Dengan air mataku yang deras mengalir, para pelaksana upacara persembahan berjalan membawa obor melewati depan kami.
Di balik kaca mata yang berkabut air mata, barulah kusadari bahwa yang dikorbankan adalah seorang nenek. Mungkin sebutan "nenek" tak pantas, karena dalam ingatanku selama beberapa hari ini, aku pernah mengobrol dengannya. Ia bercerita usianya 49 tahun, sudah siap mental kapan saja menghadapi maut, asalkan suami dan dua anaknya di luar kota kecamatan tetap selamat. Katanya, demi mereka, ia rela melakukan apa pun.
"Dulu kami berdebat siapa yang akan tinggal. Kubilang aku saja. Tapi suamiku bersikukuh dirinya yang tinggal. Akhirnya kuberi tahu, sebagai pria, lebih mudah bertahan hidup di luar kota. Meski harus kerja keras, bisa memberi kehidupan lebih baik untuk anak-anak. Makanya dia yang pergi, aku yang menetap." Saat mengucapkan ini, raut wajahnya tenang. Kulihat kilatan kebahagiaan dalam sorot matanya.
Kuingat di hari pertama kami merampas banyak makanan. Dengan kedua tangan menangkup mangkok, ia tersenyum sambil berbisik: "Siang ini kita bisa kenyang. Senang sekali."
Ini hanyalah seorang wanita yang bersinggungan denganku selama beberapa hari, bahkan seorang yang sedikit bicara dan cenderung hening. Kini tubuhnya terburai perut terbagi di atas nampan, air mataku tak kunjung berhenti. Semakin kuingat kembali momen-momen singkat pertemuan kami, semakin tersedu-sedu tenggorokanku.
Bukan hanya aku yang menangis. Seluruh rombongan kami tahu keberadaan orang-orang malang ini. Kini "penyerahan diri" palsu mereka, pengorbanan jiwa mereka, semata untuk memberi kami kesempatan, meyakini kami mampu menghadirkan cahaya.
Kugigit punggung tanganku, menahan perih yang tak tertahankan. Tapi aku harus menghargai niat tulus mereka. Aku harus bertahan.
Angin berhembus dari tepi Sungai Kuning. Orang-orang berjubah itu telah melintas di hadapan kami. Kusingkirkan air mata dengan kasar, lalu bangkit menyusup ke barisan mereka dengan gerakan lembut namun cepat. Rekan-rekanku pun meniru, karena dalam selubung malam dan jubah, mereka takkan menengok ke belakang. Menyusup ternyata lebih mudah dari perkiraan.
Sampai di tepi sungai, barisan berhenti. Nampan-nampan diletakkan di tepi. Para pengusungnya mulai melantunkan doa persembahan aneh, perlahan menghamburkan sisa-sisa wanita malang itu. Arus sungai menjawab dengan deburan kecil. Ruyue yang berdiri di sampingku tiba-tiba limbung. Kudengar bisiknya: "Andai suami dan anak lelakinya tahu, betapa sedihnya..."
Saat itu, air mataku sudah tak lagi mengalir, hanya tangan terkepal erat dalam kemarahan. Kuku yang keras menusuk telapak tanganku hingga perih, seolah rasa sakit di hati yang sedemikian berat ini baru bisa sedikit mereda.
Saat persembahan dilemparkan, suara gembira yang samar mulai mengeras. Kerumunan mulai mendidih, mungkin karena kali ini yang dipersembahkan adalah beberapa 'orang keras kepala'. Perasaan orang-orang ini terlihat sangat bersemangat, sorak-sorai bahkan lebih riuh daripada upacara besar yang pernah kusaksikan sebelumnya. Tentang apa yang baru saja mereka tebarkan, mungkin mereka sama sekali tak pernah mempedulikannya.
Suara gembira semakin dekat, akhirnya suara perahu membelah air mulai terdengar samar. Orang-orang yang berada di puncak kegembiraan mulai berjubel bersujud. Semua anggota rombongan kami secara reflektif menatapku.
Semalaman kuperhatikan malam tanpa bulan ini. Terkadang dibandingkan beban kehidupan, beberapa hal mungkin sudah ringan seperti bulu angsa... Diam-diam aku bersujud. Asalkan bisa memasuki desa suci itu, menghancurkan sumber malapetaka, membalas budi sekumpulan orang yang patut dikasihani ini, apa artinya bersujud? Dalam hatiku, yang kusujudi hanyalah batasan diri mereka yang tetap mempertahankan kemanusiaan.
Begitu aku bersujud, seluruh rombongan kami pun ikut merebahkan diri. Kami dan orang-orang yang jatuh itu terhampar bagikan hamparan hitam yang menyatu.
Penanggung jawab utama upacara persembahan masih Wei Donglai. Seiring perahu yang semakin mendekat, suara hebohnya yang penuh sanjungan dan semangat kembali terdengar. Aku tidak tertarik mendengar ucapannya, hanya tahu dia sedang memuji 'kemenangan mulia' dan menjelaskan keistimewaan persembahan kali ini.
Begitu Wei Donglai selesai berbicara panjang lebar, perahu pun telah merapat ke dermaga.
Benar saja tidak ada perahu misterius yang muncul. Yang datang hanyalah dua perahu kecil pengangkut manusia seperti dulu, masih dengan dekorasi sama: hiasan bunga merah meriah yang tampak di tepian.
Kedua perahu masing-masing memiliki juru mudi. Penampilan mereka tak berbeda dengan yang muncul sebelumnya - mengenakan pakaian khas barat laut yang sudah usang, bertopi bambu, menunggu dengan tenang.
