Sejujurnya, selain matahari yang samar dan kepergian ayahnya, Liu Weijun merasa semua terasa biasa saja hari itu.
Ketika Ibu yang matanya merah mengantarkan mi panas kepadanya, perasaan berdebar di dada tanpa alasan jelas saat bangun pagi sudah hilang. Seolah hari-hari kembali seperti dulu, Ayah juga akan pulang sepuluh hari lagi. Mengapa dia tidak merasakan beban apapun yang harus ditanggung?
Kota kecamatan perlahan mulai ramai. Pekerja yang berangkat pagi, anak-anak sekolah, aroma sarapan yang berkeliaran di udara... Setelah menghabiskan makannya, Liu Weijun meletakkan mangkok dan sengaja pergi ke Departemen Pengangkutan Kayu.
Tempat yang semalam masih dipenuhi ketegangan dan horor tanpa alasan jelas, kini kembali mendidih dengan keramaian aktivitas kerja. Liu Weijun menjadi linglung, apakah semua yang terjadi semalam hanyalah mimpi?
Waktu terus mengalir. Liu Weijun berkeliaran di sekitar kota kecamatan, namun menemukan semuanya normal sampai tidak bisa lebih normal lagi. Bahkan rutinitas harian orang-orang sama sekali tidak berubah. Begitulah hingga malam tiba.
Liu Weijun ingat hari itu. Dia sudah benar-benar mengendurkan perasaannya. Saat kejadian terjadi, dia sedang menemani Ibu yang merebus air sambil menghiburnya, lalu bersiap untuk mencuci kaki.
Adegan biasa seperti ini, yang percaya sedang terjadi di ratusan rumah di kota kecamatan saat itu, tiba-tiba terputus oleh teriakan melengking yang tiba-tiba.
"Teriakan itu begitu mencekam, tanpa alasan jelas melintasi langit malam. Karena jarak, Liu Weijun saat itu belum mendengarnya. Namun teriakan itu bagai sumbu yang menyala, menyebar dan meledakkan bom. Kota kecamatan mulai tidak tenang dari suatu sudut, lalu merambat. Semakin banyak keributan bermunculan di kota yang awalnya tenang ini..."
"Apa? Kok aku merasa di luar agak rame ya?" Rasa tenang Liu Weijun sebenarnya tidak tulus. Telinganya tajam, sehingga mendengar suara keributan samar-samar.
"Lho, aku tidak dengar apa-apa?" Ibu Liu Weijun memandanginya dengan heran. Maklum orang tua, pendengarannya sudah kurang tajam.
Ini menjadi percakapan terakhir Liu Weijun sebelum ketenangan itu pecah. Percakapan mereka kemudian terpotong oleh ketukan keras yang tiba-tiba datang dari halaman.
Entah mengapa, mendengar ketukan itu, hati Liu Weijun berdebar kencang. Ibu pun tampak gelisah. Mengingat dirinya satu-satunya pria di rumah, dan nasihat Ayah semalam agar ia tumbuh menjadi pria sejati, Liu Weijun memaksakan senyuman menghibur untuk ibunya, lalu berpura-pura tenang pergi membuka pintu.
Dari dapur ke pintu gerbang halaman hanya beberapa langkah. Namun diiringi ketukan yang makin keras, langkah Liu Weijun menjadi gontai. Saat tiba di pintu, hampir-hampir ia harus mengumpulkan keberanian untuk menarik gagang pintu.
“Apakah Paman Kedua Liu ada?” Begitu pintu terbuka, Liu Weijun belum sempat melihat jelas siapa tamu itu, sudah mendengar suara terengah-engah yang sangat mendesak.
Baru kemudian Liu Weijun mengenali tamu tersebut. Itu adalah seorang pekerja dari Departemen Pengangkutan Kayu, asli warga kota kecamatan ini sehingga tinggal di sini. Tapi hubungannya dengan ayahku sebenarnya tidak dekat. Liu Weijun sangat heran mengapa orang ini tiba-tiba datang mencari ayahnya dengan tergesa-gesa di waktu seperti ini.
Hampir secara refleks, Liu Weijun menjawab: "Ayahku tidak ada. Beliau baru akan kembali sepuluh hari lagi."
