“Malam itu, Nenek Ling Qing tidur nyenyak di tempat tidur kayu yang kusiapkan untuknya. Mungkin air hangat telah menghibur hatinya yang lelah setelah lama mengembara di daerah ini. Ia bahkan mengeluarkan dengkuran halus, bahkan Si Kembang pun mengikuti irama dengkurannya dengan mengepakkan sayapnya, seolah ikut tertidur.”
“Aku duduk di depan perapian, berjaga untuknya, sama sekali tidak mengantuk.”
“Betapa aku ingin menemaninya lebih lama di hari-hari seperti ini. Tapi waktu terus memburuku—orang bermata abu-abu, monster-monster yang merajalela, harapan teman-temanku, Ji Qing yang mati untukku, wajah para sesepuh—semuanya silih berganti di pelupuk mataku hingga akhirnya aku setengah sadar.”
“Dalam kondisi setengah sadar ini, seolah ada suara yang terus kudengar.”
“Chen Cheng Yi, bukankah kau seharusnya sudah datang?”
“Chen Cheng Yi, menujulah ke selatan!”
“Chen Cheng Yi, jangan takut! Menujulah ke selatan, bawa serta nenek itu ke selatan!”
“Siapa?! Dalam kondisi linglung ini, tanpa kusadari seluruh tubuhku basah keringat dingin. Suara itu membekukan, kejam, dan angkuh. Tapi anehnya, ia memahami semua beban pikiranku, mengetahui segala yang terjadi di sini. Apakah benar ada makhluk sehebat itu?”
Tapi aku tetap tak bisa bangun. Dalam keadaan setengah sadar, seolah aku melihat sosok tak jelas berbaju putih yang membelakangi aku dengan kedua tangan di punggung. Bagaimana pun aku berusaha, tak bisa melihat jelas sosok itu. Tinggi atau pendek pun tak bisa kubedakan. Hanya kesan bahwa punggung itu terlihat begitu agung.
Di dasar hatiku tetap tersisa kejernihan. Aku tahu ini mungkin sosok 'dewa' yang dimaksud, juga menyadari kondisiku termasuk jenis mimpi buruk. Tapi aku tak bisa melepaskan diri. Tak kusangka sejak belajar pada Guruku, aku masih mengalami situasi seperti ini - dikendalikan paksa dalam mimpi.
Ini berbeda dengan kejadian di pesawat saat orang aneh itu memasuki mimpiku. Waktu itu jarak begitu dekat, dengan energi spiritualnya yang kuat, dia mudah mempengaruhi bahkan menghipnosisku... Tapi dari jarak sejauh ini, mampu memahami segalanya, mempengaruhiku, dan aku tak bisa melepaskan diri - sungguh di luar bayangan.
Tapi sosok itu tiba-tiba mengeluarkan suara terkejut, "Hah?"
Tiba-tiba muncul kekuatan tak dikenal yang langsung menyentuh hatiku. Seperti mesin besar yang mendengung, menghasilkan tenaga dahsyat yang membuatku tersadar seketika.
Baru kusadari keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhku. Pakaian basah menempel membuat tak nyaman... Tapi dengkuran lembut Nenek Ling Qing tanpa alasan memberiku ketenangan hati, membuatku segera tenang.
Aku reflek merogoh sebatang rokok. Rasa rokok yang terendam air memang aneh, tapi aku tak peduli lagi.
Mimpi buruk ini tak bisa dibilang baik atau buruk, tapi tanpa sengaja telah memberiku sedikit petunjuk arah.
Sepertinya dewa itu benar-benar memperhatikan apakah aku akan mencarinya atau tidak? Lagipula, dengan kemampuannya, mengapa harus menunggu kami datang sendiri? Dengan banyaknya 'pemangsa' di sini, pasti dia tak mau 'persembahan' yang dikirimnya dengan susah payah direbut oleh yang tak beradat. Lalu mengapa dia tidak datang langsung untuk 'mengawal'?
Selain itu, dia juga tidak berbohong. Katanya aman, dan perjalanan ke selatan memang benar-benar aman. Bukan karena aku percaya padanya, tapi aku benar-benar merasakan perhatian khusus darinya!
Mungkinkah karena semua praktisi spiritual dicegat oleh orang bermata abu-abu? Makanya dia begitu memperhatikanku?
Aku tak mengerti, tapi saat api rokok hampir menjilat ujung filter, aku melirik Nenek Ling Qing dan diam-diam membuat keputusan di hati.
※※※
Ketika jarum jam menunjukkan pukul 10 pagi, Nenek Ling Qing akhirnya menguap puas. Tidurnya tampak nyenyak, rupanya membiarkannya tertidur tanpa dibangunkan adalah keputusan yang tepat.
Semalaman aku mungkin hanya tidur sebentar, tapi kondisi fisikku masih lumayan. Mungkin aku belum beradaptasi dengan ketiadaan siang-malam yang jelas di sini, makanya susah tidur nyenyak.
Meski sulit mengungkapkannya, dengan susah payah aku menyampaikan maksudku pada Nenek Ling Qing: aku ingin menyeberanginya bersama dia, lalu terus berjalan ke selatan.