Angin semakin kencang saat itu. Beberapa orang tua yang diikat untuk dibawa ke Desa Suci mulai didorong maju oleh beberapa orang, semakin mendekati Perahu Suci. Dalam hati aku menghitung 123, lalu tiba-tiba melonjak sambil berteriak: "Sekarang juga!"
Tebing sungai yang tidak rata dipenuhi batu kecil tajam yang melukai telapak kakiku. Angin menerpa wajah, jubah hitamku tertiup tinggi. Namun semua ini tak mengurangi kecepatanku. Saat ini mataku hanya tertuju pada perahu penyambutan bernuansa mistis itu.
Karena kecepatan kami yang luar biasa, orang-orang yang sedang bersujud tak sempat menyadari apa terjadi. Baru setelah kami berlari lebih dari 10 meter, beberapa mulai mengangkat kepala.
Kecepatan luar biasa membuat kami melompati orang-orang tua yang didorong maju. Meski datang dua perahu, sesuai rencana kami mustahil tercerai-berai. Ke tempat misterius yang tak dikenal ini, lebih baik tetap berkumpul rapat. Maka Huigen dan Tao Bai yang berada di depan langsung melompat ke perahu pertama.
Alasan demikian karena kami sama sekali tak paham apa sesungguhnya "utusan" itu. Tapi selama memiliki wujud fisik materi, mengirim orang terkuat pasti tak salah. Ini demi memastikan bisa mengendalikan sang utusan seketika, membuatnya mengantar kami ke Desa Suci.
“Ah!” Tao Bai dan Huigen mengaum seperti harimau, menerjang ke arah utusan itu. Utusan yang sebelumnya terlihat bagai patung menghadapi segala perubahan tiba-tiba mengeluarkan suara geram yang tidak mirip manusia, lebih menyerupai gemuruh Wei Donglai, lalu menyambut serangan Huigen dan Tao Bai dengan gerakan serupa.
Anehnya, utusan di perahu lain sama sekali tidak bereaksi. Masih menunggu orang-orang mengantar beberapa orang tua naik ke perahunya.
Tak ada waktu bagiku untuk heran mengapa utusan perahu itu bersikap demikian. Saat ini orang-orang telah sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi. Terhadap sikap kami yang dianggap tidak sopan kepada utusan, mereka marah sekali seolah-olah kami telah menghina leluhur mereka.
Untuk menghindari kerumunan yang mengamuk ini menghantuiku, kami semua hampir tanpa pertimbangan melompat ke perahu kecil yang goyang karena pertarungan trio.
Dek kapal tidak terlalu luas. Dengan banyaknya orang yang berdiri di atasnya, kapal berisiko terbalik. Maka kami pun satu per satu masuk ke kabin. Aku yang bertugas mengendalikan dan mengawasi utusan ini tidak ikut masuk, tapi tak tinggal diam. Dengan tegas kuambil tongkat pendayung, kusentuhkan tepian sungai perlahan. Seketika perahu yang goyang itu mulai bergerak menjauh dari tepian.
Wei Donglai di tepian berteriak marah. Apa yang diteriakkan tak kuhiraukan. Tapi saat sibuk mengarahkan perahu, kudengar jelas Xiao Chengqian yang pertama masuk kabin dan Huigen yang sedang bertarung dengan si utusan serentak mengumpat kasar.
Tirai kabin disibak Xiao Chengqian. Tatapannya tampak setengah sadar. Dengan memaksakan diri ia berkata: "Cheng Yi, jangan masuk! Ada sesuatu di sini yang bikin orang linglung. Kak Cheng Xin sampai TERKENA ILMU!" Tiba-tiba tubuhnya ambruk ke belakang dengan suara 'bruk'. Tirai pun tertutup kembali.
Sebelum sempat khawatir pada Xiao Chengqian, kulihat jubah utusan itu tersingkap. Akhirnya terlihatlah 'wajah asli'-nya. Sekilas pandang pertama, hatiku spontan bergumam: "Goblok!"
Ini wajah paling tidak manusiawi yang pernah kulihat. Tak kusangka di balik jubah dan topi bambu yang longgar, tersembunyi wajah semacam ini. Jika harus dijelaskan, satu kalimat cukup tepat: seperti penderita anoreksia stadium akhir.
“Dia sama sekali tidak berbentuk manusia. Kulit keringnya melekat erat di tulang, terlihat seperti tengkorak yang dibungkus kulit manusia! Tapi melihat pertarungannya dengan Huigen dan Tao Bai, tenaganya justru luar biasa besar. Bagaimana tubuh seperti ini bisa memiliki daya hidup sedemikian kuat?”
Hanya bisa dikatakan kelompok 'vampir' ini!
Saat aku melamun, perahu semakin menjauh. Sang utusan yang bahkan bertarung dalam keheningan tiba-tiba berbicara dengan suara serak berdekah-dekah: "Jika kalian ingin pergi, silakan. Tidak ada artinya berkelahi. Jangan halangi aku mendayung."
Huigen dan Tao Bai memandangnya dengan tak percaya, lalu menoleh ke arahku.
Aku berkata: "Kalau begitu lepaskan dia." Ini murni mengandalkan intuisi. Menurutku perkataannya tulus.
Dengan ragu-ragu, Huigen dan Tao Bai melepaskan sang utusan. Dengan wajah datar, dia memungut topi bambu dan mengenakannya kembali, lalu mulai mendayung: "Masuklah semua, atau tidak mungkin kuajak kalian. Ini melanggar adat."
"Tidak, aku harus tetap di haluan kapal." Aku bersikeras.
"Terserah kau." Sang utusan bersikap dingin bagai tak punya perasaan manusia.
Demikianlah kami mulai memasuki Desa Suci dengan perahu yang terombang-ambing ini.
