Mimpi malam itu begitu aneh, bahkan bertahun-tahun kemudian ketika mengingatnya, Paman Kedua Liu masih mengingat jelas pemandangan dalam mimpinya. Ia mewariskan pesan pada keturunannya: "Saat itu aku tak sadar sedang bermimpi, tapi setelah bangun, seiring berjalannya waktu semakin kuyakini bahwa jika saat itu dalam mimpi aku benar-benar didorong masuk ke perahu itu, pasti aku takkan bisa kembali."
“Tapi ini hanya ide Paman Kedua Liu yang teguh namun tak bisa dibuktikan, karena malam itu dia tidak naik ke perahu aneh itu. Dia hanya melihat dalam mimpi, angin kencang menerbangkan sudut tirai tebal yang menutupi kabin perahu. Dari sudut itu, terlihat beberapa pasang kaki wanita bersepatu merah pengantin dan kaki pria bersepatu kain hitam.
Tidak horor, hanya penuh keanehan… Tubuhnya kaku menolak naik, tapi orang di belakang seolah tak sabar mendorong tubuhnya ke perahu. Dia tak berani melawan, karena orang aneh berkulit kebiruan itu berdiri tak jauh… Saat melihat sudut kabin, tubuh Paman Kedua Liu hampir terdorong ke dek… Tiba-tiba terdengar suara memekakkan telinga.
Saat itu, tubuh Paman Kedua Liu di dunia nyata bergetar seperti tersambar petir. Dalam gelap, matanya terbuka lebar. Baru sadar selimut yang menutupi tubuh dan alas tidur di bawahnya sudah basah oleh keringatnya…
“Siapa yang berisik tengah malam begini? Mau mati, ya?” Nenek itu bergumam sambil membalikkan badan, membawa angin dingin ke dalam selimut sebelum tertidur lagi. Gerakan kecil inilah yang membuat Paman Kedua Liu benar-benar tersadar, merasakan secercah napas kehidupan.
Dalam mimpi tadi, selain perempuan bergaun merah dengan kulit kebiruan yang horor, semua orang dalam mimpi itu memancarkan kesuraman dan kematian yang mencekam... Entah mengapa, nuansa warna dalam mimpi itu begitu sarat dengan keputusasaan...
Liu Erye nyaris menangis, tiba-tiba merasakan betapa berharganya hidup. Dengan reflek ia bangkit dari tempat tidur, menyampirkan pakaian, lalu meraba-raba untuk menyalakan lentera minyak...
Saat itu hatinya dipenuhi ketakutan, tapi nalurinya mengatakan mustahil ada kebetulan sempurna: persis di momen krusial dalam mimpinya, suara ledakan keras dari gang luar rumah membangunkannya. Ia merasa wajib memeriksa sumber suara itu!
"Pasti maksudnya baik. Kalau tidak, dalam mimpi aku sudah didorong masuk perahu..." Liu Erye menghibur diri sambil menyalakan lentera. Cahaya kuning keemasan menerangi seluruh ruangan.
Si nenek di tempat tidur kembali memaki, mungkin marah karena lentera dinyalakan tengah malam. Syukurnya ia tidak terbangun dan kembali tidur. Liu Erye yang sedang bingung cari alasan lega, namun tiba-tiba wajahnya pucat pasi dan keringat dingin membasahi dahinya.
Karena umpatan tak sengaja dari nenek itu, matanya melirik ke arah kang*. Dalam pergeseran pandangannya, ia terkejut menemukan dua jejak kaki di lantai samping kang*... Di luar turun salju, jejak kaki itu seperti bekas sepatu yang menginjak lumpur salju, lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan jejak... Ukuran jejak kaki itu tidak besar, jelas merupakan jejak kaki perempuan, dan jejak ini terasa sangat familiar. Bukankah itu jejak kaki perempuan yang ia lihat siang tadi?
Ini tidak boleh dibiarkan! Paman Kedua Liu bahkan tidak berani membayangkan, saat ia tertidur pulas, sesosok mayat aneh telah berdiri di samping kang*-nya... Hanya dengan sedikit memikirkan hal itu, Paman Kedua Liu merasa dirinya hampir mati ketakutan di dalam ruangan ini.
