Lidahku beku. Sejenak terlintas pikiran: Jika persaingan ini berarti segalanya baginya, bukankah lebih baik kusengaja kalah saat tahu lawanku adalah dia?
Jika ini sudah menjadi obsesinya.
Dalam keheninganku, Lin Chen tiba-tiba menatapku tajam: "Kau berpikir: 'Ah, andai tahu itu aku, lebih baik kau sengaja kalah'?"
Sebenarnya dalam hal strategi, mungkin dua Chen Cheng Yi pun tak bisa menyaingi satu Lin Chen. Kemampuannya melihat hati orang jauh lebih hebat dariku... Dia tumbuh di lingkungan itu, menghadapi organisasi milik Xiao Da Shao yang seperti warisan keluarga, sebagai 'orang luar', bisa mencapai posisi ini, mungkin ini sudah menjadi insting bertahan hidupnya.
Aku tak bisa bicara, dan menyangkal hal ini sekarang bagi kami berdua sebenarnya adalah ucapan yang sangat kekanak-kanakan.
Tapi Lin Chen sepertinya benar-benar ingin meminta jawaban dariku, aku hanya bisa memilih kejujuran, lalu berkata dengan serius: "Mungkin, yang membedakan kita adalah aku tidak peduli dengan ini."
Lin Chen terlihat agak heboh, tapi seketika kembali tenang. Masih dengan tangan terlipat di punggung yang membuat posturnya terlihat lebih tegap. Dia tertawa kecil, tapi dibandingkan tadi, senyuman kali ini terasa lebih pahit. Kemudian dia melanjutkan: "Kau pasti bukan meremehkanku, kau memang benar-benar tidak peduli. Jika dalam sebuah kelompok atau sekte, posisimu tidak perlu ditegakkan melalui kemenangan demi kemenangan atau urusan yang ditangani dengan sempurna, yang dibutuhkan hanya ikatan emosional yang langgeng, lalu untuk apa kau peduli menang atau kalah? Manusia itu jahat karena mengabaikan yang sudah dimiliki, menganggap yang tak tercapai sebagai paling penting... Aku orang seperti itu, coba tebak, apakah aku menyesal?"
Ekspresinya membuat hatiku ikut pahit. Hanya karena kami memiliki satu kesamaan: wanita yang pernah kami cintai itu berasal dari desa yang sama. Sama-sama jejaknya sulit dilacak. Bedanya, aku masih punya secercah harapan, sedangkan Lin Chen setelah mendapat kata 'sudahlah' itu, benar-benar putus asa.
“Jangan dipikirkan lagi, orang itu sudah tiada, takdir berkumpul dan berpisah tidak ditentukan manusia... Guruku pernah berkata, jika memang ada takdir, mungkin di persimpangan berikutnya, masih bisa menemani berjalan sebentar lagi, lihatlah lebih jauh.” Aku tak tahu apakah penghiburan ini pucat dan tak berguna, tapi seringkali bagiku ini adalah penghiburan terbaik, meski hanya sekadar hiburan belaka, seperti obat pereda nyeri yang sementara meringankan kesakitan.
Kalimat "Merindukan tapi tak bisa memiliki, menginginkan tapi tak bisa mewujudkan"... Tahun itu ketika Guruku mengucapkannya, seolah sudah sangat jauh berlalu.
“Ya kan?” Lin Chen tidak membenarkan atau menyangkal, ada rasa sakit yang mungkin obat pereda nyeri paling ampuh pun sudah tak mempan. Sebuah "ya kan" membuatnya terdiam lama, seolah sedang bernostalgia, atau sengaja menghindari topik ini.
Sedangkan aku yang perlu kukatakan sudah kusampaikan, tetap dalam keheningan.
Dibanding pertemuan sebelumnya, aku dan dia sudah lebih matang penuh kenangan mengharukan. Nyawa masing-masing berbeda, tapi beberapa tahun mungkin juga seperti samudera... Semua kata-kata sederhana dan keheningan sudah cukup.
Setelah keheningan singkat, Lin Chen berjalan beberapa langkah mendekatiku, berhenti sekitar dua meter di hadapanku.
Dia memintaku keluar, aku yakin jalan Tao yang alami ini pasti bukan sekadar Pertarungan Ilmu biasa. Hubungan kami unik, tidak bisa disebut dendam, tidak bisa disebut menjengkelkan, tidak bisa disebut banyak... Tapi ada secercah saling mendampingi yang samar, jika hanya ingin bertarung ilmu, pasti tak akan memilih cara serumit ini.
“Pergilah kau.” Lin Chen menatapku mengucapkan tiga kata itu, seolah khawatir aku tak paham, dia menambahkan penjelasan: “Maksudku, tinggalkan tempat ini.”
Aku langsung paham maksudnya, entah apa yang kupikirkan, kukatakan juga padanya: “Atau aku tak pergi, tapi kau bantu aku?”
Kalimat itu seakan menyentuh titik lucunya, sudut bibirnya mulai berkerenyit lagi. Ia menatapku berkata: “Menurutmu itu mungkin?”
“Aku tak tahu, tapi aku tak mungkin pergi. Sudah datang ke sini.” Kataku dengan sungguh-sungguh.
“Benar-benar keras kepala! Jika aliran kita mewariskan 10.000 tahun, komentar ini akan tetap relevan selama itu pula.” Ada kemarahan dan kepasrahan di mata Lin Chen, karena tatapanku tenang, bahkan tanpa setitik keteguhan menyatakan kehendak.
“Mungkin. Ini belum tentu penilaian buruk.” Kuserahkan senyum pada Lin Chen. Perasaan bertemu sahabat lama memang unik, dasar kehidupan adalah waktu, harta manusia termulia pun waktu. Jika telah menghabiskan waktu pada seseorang, harus diingat, karena orang itu menjadi bagian dari komposisi hidup.
