Mata Ketiga telah menyertaiku sejak lahir. Pembukaannya pertama kali terjadi tanpa sengaja saat aku menginap di rumpun bambu usia 6 tahun... Kini, bertahun-tahun kemudian, kemampuan ini pun berkembang seiring pertumbuhan kekuatan jiwaku. Mata Ketiga pun memiliki tingkatan tersendiri.
Mata Ketigaku sekarang bahkan tanpa ritual khusus pun bisa melihat aliran energi sebuah kota kecamatan. Inilah keunggulanku dibanding guruku dulu. Dulu, untuk melihat aliran energi desa kecil kami, guru harus membuka altar dan menginjak langkah ritual...
Manusia memiliki aura kehidupan. Dari suara langkah kaki yang bertebaran, banyak penduduk kota ini seharusnya bergerak menuju satu arah. Dengan Mata Ketiga, cukup kulihat arah aliran aura kehidupan untuk menemukan tujuan perjalananku.
Dengan niat ini, kubuka Mata Ketiga lebar-lebar. Dunia kembali buram seperti biasa, namun aliran udara menjadi jelas. Berbagai makhluk tersembunyi di kegelapan pun menampakkan wujud di mataku.
Aku sudah cukup terbiasa dengan dunia Mata Ketiga, tapi 'realitas' kota kecamatan ini membuat alisku langsung mengerut sekilas pandang.
Dari lereng bukit tadi, kurasakan aura kematian menyelimuti kota ini. Kini baru kusadari ada satu titik di dalam kota yang memancarkan aura kemerosotan dahsyat. Bukan aura kematian biasa, melainkan energi keruntuhan. Jika energi ini benar-benar mendominasi aura seluruh kota, tempat ini akan berubah menjadi wilayah tak berpenghuni tanpa harapan.
Saat ini energi kemerosotan sudah mendominasi. Bahkan energi Yin yang menyelimuti kota pun tak luput dari campuran aura keruntuhan ini.
Dan di setiap tempat yang dihuni manusia, yang memiliki warisan sejarah tertentu dan terbukti layak untuk hunian, pasti terdapat aliran Qi tertentu. Yang terbaik tentu saja aliran Qi Naga yang termasyhur, di bawah Mata Ketiga terlihat warna keemasan kehijauan penuh vitalitas. Kini aliran Qi kota kecamatan ini telah dipenuhi oleh aura kematian, bisa dibilang nyaris punah, menciptakan pemandangan yang mengerikan.
Tentu saja, yang membuatku berkerut bukan hanya itu. Aku menemukan bahwa sumber aura kematian ternyata juga merupakan sumber energi Yin. Tempat apakah itu? Setelah kurenungkan, pastilah area lengkung dalam besar yang kulihat di lereng bukit itu. Kuhela napas pelan, area lengkung dalam itu adalah teluk sungai Huanghe, artinya lokasi bekas pusat pengangkutan kayu... Jangan-jangan mayat laki-laki tahun itu belum terselesaikan?
Kupandang dengan dingin gang sempit ini. Di lorong yang hanya 20-30 meter ini, berkeliaran lebih dari dua puluh roh penasaran dan hantu. Inilah alasan utama kerut dahiku. Semula kukira tak mungkin ada begitu banyak roh penasaran, karena kami bertiga adalah orang asing di kota ini - kupikir makhluk misterius di halaman itu sengaja membawa beberapa roh dendam untuk menekan kami... Ternyata salah. Tak perlu membawa apa-apa, tempat ini sudah penuh dengan mereka.
Sebuah kota kecamatan tempat manusia bertahan hidup, saat malam tiba, energi Yin memenuhi udara, hantu-hantu berkeliaran di mana-mana. Bagaimana orang-orang di sini bisa bertahan? Dari sudut pandang lain, tempat ini pada dasarnya telah menjadi kota hantu!