Mendengar itu, wajah tamu itu langsung menunjukkan ekspresi kecewa. Dia malah terdiam kaku di depan pintu dengan wajah panik seperti tak tahu harus berbuat apa. Melihat ekspresi tamu itu, perasaan Liu Weijun ikut menjadi tegang. Setelah menelan air liur, dengan mengumpulkan keberanian sesuai nasihat ayah kemarin, akhirnya dia berkata: "Sebenarnya kau bisa..."
Tapi sebelum kalimatnya selesai, pekerja itu tiba-tiba berseru dengan suara yang penuh pencerahan: "Oh iya! Bisa cari Lin Jianguo! Orang itu sulit didekati, tapi ayahmu punya hubungan baik dengannya. Kau juga kenal dia, kan?"
"Paman Lin juga tidak ada. Dia pergi bersama ayahku, baru kembali sepuluh hari lagi." Liu Weijun tak tahu mengapa merasa bersalah, tapi rasa penasarannya sudah tak tertahan. Sebelum si pekerja sempat kecewa lagi, dia buru-buru bertanya: "Apa yang sebenarnya terjadi? Katakanlah padaku, setidaknya..."
Dia tidak bisa berbuat apa-apa, lagipula dirinya sendiri tidak punya keahlian khusus. Pasukan sepertinya sudah pergi begadang sejak semalam, Paman Lin dan ayah tidak ada. Seluruh kota kecamatan seperti kehilangan semua sandaran. Saat itu, Liu Weijun tiba-tiba merasakan bahunya terasa sangat berat.
"Masih ingat Wei Donglai? Wei Donglai yang mati di Departemen Pengangkutan Kayu, dia kembali." Suara pekerja itu menjadi lesu, panik, tapi tetap memberi jawaban pada Liu Weijun. Sambil berbicara dia kembali menghela napas, berkata: "Ini bukan rahasia lagi, tadi banyak orang di kota melihatnya, banyak yang ketakutan... Sekarang dia sedang pulang ke rumahnya sendiri."
Wei Donglai sebenarnya juga orang asli kota kecamatan ini.
Mendengar kabar ini, Liu Weijun tertegun. Mengingat raut wajah serius Paman Lin dan ayah kemarin, bagaimana mungkin orang yang sudah mati sekian lama tiba-tiba kembali ke kota ini hari ini?
"Apa kau merasa sangat terkejut?" Sampai di sini, Paman Weijun menatapku dengan raut wajah yang luar biasa tenang. Mungkin setelah bertahan bertahun-tahun di kota ini, saat mengingat peristiwa masa lalu, dia sudah bisa menghadapinya dengan tenang.
Aku memang terkejut, tapi tidak terlalu terkejut. Lagipula sebelumnya sudah ada persiapan mental. Di masyarakat modern, fenomena pura-pura mati juga sudah banyak terjadi. Alasan di baliknya tidak perlu ditelusuri terlalu jauh, mengingat sudah terlalu banyak versi yang beredar di masyarakat. Selama tidak mempengaruhi masyarakat nyata, itu adalah karma pribadi. Para profesional juga tidak perlu ikut campur. Ini hampir seperti sikap yang sudah disepakati dalam komunitas kami.
“Bisa dibilang, aturan tak tertulis yang diterima umum ini juga berhasil meredam keterkejutanku. Tapi hal ini sama sekali tidak boleh dipikirkan terlalu dalam. Orang yang sudah mati sekian lama hidup kembali, selain aspek horor dan kejutan dari peristiwa itu sendiri, pasti ada rahasia besar yang terlibat di baliknya... Seharusnya, mayat itu juga sudah membusuk kan?”
Aku menarik napas dalam untuk menenangkan perasaan, lalu berkata dengan tenang yang dipaksakan: "Memang tertegun, tapi lebih penasaran. Kenapa pekerja itu langsung mencari Paman?"
"Sederhana saja. Dia adalah salah satu dari sepuluh Penjaga Malam saat itu. Sedikit banyak tahu rahasia dalam."
"Lalu? Apakah Paman akhirnya bertemu Wei Donglai?" Rasa ingin tahuku membara.
"Bertemu. Malam itu..." Paman Weijun mulai menceritakan peristiwa masa lalu.
Malam itu setelah mendengar ucapan si pekerja, Liu Weijun awalnya ketakutan. Namun rasa takutnya segera tenggelam oleh rasa ingin tahu. Mengingat di kota kecamatan ini banyak penduduk termasuk paman-paman dan tante-tante yang melihatnya besar, semua kenalan dekat, hal ini memberinya rasa aman. Muncul keinginan kuat untuk melihat langsung mayat yang hidup kembali... Pikiran ini begitu menguasainya sampai lupa akan pesan ayah: apapun yang terjadi di kota kecamatan, jangan ikut campur.