Saat itu, pintu gerbang halaman bergemuruh suara berat. Paman Kedua Liu yang sudah nyaris gila ketakutan langsung berlari ke halaman tanpa pikir panjang. Setelah bertahun-tahun menjadi 'Taoist', Paman Kedua Liu masih memiliki sedikit intuisi. Seperti refleknya bangun tadi ingin menyelidiki luar rumah, ia tidak merasakan bahaya. Orang biasa dalam situasi seperti ini, meski dipukuli pun takkan berani keluar.
"Orang di luar itu bisa menyelamatkanku." Begitulah pikiran Paman Kedua Liu.
Maka setelah masuk ke halaman, hampir tanpa berpikir ia membuka pintu gerbangnya. Lalu ia melihat sesosok siluet duduk di depan pintu halamannya. Dalam cahaya remang dari dalam rumah, sosok itu menoleh ke arahnya dengan wajah yang sangat kotor.
Pada saat itu, jantung Liu Erye hampir melompat keluar dari dada. Meski mempercayai intuisinya, mustahil mengatakan sama sekali tidak takut. Namun ketika melihat sosok di pintu itu dengan jelas, yang tersisa hanyalah keraguan dalam hatinya.
Bagaimana mungkin dia? Gousheng si pengungsi yang datang ke kota kecamatan ini?
"Gou..." Liu Erye ragu-ragu membuka mulut. Baru satu kata terucap, ia merasa memanggil "Gousheng" tak lagi pantas. Dalam hatinya, Gousheng telah disamakan dengan orang sakti. Sejak kecil ia suka mendengar cerita ayahnya tentang ahli Tao yang misterius, hidup bebas dengan penyamaran seperti pengemis atau petani tua.
"Tak apa, aku cuma lelah bersandar di depan rumahmu... Rumahmu sudah aman, tidurlah dengan tenang. Aku harus ke Dinas Pengangkutan Kayu." Sebelum Liu Erye sempat bicara, Gousheng sudah berdiri. Wajahnya kumal menyembunyikan kelelahan, namun senyumnya mengandung kontradiksi - acuh tak acuh tapi sarat beban.
Mendengar Dinas Pengangkutan Kayu, hati Liu Erye kembali berat. Mayat itu... Haruskah ia mengingatkan Gousheng? Tapi bagaimana jika dia sudah tahu? Bukankah peringatannya akan jadi bahan tertawaan?
Di tengah keraguan, Gousheng'er mengusap wajahnya lalu bersiap pergi. Namun di ujung gang, terdengar suara langkah kaki berdesakan disertai cahaya senter berbintik-bintik.
Paman Kedua Liu belum sempat melihat jelas, cahaya senter sudah menyorot tubuhnya. Gousheng'er di sampingnya mundur refleks... Dengan cahaya senter itu, Paman Kedua Liu mengenali Erbashou yang datang. Belum sempat bicara, suara panik Erbashou sudah masuk ke telinganya: "Benar-benar terjadi masalah..."
Meskipun dari jejak kaki di ruangan, Paman Kedua Liu sudah mengantisipasi masalah di bagian logistik kayu, tubuhnya tetap kaku mendengar kabar itu. Bagaimanapun juga, masalah ada tingkatannya - sebesar apa yang terjadi?
Tiba-tiba Gousheng'er yang mundur di belakang Paman Kedua Liu menghela napas, melangkah maju...
※※※
Malam bersalju. Cahaya senter menerangi tanah lapang di depan gubuk kayu reyot. Perapian yang hampir padam kembali diberi kayu bakar, menyala lagi.
Mayat Wei Dahan terbaring di depan perapian. Keluarganya belum diberi kabar karena sulit menjelaskan kondisi kematiannya yang tidak wajar.
Ini lebih baik dibanding sebelumnya. Sebelumnya, mayatnya tergeletak di depan pintu gubuk reyot, mata membelalak. Ekspresi wajahnya menunjukkan ketakutan ekstrem, namun disertai senyum tipis yang mengerikan. Garis-garis darah mengalir dari tujuh lubang di kepalanya.
Tubuh bagian atas tak berpakaian, namun di punggung dan pinggang terdapat cap tangan berwarna ungu-hitam. Ukuran cap tangan itu kecil, jelas merupakan cap tangan perempuan... Dia tergeletak di depan pintu dengan satu tangan terulur, seolah ingin mencengkeram sesuatu.