Arah aliran aura kehidupan sama sekali tidak perlu kurasakan secara khusus, karena terlalu jelas - semuanya mengalir menuju tempat yang dipenuhi aura kematian dan energi Yin: lokasi pengangkutan kayu...
Saat aku merenung sebentar, seorang roh yang mati penasaran melewatiku. Tatapannya kosong namun ekspresinya beringas. Ia menatapku, menyeringai ke arahku, lalu tanpa sadar melayang pergi ke tempat lain... Tentu saja aku tidak takut, namun berhadapan muka dengan hantu dari jarak sedekat itu tetap bukan hal yang menyenangkan.
Dalam keheningan, kuikenakan jubah hitam di tubuhku. Kutunggukkan kepala dan melanjutkan perjalanan di gang ini. Kini, labirin jalan kecil kota kecamatan bukan lagi penghalang. Dengan mengikuti arah aura, aku akan sampai di lokasi pengangkutan kayu itu.
'Sekilas pandang' dengan hantu tadi telah membuatku yakin pada satu fakta: mereka benar-benar arwah penasaran tanpa kemampuan berpikir. Ke mana perginya roh penting mereka? Bukan karena Tiga Roh mereka cacat, kalau tidak bentuk mereka tidak akan terjaga dan akan berubah menjadi seperti kepala hantu. Lalu roh mana yang cacat? Di manakah roh itu sekarang?
Yang lebih membuatku heran adalah, hantu tadi mengenakan pakaian khas barat laut Tiongkok: baju kutung putih berkancing depan, celana kain abu-abu, diikat dengan sabuk pinggang, dan kepala dibungkus kain penutup berbentuk perut domba... Tapi apakah zaman itu sudah tergolong lama?
Sambil berpikir demikian, seekor hantu lain bersinggungan denganku. Hantu ini memakai setelan Zhongshan biru tua kehijauan dari kain kasar—bukan yang berpotongan rapi—pakaian yang umum di era 50-60an hingga 70an.
Aku menekan bibir, berdiam diri. Teka-teki yang bertumpuk membuatku sama sekali tak mendapat petunjuk. Di saat itulah, aku bertemu manusia pertama yang sesungguhnya.
Sama-sama mengenakan jubah hitam, ia melintas tanpa suara dari belakangku. Langkahnya tergesa menikung sudut gang tempatku berdiri lalu menghilang... Jika bukan karena kondisi Mata Ketiga yang bisa melihat aura kehidupan khas manusia, hampir saja kukira ini pun seharusnya hantu. Aku heran bagaimana orang berjubah ini bisa melangkah tanpa suara, dan mengapa manusia saling bersikap dingin—bahkan tak ada percakapan saat berpapasan?
Di setiap jubahnya terdapat topi besar yang menutupi wajah. Tak bisa kulihat wajah di balik jubah itu. Tapi tak berkomunikasi pun lebih baik, menghindarkan banyak masalah bagiku.
Demikianlah, sepanjang jalan aku sengaja memperlambat langkah menuju tempat pengangkutan kayu. Aku tidak berani menyusul pasukan besar, bahkan takut jika ada yang tertinggal di belakangku. Jika tiba paling akhir, aku masih bisa mengamati dari tempat tersembunyi. Tapi jika ada orang di belakangku yang menemukanku, konsekuensinya akan sangat serius...
Bisa dikatakan, aku bisa menghadapi ratusan hantu jahat, tapi bagaimana mungkin aku menghadapi ratusan orang? Haruskah kubunuh semuanya?
Dengan berlambat-lambat seperti ini, merasakan aura kehidupan yang mengalir di kota kecamatan hampir seluruhnya berkumpul di tempat pengangkutan kayu, barulah aku mempercepat langkah menuju sana. Saat ini, waktu Mengunci energi Yang sudah lewat belasan menit. Sepanjang jalan aku bertemu tidak kurang dari seratus roh dendam, hatiku dipenuhi kesedihan. Keberadaan mereka mewakili nyawa manusia - berkeliaran di Dunia Manusia dalam kondisi seperti ini, hampir pasti bukan kematian yang wajar.