"Aku akan pergi melihat. Nanti bisa kusampaikan ke Paman Lin dan Ayah." Liu Weijun mengarang alasan konyol. Tapi si pekerja tidak menolak. Sebenarnya tidak perlu ditolak, karena cepat atau lambat pasti akan terlihat juga.
"Ibu, aku mau keluar sebentar, ada hal penting yang diperintahkan Ayah." Liu Weijun memberi alasan seperti itu pada ibunya, lalu tanpa menunggu jawaban sang ibu, dia bersama pekerja itu langsung berlari menghilang dalam gelapnya malam.
Di sebuah kota kecamatan yang relatif tertutup, penyebaran informasi tentang suatu peristiwa terjadi dengan kecepatan yang sungguh tak wajar, meski saat itu sama sekali tidak ada sarana komunikasi modern.
Ketika Liu Weijun dan pekerja itu tiba di rumah Wei Donglai, bangunan itu sudah dikepung berlapis-lapis oleh kerumunan tak terhitung. Banyak wajah-wajah familiar terlihat di antara mereka.
Rumah Wei Donglai adalah gedung kecil tepi jalan tanpa halaman. Dengan kerumunan berdesakan sedemikian rapat, tubuh remaja Liu Weijun yang kurus kesulitan menerobos kerumunan. Dia pun tak bisa melihat apakah benar Wei Donglai telah hidup kembali.
Melihat menembus kerumunan, Liu Weijun juga menyadari pintu gerbang rumah Wei Donglai terkunci rapat, seolah pemilik rumah tak ingin menerima tamu yang berkerumun ini.
Namun persoalan hidup-mati adalah masalah terbesar umat manusia. Kebangkitan dari kematian merupakan godaan terhebat. Meski pintu terkunci, massa tetap enggan bubar. Bahkan beberapa orang yang emosional mulai mengetuk-ngetuk pintu rumah Wei Donglai, membuat situasi hampir tak terkendali.
Menyaksikan kericuhan ini, hati Liu Weijun tiba-tiba dipenuhi kecemasan. Intuisinya mengatakan sesuatu akan terjadi. Persis di saat itu, atap datar gedung dua lantai milik keluarga Liu tiba-tiba menyala. Cahaya lampu yang muncul mendadak itu menyilaukan mata.
Liu Weijun dengan reflek menengadah, ternyata keluarga Wei Donglai yang membawa dua lentera naik ke atas. Mereka juga menempatkan beberapa lentera minyak di atap. Di antara mereka, ada sebuah siluet yang di tengah malam ini, terlihat neurotik mengangkat obor.
Pada detik itu, Liu Weijun sempat linglung. Ia jelas-jelas melihat sosok yang mengangkat obor itu adalah Wei Donglai sendiri.
Apakah itu orang yang hidup kembali dari kematian? Selain wajahnya yang lebih pucat, penampilannya persis seperti semasa hidup—bentuk wajah, raut muka, tinggi pendek gemuk kurus semuanya sama... Ini pasti bukan hasil kamuflase orang lain, kan?
Entah mengapa, Liu Weijun selalu merasa setelah kehadiran Wei Donglai, udara dipenuhi bau aneh. Tidak sampai menjijikkan, tapi sangat menyengat. Seperti memasuki rumah tua yang bertahun-tahun tak berpenghuni. Ya, seperti bau busuk.
"Aku tahu kalian sulit menerima aku sebagai Wei Donglai. Tapi selama ini aku tinggal di kota kecamatan ini, banyak tetangga yang mengenalku! Banyak peristiwa terjadi. Jika kalian ingin membuktikan apakah aku Wei Donglai, silakan buktikan." Setelah Wei Donglai mengucapkan ini, kerumunan sejenak terdiam.
Dalam sorotan cahaya api, tiba-tiba Wei Donglai tersenyum. Senyuman itu membuat hati Liu Weijun merinding. Namun Wei Donglai tak menyadarinya, malah melanjutkan dengan nada menggoda: "Alasan aku mau membuktikan identitasku adalah—karena ada rahasia besar yang akan kusampaikan."
