Tapi teriakanku sia-sia. Kali ini, pria ini sama sekali tidak menggunakan tekanan mental. Dengan lambaian tangan, awan hitam langsung menyelimuti rumpun bambu. Kilat menyambar, petir dahsyat mengambang di antara awan, terkumpul membentuk bola petir yang bergulir...
Aku sama sekali tidak meragukan kekuatan petir ini. Ia bisa membunuh seseorang dengan sangat kejam!
Jurus ini pernah kulihat Wu Tian gunakan. Menggerakkan tangan, ritual memanggil petir... Saat pria ini menggunakannya, kekuatannya jauh lebih mengejutkan dibanding Wu Tian.
Saat itu entah kenapa dadaku tiba-tiba sesak. Para sesepuh ahli terus menyakiti generasi muda? Guru leluhur, di manakah engkau? Dulu, bukankah kau juga seanggun ini? Guruku, dulu kau bisa memanggil petir surgawi dengan santai dalam canda tawa...
'Gemuruh!' Semburan petir raksasa menghujam tanpa ampun... Pikiran dingin itu kembali mendesah sinis... Di mataku, wajah Nenek Ling Qing yang panik, ketakutan, dan tak berdaya membesar tak terkira.
Benarkah ini akhirku, Chen Cheng Yi? Aku tiba-tiba tersenyum, mungkin senyum itu tampak getir.
Ritual pemanggil petir seperti ini biasanya tidak bisa diubah arahnya. Target yang sudah ditetapkan pasti akan menjadi sasaran petir.
"Namun, tak ada yang mutlak di dunia ini. Praktisi spiritual yang bisa memanggil petir, tentu juga punya kemampuan memaksa mengubah titik jatuh petir... contohnya... menggunakan kekuatan roh sendiri untuk memaksa menyambut kilat."
Pada saat itu, tanpa ragu kulakukan... melepaskan kekuatan rohku, lalu memusatkan pikiran dalam dunia Konsentrasi Pikiran, membungkus petir itu... Saat kekuatan dan petir bertabrakan, kurasakan seluruh rohku kebas dan nyeri.
Tapi kutahan siksaan itu, kudorong Nenek Ling Qing dengan kasar, berteriak histeris: "Ke sini!"
"Bangsat kau!" Tak kusangka sang dewa yang angkuh pun panik dan berubah wajah dalam sekejap... Ritual kilat ini hanya bisa diubah titik jatuhnya dengan menjadikan diri sendiri sebagai media, sama sekali tak disangkanya akan kulakukan.
Aku senang, dalam linglungku kusadari mungkin aku agak penting baginya. Bukankah menghantamnya seperti ini suatu kepuasan?
Yang terpenting, Nenek Ling Qing selamat... Ia menoleh, saat itu kulihat matanya berkaca-kaca... Jika bertemu yang lain nanti, tolong sampaikan maafku.
Jika bertemu Ruxue, bisakah banyak pesan kusampaikan? Tidak, andai hanya beberapa kata: "Kusukai diamu, seolah kau tak berada di dunia fana ini. Kau mendengarku dari jauh, tapi suaraku tak sampai... Saat itu, satu kata, senyuman tipis, sudah cukup."
Puisi cinta yang pernah kita baca bersama, kini menjadi segala perasaan yang ada.
‘Sungguh baik’ Guruku dan yang lain sudah ada kabar, aku tak perlu terus khawatir. Apakah mereka semua akan datang?
Saat petir menyambar, pikiranku kacau. Tapi aku merasa lega, dalam jebakan maut ini, menghadapi kematian, aku malah tersenyum.
‘Gemuruh!’ Petir raksasa itu menyambar tanpa ampun. Saat itu, hampir tak ada rasa sakit. Rohku langsung melayang keluar dari tubuh... Seolah ada sensasi lain, tapi kekuatan mencekam itu membuat seluruh tubuhku mati rasa, lalu tiba-tiba pingsan.
Di antara makian si dewa, terdengar suara Nenek Ling Qing yang samar memanggil ‘Cheng Yi’.
※※※
Dalam kabut tak berujung, aku bangun... Membuka mata, berbaring tenang, mengamati tempat perlindungan jiwaku dengan pikiran yang damai.
Di sini tak ada langit, tak ada bumi, tak ada batas... Inikah Kekacauan – awal mula dunia dalam legenda?
Jadi setelah mati, kita datang ke dunia kacau ini? Perlahan aku berdiri. Kematian memutus dendam, menghilangkan sebagian jodoh duniawi. Sekarang harusnya aku menerima dengan ikhlas.
"Aku berjalan perlahan di tengah kabut ini, perasaan yang tadinya tenang tiba-tiba menjadi rumit. Jika aku terus melangkah sampai ujung jalan, itu berarti kehidupan baruku sebagai Chen Cheng Yi akan dimulai. Tapi aku masih ingin mengingat beberapa orang."