Tubuh semakin membeku. Saat ini aku mengejek diri sendiri bahwa suhu tubuhku hampir tidak berbeda dengan mayat. Akhirnya tempat pengangkutan kayu itu muncul di hadapanku.
Tebakanku tepat. Di sini, pintu besi besar yang dulunya milik pabrik masih berdiri kokoh. Karat yang mengelupas, tulisan buram di pintu menunjukkan usianya yang sudah sangat tua... Tampaknya tempat pengangkutan kayu ini sudah tutup sejak lama.
Pintu gerbang tidak tertutup rapat, melainkan terbuka selebar celah yang cukup untuk dua orang melewatinya. Di balik pintu yang gelap gulita itu, tak terlihat secercah cahaya pun. Namun tanpa ragu, aku melangkah masuk. Saat ini, di bawah penglihatan Mata Ketiga, kurasakan semua aura kehidupan terkumpul di satu titik. Tapi yang membuatku gemetar ketakutan adalah, ada sesuatu lain di sana yang bahkan Mata Ketiga-ku tak mampu melihatnya dengan jelas!
Seluruh area pengangkutan kayu dipenuhi bau busuk menyengat. Lapangan yang dulunya berisi peralatan kini hanya dipenuhi semak liar, tersisa kayu-kayu lapuk yang berserakan tak beraturan. Beberapa di antaranya bahkan sudah ditumbuhi jamur abu-abu pucat. Tapi kondisi ini justru memudahkanku untuk bersembunyi di balik tumpukan kayu busuk yang berantakan itu.
Pada titik ini, kuperlambat langkah dan berusaha menenangkan diri. Entah karena terlalu gugup, aku masih bisa mendengar suara gesek-gesek sepatuku menginjak rerumputan kering.
Tapi tak ada yang memperhatikanku. Mereka semua berkumpul di sebuah lereng bukit kecil. Dari kejauhan, cahaya api yang terang sudah terlihat jelas. Kerumunan orang itu mengelilingi sesuatu, tapi entah apa yang sedang mereka lakukan.
Mendekat atau tetap mengamati dari sini? Aku dilanda kebingungan. Tanganku mulai gemetar ringan. Jika tetap di sini, mustahil aku tahu aktivitas mereka. Tapi lereng bukit gundul itu sama sekali tidak menyediakan tempat persembunyian yang layak.
Apa harus kembali dengan tangan hampa? Jelas aku tak rela! Menatap jubah hitam yang melekat di tubuhku, kukerat gigi dan memutuskan untuk mengambil risiko.
Setelah keputusan ini dibuat, aku tidak membiarkan diri berpikir lebih jauh... Langkah dipercepat, berlari kencang menuju lereng bukit di sebelah sana... Aku takut jika ragu, keberanian untuk menyelidiki akan hilang! Tapi simpul Suo Yang masih belum berani kubuka, dengan jubah yang menutupi, orang-orang mungkin tidak mengenaliku, tapi para roh dendam itu belum tentu... Bagaimanapun tadi mereka tidak menyerang warga kota kecamatan, pasti ada cara khusus untuk dikenali?
Banyak pikiran berkecamuk di hatiku, lereng bukit milik Dinas Pengangkutan Kayu ini sudah di depan mata... Hanya ada satu jalan kecil menuju atas, sementara semua orang berkumpul di lereng landai di puncak... Masih belum ada yang memperhatikan keberadaanku di kaki gunung, karena mereka sudah mulai melompat-lompat secara aneh, seperti tarian primitif manusia purba, tapi tanpa dentuman drum yang menggugah, melompat-lompat dalam kesunyian yang mengerikan, hanya suara gesek-gesek langkah kaki.
Sekarang tenggorokanku kering karena gugup, tangan gemetar ringan... Tapi sudah sampai di sini, mana mungkin ada jalan mundur. Dengan tegas kutetapkan mata, berjalan menuju lereng landai di puncak gunung!
