Di sini, ekspresi wajah semua orang tanpa alasan jelas menjadi khidmat, termasuk si pikiran itu.
Di atas tandu, aku terlihat sangat lemah dengan wajah pucat pasi. Tapi sebenarnya, getaran di hatiku tak terucapkan.
Semua ini karena langit di atas platform raksasa itu... Di ruang bernama Teluk Hantu ini, daerah pinggiran tak mengenal malam. Di tempat persemayaman pikiran, kulihat malam hari. Tapi langit di atas platform raksasa ini menampilkan pemandangan yang takkan kulupakan seumur hidup.
Dalam kepungan biru kelam yang sunyi, di balik kabut yang berlapis-lapis, cakrawala mulai bersilangan di tepi platform... Di sebelah sana, warna biru yang berlapis-lapis itu secara bertahap semakin gelap. Dalam perubahan halus yang tak tertangkap mata, ia menjelma menjadi biru pekat langit malam.
Di atas platform adalah hamparan langit malam, bintang-bintang berkelap-kelip. Di dunia luar, aku tak pernah melihat bintang sebesar ini - gemerlap kilauan pelangi, seolah bergulir-gulir... Energi kosmik dari alam semesta yang tak diketahui, saling bersilangan seperti sungai yang tenang namun perkasa mengalir. Dengan memejamkan mata, seakan kekuatan ini bisa membungkusku.
Pemandangan ini mengingatkanku pada Pertarungan Ilmu saat pertama kali tiba di Teluk Hantu. Efek sihir yang luar biasa kuat dan ritual yang berjalan lancar selalu menjadi teka-teki bagiku. Kini, melihat langit malam misterius dengan aliran energi ini, tiba-tiba aku mengerti penyebabnya.
Sebenarnya di manakah tempat ini? Pertanyaan ini terus mengitari pikiranku. Sayangnya ini adalah konsekuensi yang ditinggalkan Alam Semesta, kurasa bahkan "pikiran" yang disebut-sebut itu pun tak bisa menjawab.
Semua orang dengan ekspresi khidmat mulai menaiki tangga selangkah demi selangkah. Awalnya aku tenggelam dalam pesona langit malam itu, tapi seiring naiknya mereka dengan perlahan, dorongan ingin menangis tiba-tiba menyergap.
Mengapa ingin menangis? Hatiku tak punya jawaban. Hanya karena kesedihan saat itu telah menerpa hempasan semua cara berpikirku, sama sekali tak bisa kurenungkan.
Saat ini, air mata yang mengalir di wajah terasa seperti hal paling alamiah di Alam Semesta. Ketika mereka akhirnya mengangkatku berdiri di platform, tanpa kusadari pipiku telah basah oleh air mata yang mengalir deras.
Saat berdiri, akhirnya aku mengerti dari mana kesedihan itu berasal. Di sini aku merasakan bau yang familiar... bau familiar yang sebenarnya tidak ada, namun suara yang terus memanggil di telinga - San Wa'er, Cheng Yi... Cheng Yi, San Wa'er... Aku paham apa yang terjadi. Di sini indera spiritualku yang sejak lahir istimewa juga diperbesar tanpa batas.
Aku merasakan keberadaan Guruku!
Hari itu, di bawah sinar matahari, pandangan Guruku yang menoleh ke belakang, kupikir itu adalah perpisahan abadi... Sebenarnya aku tidak yakin, hanya terus menghibur diri dalam pencarian.
Sekarang, apakah akhirnya aku mendekatimu?
Tiba-tiba aku ingin membungkuk, merendahkan tubuh, menempel lembut pada platform ini, merasakan di bawah altar upacara ini tempat Guruku berada!
"Kau sebenarnya tak perlu takut sampai seperti ini." Suara dewata kali ini terdengar agak sembrono, tertawa puas yang sembrono.
Jika dia mengira ini ketakutan, mungkin bukan hal buruk. Aku mengusap air mata di wajah dengan tangan. Mungkin ekspresiku saat ini berusaha tampil tidak takut, namun sebenarnya ketakutan itu telah meresap hingga ke tulang sumsum?
Baru sekarang kulihat di atas platform ini, seperti platform di Desa Suci luar Teluk Hantu, terukir formasi rumit. Perbedaannya, jika dibandingkan, platform Desa Suci itu seperti anak kecil yang baru belajar beberapa jurus, sedangkan yang ini bagai jagoan bela diri yang berdiri di puncak kejayaan.
Alasan aku memiliki kontras yang begitu kuat adalah karena formasi yang rumit itu, hanya dengan melihat sekilas, aku tiba-tiba merasakan pusing.
Si Kakek tahu aku sedang mengamati formasi ini, dengan tatapan mengejek ia menggoyangkan tubuhku yang limbung, matanya memancarkan kesombongan. Tiba-tiba ia berkata padaku: "Kau tahu tidak, formasi ini bahkan di Kunlun pun termasuk yang paling tinggi tingkatannya? Aku merekonstruksinya di tempat khusus ini, tahukah kau betapa mulianya pencapaian ini?"
Tanpa alasan jelas ia mulai membanggakan diri. Bukankah ini seharusnya menjadi tugas Guruku? Mungkin... alisku berkerut, apakah ini sudah dimulai?
Namun akhirnya aku bisa tetap tenang. Di atas platform terdapat altar upacara persegi dengan tangga rendah di sekelilingnya. Melihatnya, aku langsung tahu: inilah tempat perlindungan terakhir Guruku dan yang lain.