Aku tak memberitahunya tentang pencarian "pikiran" yang dimaksud, karena bagaimanapun juga dia tak akan paham... Namun setelah selesai berbicara, kulihat dia mundur terkejut, tatapannya memancarkan rasa takut dan kesakitan yang luar biasa.
Entah mengapa, ekspresinya membuat hatiku sedih. Siapa tahu penderitaan seperti apa yang harus dialaminya hingga menunjukkan ketakutan sebesar ini? Lalu bagaimana dengan Guruku? Para sesepuh lainnya? Sebut saja Hui Dàye dan yang lain?
"Bagaimana kalau kau tak ikut? Tinggallah di sini, dengarkan aku, jangan ke mana-mana. Aku akan menyiapkan banyak daging panggang untukmu?" tanyaku hati-hati. Di hadapan kesedihan ini, aku mengakui diriku tak berprinsip - tak tega memaksa Nenek Ling Qing menghadapi ketakutannya.
Meski pertemuan kembali ini membuatku tak ingin membiarkan para sesepuh menjauh sejengkal pun dariku.
Tapi di luar dugaan, dia terus menarik ujung kain bajuku sambil menggelengkan kepala tak ingin aku pergi. Perlahan dia berusaha menahan ketakutannya dengan susah payah, bersikeras ingin mengikutiku.
Kumerdengkus. Dunia fana benar-benar sebuah siklus reinkarnasi. Dahulu, kami pun ingin menggamit ujung kain baju para sesepuh, menyatakan ingin mengikuti meski ketakutan. Bedanya, kami tak punya kesempatan itu. Kini setelah merasakan derita ini, kuputuskan: jika dia ingin ikut, maka harus kubawa serta.
Karena sudah diputuskan begitu, aku mematahkan sebuah pohon kecil, dengan keteguhan membuat Nenek Ling Qing tergeletak di atasnya. Lalu aku turun ke air, mendorongnya perlahan menyebrangi sungai.
Seberapa mengerikannya monster di sungai itu, aku tahu betul... Adegan ketika Ji Qing hampir ditelan kemarin, tak mungkin kulupakan. Di dalam air, harus kukakui seluruh sarafku tegang, mataku terus memantau sekeliling, khawatir muncul situasi seperti kemarin dimana monster air raksasa mengikutiku diam-diam tanpa kusadari.
Tapi di luar dugaanku, permukaan kali yang tenang sama sekali tak mengalami kejadian tak terduga. Bahkan ular air rendahan yang seharusnya ada pun tak muncul... Sampai aku berhasil membawa Nenek Ling Qing merangkak naik ke tepi, aku masih linglung: Apakah ini nyata?
Hutan lebat di sini tak berbeda dengan di seberang. Sama-sama dipenuhi semak-semak lebat, daun-daun berguguran, dan bebatuan tajam yang aneh.
Justru karena terlalu mirip, ditambah tak ada matahari, sangat mudah tersesat di sini. Nenek Ling Qing yang di hutan seberang begitu spiritual, kini di hutan ini menjadi ragu-ragu. Seringkali terpaksa kubawa di punggung.
Sebenarnya, dulu aku pernah tinggal cukup lama di hutan tua timur laut, waktu itu juga belajar sedikit cara menentukan arah. Tapi di ruang dimensi aneh ini, aku tidak tahu apakah itu masih berguna? Jadi, setelah satu jam masuk ke hutan, hampir tidak ada jarak yang kutetapkan karena takut tersesat di hutan lebat yang mengerikan ini.
Tapi tempat apa ini? Ini adalah Teluk Hantu... Hal tak terduga apa lagi yang tidak mungkin terjadi? Jadi, ketika suara tanpa alasan jelas kembali terdengar samar-samar di telingaku memberi petunjuk arah, jantungku sudah benar-benar mati rasa.
Dengan reflek aku mengikuti suara itu melanjutkan perjalanan. Aku tahu itu lagi-lagi si Pikiran, dia sedang tak sabar menuntunku untuk menemuinya.
Anehnya, aku masih bisa menghadapi ketidakpuasannya dengan cara yang ajaib. Misalnya saat melihat tulang di jalan, dari ciri-ciri dan pakaiannya, aku yakin itu adalah tulang rekan praktisi spiritual... Kalau melihat tapi tidak menguburkan, itu memang terlalu dingin. Jadi aku berhenti untuk memastikan mereka tidak terbaring telantar di alam liar.
Meski hanya tinggal kerangka, aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan.
Setiap kali seperti ini, selalu kudengar suara desahan dingin yang sengaja menusuk otakku sampai perih... Total aku menemukan 2 kerangka. Saat yang kedua, dengan keras kepala aku memilih melawan, meski merasa seperti telur menghantam batu.
Tapi anehnya, si Dewa itu sama sekali tidak makin mendesak, malah membiarkanku.
Dengan petunjuk tanpa alasan jelas ini, kami berangkat pukul 10 pagi dan terus berjalan kaki selama 7 jam di hutan lebat ini. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 5 sore,
Sepertinya aku melihat pinggiran hutan lebat. Apakah ini berarti kita sudah sampai?
