: “Taoist yang benar-benar ahli itu orang sakti! Keberadaannya tak bisa dipaksakan! Aku cuma setengah peramal, tak sanggup lawan makhluk ini. Tapi leluhurku dulu belajar Tao bukan tanpa alasan. Masih ada dua lembar Kertas Fu peninggalan mereka, entah bisa menekan ini atau tidak…”
“Hanya ini jalan satu-satunya.” Si Stang menghela napas. Retorika birokrasi sudah tak mempan. Sebagai orang berpengalaman dengan jaringan luas, ia paham betul berbagai kejadian aneh yang pernah didengarnya.
“Jangan! Ini masih berbahaya… Benda-benda negatif harus ditekan dengan energi Yang kuat. Dua jimat saja tak cukup… Kalau sampai merembet ke kota kecamatan, bisa jadi bencana. Kau harus kirim sepuluh pria perkasa untuk berjaga di ruangan ini.” Paman Kedua Liu kembali menghela napas.
Si Stang terdiam… Lama kemudian baru berkata: “Maksimal sepuluh orang. Lebih dari itu, aku tak bisa jamin mulut-mulut usil. Kau tahu… hal-hal tertentu harus dijaga kerahasiaannya. Ini termasuk kategori sensitif.”
“Untuk sementara, lakukan saja seperti ini.” Paman Kedua Liu dan Si Stang segera menyepakati rencana tersebut.