Si Kakek tiba-tiba menjadi histeris. Tatapannya tidak tertuju pada siapa pun, melainkan pada altar itu. Tak jelas apa yang gumamnya, namun yang kudengar jelas adalah: "Akhirnya aku akan merdeka, dunia ini harus diruntuhkan..."
Saat itu kurasakan kekuatan mulai menggelegak pelan-pelan, seperti sungai yang tadinya tenang tiba-tiba meluap deras akibat angin topan, meledak-ledak...
Menyaksikan perubahan ini, Si Kakek semakin histeris. Ia menyergapku, matanya berapi-api: "Kau tak perlu takut. Pada akhirnya kau akan bersamaku mencapai puncak kejayaan!"
Kami berdua mengenakan jubah putih yang sama, saat ini karena kekuatan yang tiba-tiba meledak, angin kencang berhembus liar di platform... menerbangkan ujung jubah kami, berjalan bersamamu menuju puncak kejayaan? Atau akhirnya salah satu dari kita pasti musnah? Hati ku mulai heboh, namun ekspresi wajah tetap tenang.
Di bawah platform, sekumpulan orang berbaju hijau pekat naik perlahan, angin kencang pun menerbangkan ujung jubah mereka.
Aku langsung bisa mengenali aura dari orang-orang ini, mereka praktisi spiritual... masing-masing tidak lemah, tapi juga tidak terlalu kuat, setidaknya tidak sebanding dengan orang-orang di sekitar Wu Tian, entah apa maksud Shen menyimpan mereka disini?
"Pasang mulai naik." Tiba-tiba Shen mengucapkan kalimat ini. Begitu ucapannya selesai, kurasakan energi alam semesta yang bergejolak di platform ini, aura menggila seketika, seolah mendengar riak ombak menghantam tepian, 'Wah!' suara itu langsung melesat ke puncak.
Bahkan hembusan napas pun bisa merasakan energi alam semesta ini, maka seorang biasa pun di sini, asal tahu mantra ritual dan segel tangan, bisa menggunakan sihir, bahkan tanpa Konsentrasi Pikiran!
Ruang dimensi yang begitu unik, keberadaan yang begitu hebat...
Shen saat ini sedang bersemangat luar biasa, menarik tanganku mulai berjalan ke altar upacara. Dengan tenang kulepaskan tarikannya, berbisik: "Aku akan naik sendiri."
"Pikiran" memandangku dengan heran, lalu tertawa lepas penuh pengertian. "Taoist busuk, sampai akhir masih suka pamer kecakapan spiritual. Menganggap diri telah memahami Tao, tapi hidupnya malah terbelenggu. Silakan berbuat semaumu."
Dia sama sekali tidak takut aku masih bisa membuat kejutan di saat-saat terakhir ini. Rona pucat kelelahan ekstrim di wajahku mustahil bisa dipalsukan di matanya.
Dengan luwes, dia menyatukan tangan di belakang punggung dan melangkah ke depan. Aku mengikuti langkahnya setapak demi setapak dari belakang.
Saat menginjak tangga, jubah putihnya berkibar ditiup angin. Aura energi perkasa yang awalnya tertahan akhirnya menyebar liar memenuhi seluruh platform altar.
Di belakangnya, jubah putihku juga berkibar tertiup angin. Namun yang kurasakan justru detak jantung paling akrab yang terus berdebar di bawah altar upacara ini.
Waktu seakan kehilangan makna. Dalam kontemplasi masing-masing, akhirnya kami tiba di atas altar upacara.
Ruang altar seluas kurang dari 20 meter persegi itu benar-benar kosong. Hanya aku dan "Pikiran" itu yang berdiri di sana.
Meski sudah mendapat gambaran sebelumnya dari Lin Xiaohua, kehadiranku di altar ini justru membuat deskripsinya terasa semakin nyata.
"Di sini semuanya sangat sederhana. Hanya ada 9 garis formasi, tapi itulah pola terpenting." Ekspresi Lin Xiaohua saat mengatakan itu masih jelas kuingat - memiringkan kepala dengan wajah penuh kebingungan polos.
"Jangan tanya aku, kenapa hanya ada 9 garis? Menurutmu aku seperti orang yang tahu banyak?" Dia berkata, "9 formasi ini tidak bisa digambar sembarang orang. Hanya kekuatan alam semesta yang bisa membentuknya secara alami. Mengerti?" Lin Xiaohua menyeret dagunya, matanya berkedip-kedip tanpa henti.
Heh, wanita ini... Senyum tipis tak sengaja muncul di wajahku. Tatapanku kembali tertuju pada formasi-formasi itu, tapi tak lagi menemukan emosi apapun. Karena napas kuno penuh kenangan dari alam semesta telah sepenuhnya menerpa diriku.
Di altar upacara yang tidak terlalu besar ini, aku justru merasakan betapa kecilnya diriku.
Perasaan yang diberikan altar ini, mengingatkanku pada Batu Tapal Batas itu... Batu yang berdiri tegak di Danau Seribu Hantu!
"Momen ini akhirnya kutunggu." Si Kakek yang awalnya menyilangkan tangan sambil memandang langit malam, kini menghela napas dan menoleh padaku sambil berbicara perlahan.
Ekspresi wajahku tenang, seolah telah pasrah. Tapi dalam hati aku berpikir: Dua ikan itu akhirnya masuk ke jebakan masing-masing. Pertarungan jarak dekat ini dimulai dari detik ini juga?
Aku pun tak bisa menahan helaan napas panjang. Melepaskan diri dari aroma kuno itu, aku tahu pertarungan berikutnya akan terjadi - pertarungan kekuatan yang tidak seimbang. Takdir yang tak terhindarkan...