"Siapa yang harus kuingat... Bayangan wajah-wajah terus bermunculan di benakku, sepertinya aku tak rela melupakan siapapun."
"Sambil berjalan dalam kabut, perasaan sedih tiba-tiba menyergap... Apakah di sini benar-benar tak ada orang? Tak ada pemandangan apapun? Dalam kesedihan ini, hatiku mulai kalut."
"Lebih baik aku masuk neraka daripada merasakan kesepian abadi yang bisu ini! Setidaknya penjaga neraka berkepala sapi dan berwajah kuda terlihat ramah saat ini... Pikiranku mulai melayang tak karuan."
"Bodoh..." Saat hatiku sedang resah, terdengar suara yang seakan mengguncang seluruh dunia kacau-balau ini.
Bodoh? Siapa yang bodoh? Aku? Mengapa suara ini terdengar sangat familiar!
"Bodoh..." Terdengar lagi teriakan serupa!
Kali ini kukenali, suara itu jelas-jelas... suara guru leluhurku!
Tapi bukankah aku sudah mati? Apakah guru leluhurku mencariku sampai ke dunia kacau ini? Pikiran ini membuat jiwaku bergejolak, bagai disuntik stimulan, membuatku mulai mencari sumber suara sambil berlari seperti orang gila ke arah tersebut.
“Berhenti, lihat ke atas...” Seolah ada koneksi khusus dengan setiap gerak-gerikku, suara Guru leluhur membimbingku.
Aku sepertinya tidak merasa lelah, berlari dengan kecepatan seperti ini pun tidak ada rasa kelelahan. Begitu Guru leluhur berkata, aku langsung menghentikan langkah, lalu menengadah ke arah kabut pekat di atas.
Di atas masih kabut yang pekat, namun seiring jarak pandang yang kujelajahi semakin jauh, aku seperti melihat sebuah puncak yang menjulang di balik kabut samar-samar.
Puncak itu tidak tinggi, tapi karena kemunculannya yang tiba-tiba di dunia kacau ini, berdiri sendirian, menciptakan kesan gunung megah yang tak terjangkau secara psikologis... Aku terpana memandang puncak ini, dengan reflek berjalan perlahan ke arahnya, karena kulihat di atas puncak itu seolah ada seseorang berdiri tegak di sana.
Dunia kacau ini hening, suara Guru leluhur tidak lagi membimbingku, membiarkanku mendekati puncak itu... Akhirnya, setelah mencapai jarak tertentu, aku berhenti.
Puncak itu di mataku adalah sebongkah batu keras raksasa, mustahil bagiku untuk memanjatnya. Lebih baik berdiri tenang di kaki puncak ini, karena aku sudah melihat siluet Guru leluhur.
Saat ini dia mengenakan Hanfu Tiongkok hitam, kedua tangan terlipat di punggung, ujung jubah berkibar-kibar, menyatu dengan alam semesta, memancarkan keluwesan dan kebebasan yang tak terucapkan... Begitu saja dia berdiri di puncak itu, memandangku dengan tenang.
Bentuk tubuhnya tampak buram, ekspresi wajahnya tidak bisa kulihat jelas, namun kurasakan kelelahan dan kelemahan yang menyelimutinya...
“Guru leluhur, apakah aku sudah mati. Mengkhianati semua jebakan yang kau siapkan dengan susah payah, aku tak bisa menyelesaikannya.” Suaraku berat saat bicara, hati dipenuhi penyesalan. Chen Cheng Yi memang selalu egois, tapi jika tak menyelamatkan Nenek Ling Qing, itu pun bukan Chen Cheng Yi.
“Karena kau si bodoh, ikutilah arah kebodohan hatimu. Andai kau tak menyelamatkan, untuk apa kau disebut Chen Cheng Yi, cucu murid Lao Li, murid Lichun?” Suara Guru leluhur tak mengandung kemarahan, hanya ketenangan seolah yang kulakukan di antara langit dan bumi ini adalah hal yang wajar.
Hatiku tiba-tiba menjadi tenang mengikuti suara Guru leluhur. Benar, memang begitu. Jika tak tegak sendiri, bagaimana bisa berdiri di hati orang? Dan ketegakan ini adalah pembentukan jati diri!
“Lagi pula... siapa bilang kau mati? Cucu murid Lao Li semudah itu mati?” Suara Guru leluhur kembali terdengar, sementara aku tertegun. Aku tidak mati? Kilatan petir sebesar itu, aku tetap hidup?
Lalu di manakah aku sekarang?
“Aku akan mewariskan ilmu. Saatnya nanti, kau akan berjuang bersama Lichun... bertarung!”
Apa? Seolah kekagumanku belum cukup, Guru leluhur kembali mengucapkan kalimat yang membuatku terpana. Ia akan mewariskan ilmu, lalu aku akan bertarung berdampingan dengan guruku?
Guru leluhur tak pernah berbohong. Artinya, aku akan segera bertemu guruku?