Yang lebih mengerikan, Wei Dahan yang semasa hidupnya adalah pria kuat berotot kencang, saat mayatnya ditemukan otot-ototnya telah menyusut. Seluruh tubuhnya mengecil satu ukuran. Tak ada yang tahu penyebabnya? Bahkan tak seorang pun berani mendekati mayat Wei Dahan atau gubuk reyot itu.
Jumlah yang datang tidak banyak. Selain beberapa penjaga malam, hanya pimpinan utama dan wakil yang mengetahui kasus ini. Di belakang mereka mengikuti Paman Kedua Liu, dan di belakang Paman Kedua Liu ada Gousheng'er.
Masalah ini tidak boleh dibocorkan. Kedatangan segelintir orang ini sudah merupakan batas maksimal.
Awalnya wakil pimpinan tidak setuju dengan keikutsertaan Gousheng'er. Tanpa banyak bicara, Gousheng'er bisa ikut 'pasukan besar' ini berkat keteguhan Paman Kedua Liu.
Saat tak ada yang berani mendekati gubuk reyot, justru Gousheng'er yang maju. Dengan ekspresi acuh tak acuh, dia melangkah mantap menuju gubuk itu...
"Jangan..." Mengingat tragedi mengerikan tadi, salah satu pekerja penjaga malam tak bisa menahan teriakan.
Tapi Gousheng'er seolah tak mendengar, terus berjalan maju. Wakil pemimpin menatap Liu Paman Kedua yang menggigit gigi berkata: "Biarkan dia pergi. Selain dia, mungkin tak ada lagi di kota kecamatan ini yang sanggup menangani ini."
Maka, tanpa kejutan apapun, orang-orang menyaksikan Gousheng'er membawa mayat Wei Dahan kembali ke depan perapian. Mereka juga melihatnya masuk ke pondok kayu, mengambil pakaian yang pernah dikenakan Wei Dahan semasa hidup, lalu mengenakannya dengan cermat pada mayat itu.
Semua menyaksikan proses ini dalam keheningan, hanya Gousheng'er yang berkomentar: "Yang mati harus dihormati. Tak pantas pergi ke bawah tanah dengan pakaian berantakan. Ini sedikit yang bisa kulakukan untuknya."
Tak ada yang berani menyahut, masih terpaku oleh wujud mengerikan mayat Wei Dahan. Bahkan setelah Gousheng'er menyelesaikan semuanya, keheningan masih menyelimuti...
Beberapa saat kemudian, terciptalah pemandangan tadi. Mereka bingung bagaimana memberitahu keluarga Wei Dahan, karena meski mayatnya sudah berpakaian rapi, anggota tubuhnya normal, dan matanya telah ditutup Gousheng'er, aura mistisnya tetap ada.
Pertama, senyuman itu masih melekat tak hilang. Kedua, seluruh mayat perlahan berubah warna menjadi kehitaman pucat, seolah terkena racun.
“Mayat kalian mau diapakan, aku tidak peduli dan tidak bisa ikut campur. Tapi pergilah kalian semua. Malam ini, aku akan tinggal di gubuk kayu ini... Hanya dua hal yang perlu kukatakan. Pertama, rahasiakan kejadian ini secara ketat. Kedua, jangan ada yang mendekati area ini dalam radius dua li. Kalau tidak, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi.” Dalam keheningan, Gou Sheng'er mulai berbicara dengan nada tak sabar.
“Kau... Kau mau tinggal di gubuk reot ini?” Paman Kedua Liu tak kuasa menanggapi.
“Memang kenapa? Mau kubuat kota kecamatan ini banjir darah?” Gou Sheng'er berjalan menuju gubuk itu tanpa memberikan penjelasan, tak sekali pun menoleh.
Di bawah sorotan senter, Paman Kedua Liu memberanikan diri menyinari gubuk. Ia terkejut melihat bagian dalam gubuk itu kosong... Tiba-tiba ia teringat sepasang jejak kaki di rumahnya.
“Ia...” Paman Kedua Liu buru-buru membuka mulut.
“Akan kembali.” Gou Sheng'er tetap tak menoleh, seolah membaca pikiran Paman Kedua Liu. Empat kata itu telah merangkum semua jawaban.