Senyum tulus penuh kebaikan hati bukan pertanda menyerah. Inilah makna harapan: senyum pertemuan, dendam pun sirna...
“Sudahlah, bicara tak nyambung setengah kalimat pun sudah kebanyakan.” Lin Chen berbalik pergi, melemparkan kalimat dingin: “Kurasa kau ingat jalan pulang. Tak ada bahaya.”
Aku menatap punggungnya, merogoh rokok yang tadi sudah kusiapkan sejak melihatnya. Setelah menyalakan dan menghirupnya, raut wajahku justru terlihat sedikit lega... Mungkin banyak hal yang masih ada harapan. Dengan pikiran itu, aku pun berbalik dan berjalan menuju arah desaku.
Namun belum beberapa langkah, suara Lin Chen tiba-tiba terdengar di belakangku: "Chen Cheng Yi, karena kehilangan Ai Lin, hal-hal yang tak kudapat justru semakin terasa berharga. Kau mengerti? Ketika kita membayar harga dengan kehilangan hal yang paling penting, nilai dari yang tak tercapai pun semakin menguat."
"Hmm." Aku menoleh memandang Lin Chen.
"Tapi ini hanya cara berpikir orang yang tak mengerti penyesalan dan enggan menyesal! Penyesalan adalah perasaan yang seharusnya membimbing masa kini dan masa depan, bukan untuk mengubah masa lalu seperti pemahaman orang kebanyakan. Ini sedikit pencerahanku selama bertahun-tahun. Sayangnya, aku tetap tak mengerti dan tak mau menyesal." Ucapan Lin Chen terdalam sekaligus membingungkan.
Namun aku mengerti. Aku berbalik menghadapnya: "Ini alasanmu untuk tak membantuku? Karena tak rela, kau terus mengejar semua yang kau inginkan, hanya karena kehilangan Ai Lin? Semakin tak mau melepas, benar? Tapi tahukah kau, ini bukan keberanian, tapi kelemahan yang tak berguna. Kau bahkan telah kehilangan kehendakmu sendiri!"
Wajah Lin Chen merah oleh kemarahan: "Kau pikir bisa memahami kehendak asliku? Mungkin inilah kehendak sejatiku?"
Aku tertawa "Hehe" dengan pasrah, terdiam lama sebelum melanjutkan: "Baru itu benar-benar percakapan yang tak nyambung." Kemudian aku berbalik bersiap pergi lagi.
"Tapi, aku masih punya kemampuan untuk membalas budimu. Contohnya... setengah gurumu di Desa Dalam." Lin Chen tiba-tiba mengatakannya padaku.
Setengah guru, di Desa Dalam? Hati ini bergetar dahsyat. Saat itu hampir saja aku tak bisa berdiri. Sebelumnya, semua hanya mengandalkan obsesi dalam pencarian. Kini seolah ada harapan yang mendekat, tapi tak pernah seintens ini - seseorang tiba-tiba memberikanku kabar yang begitu pasti.
Aku masih bengong di tempat. Lin Chen tampak tak buru-buru, memandangiku dengan tenang.
Saat itu, tak bisa kugambarkan perasaanku. Waktu, dimensi, surat yang ditinggalkan, masa depan tak terbatas berhamburan di otak. Bahkan tak kusadari berapa lama waktu berlalu. Saat akhirnya bisa menenangkan diri, kudapati Lin Chen sudah bersandar di lereng rendah, sebatang rokok hampir habis di tangannya.
"Apa maksudmu?" Segala kata yang ingin kusampaikan akhirnya hanya terangkum dalam satu kalimat ini.
"Maksud harfiah. Hanya ini yang bisa kukatakan, Chen Cheng Yi. Sebandung dengan kebajikanmu dulu. Cukup sampai di sini." Lin Chen mematikan rokoknya. Kali ini dia pergi dengan tegas. Siluetnya cepat menghilang di labirin lereng rendah itu.
Dan aku, sekali lagi, dengan lemah... tanpa alasan jelas... menitikkan dua garis air mata. Jika dulu, pastinya sudah menangis tersedu-sedu.
Tinjuku terkepal erat, seolah hanya dengan cara ini aku bisa menekan dorongan heboh yang ingin segera menerobos masuk ke desa dalam yang disebut-sebut itu... Tapi di saat bersamaan, pikiranku berantakan. Aku sangat merindukan teman-teman seperjuanganku, karena ucapan Lin Chen benar-benar membuatku ketakutan.
Apa maksudnya... setengah Guruku berada di desa dalam?
Dengan pikiran ini, aku tak lagi bisa mengendalikan gejolak perasaanku. Aku berlari keluar dari tanah lapang itu, tapi bukan menuju desa tempatku tinggal, melainkan ke lokasi terdekat tempat Kak Cheng Qing berada!
Syukurlah itu Kak Cheng Qing, syukurlah Kak Cheng Qing yang tenang berada paling dekat... Secara reflek hanya pikiran ini yang berkecamuk di kepalaku. Lariku begitu kencang hingga angin menderu-deru terus menerpa air mata yang membeku di pipiku... Aku tak ingin menangis, tapi sudah tak bisa dikendalikan. Bukankah manusia memang takkan bisa mengontrolnya?
Ini sama sekali bukan sekadar mencari Guruku, tapi... melambangkan kerinduan dan pencarian selama bertahun-tahun sejak kepergiannya, segala gejolak perasaan, takdir kehidupan, orang maupun peristiwa... Semuanya meledak, membuat air mata tak terbendung lagi.
Hehe, setengah Guru di desa dalam!
