Jika sebelumnya atmosfer antara aku dan Si Kakek masih terasa harmonis secara aneh, maka sejak dia bilang telah menunggu momen itu, sepercik api tabrakan mulai tercipta di antara kami.
Hampir bersamaan, kami mulai membentuk segel tangan.
Aku menunjukkan ketegangan di wajah, sedangkan Si Kakek terlihat santai dengan sedikit 'penghinaan'.
Kekuatan alam semesta di sini begitu melimpah, satu-satunya tempat yang membuatku merasa nyaman. Pertarungan ilmu di sini tidak memerlukan teknik lima unsur yang rumit, melainkan tabrakan langsung dan mengenaskan antara kekuatan jiwa dan energi spiritual - persis seperti pertempuran besar kami melawan Pathel di kolam dalam itu.
Aku yakin bisa menang... Saat itu, kurasakan kekuatanku menggelegak. Hampir bisa kubayangkan kekuatanku berubah menjadi pedang tajam yang bertarung sengit di udara melawan Si Kakek... Menang atau kalah, setidaknya itu pertarungan heroik yang layak untuk seorang pria.
Tapi aku bahkan tak sempat bertarung dengannya. Kekuatannya tiba-tiba berubah menjadi 'tirusan' yang menusuk jiwaku, memaku rohku... Kekuatan jiwaku yang semula mengalir deras seperti sungai hendak bertabrakan langsung... Tiba-tiba terhalang karang yang membuat alirannya terhenti.
Energi yang tersumbat dan membengkak seketika membuat jiwaku seperti balon yang mengembang, menciptakan penderitaan tak tertahankan.
Ketidaknyamanan ini langsung bereaksi pada tubuhku. Wajahku memerah membara, urat-urat di leher menonjol. Saat itu aku menyadari harapan kemenangan telah sirna. Jika aku tetap memaksakan segel tangan dan mengkonsolidasi kekuatan jiwa, rohku akan meledak...
Satu-satunya pilihanku adalah menarik kembali jurusnya secara paksa. Dalam puncak penderitaan, aku tiba-tiba menghentikan segel tangan. Karena situasi yang sangat memalukan, penarikan jurus dilakukan terburu-buru. Saat kekuatan jiwa menyusut, darah segar memancar dari mulutku, mencipratkan bercak-bercak di ujung jubah putihku yang terlihat mengerikan.
Berbeda dengan keterpurukanku, Sang Pikiran tampak begitu anggun. Satu tangan diselipkan di punggung, tangan lainnya diangkat elegan melewati kepala. Aku tak tahu jurus pembuka apa yang dilakukannya. Hanya melihat gerakan jemarinya menari, mengalirkan kekuatan bagai melodi yang berloncatan. Pada klimaksnya, terkumpullah tusukan-tusukan runcing yang semua ujungnya menghadap ke arahku...
Harus kuakui, ritual ini sangat brilian. Bukan sekadar tabrakan kasar seperti penggunaan kekuatan jiwa Pathel. Kekuatannya secara presisi mengunci titik-titik jiwaku, menekan tenaga dalamku. Inilah jurus pamungkas sejati ritual ini.
Presisi supernatural ini mensyaratkan pemahaman mendalam baik tentang tenaga dalam maupun hakikat jiwa. Tanpa pondasi yang kuat mustahil untuk mencapainya.
Esensi roh adalah keberadaan abstrak yang tak terdefinisikan, tidak seperti tubuh yang memiliki tujuan jelas.
Selain itu, pemadatan kekuatan mencapai tingkat yang membuat orang menengadah. Bagaimana mungkin paku runcing hasil konsolidasi kekuatan bisa menghalangi aliran kekuatan jiwaku yang deras? Ini membuktikan kekuatan yang terpadatkan dalam paku itu luar biasa, begitu pula penguasaannya terhadap energi...
Pikiran benar-benar mengerikan. Kesenjangan mengejutkan antara kami terlihat jelas dari paku runcing yang dikonsolidasikannya - bukan trik, murni perbedaan kekuatan langsung... Lihatlah, dia masih terus mengonsolidasikan paku demi paku.
Menyaksikan kegagalanku, meski masih menggunakan kekuatan sihir, senyum tipis mengembang di wajahnya seolah mengejek: "Berani sekali kau melawanku?"
Aku hanya menghela napas getir. Apakah pertarungan frontal ini benar seperti telur menghantam batu?
Tapi pikiran tak mengenal belas kasihan. Keseimbangan kemenangan yang telah miring tak membuatnya lengah. Gerakan jarinya semakin cepat tanpa bayangan sisa, seolah bergerak diam-diam, jauh lebih cepat dibanding aksinya di rumpun bambu kala itu.
Darah segar di sudut bibirku masih menetes, ketika kulihat tangannya tiba-tiba mengepal. Runcing-runcing energi yang terkonsolidasi menusuk tanpa ampun ke arahku... Tak ada rasa sakit yang dahsyat, satu-satunya kesakitan hanyalah saat duri-duri itu menyelusup ke dalam rohku.
Yang menyiksa hanyalah sensasi roh ini terkunci. Di setiap titik nodal rohku, dari ujung kepala hingga kaki, Si Pikiran mengunci semuanya tanpa belas kasihan.
Ini lebih hebat daripada cara Wu Tian mengikatku dengan simpul. Aku seperti terbeku di altar upacara, tak bisa bergerak sedikitpun. Jujur, bahkan kebebasan untuk terjatuh pun tak kumiliki.
Tapi ini bukan akhir. Si Pikiran memandangku dari tempat tinggi. Duri terakhir, meski yang terkecil, nyaris berwujud fisik, menderu pecah udara sebelum menusuk dantianku tanpa ragu.
Ini adalah luka metafisik. Tak ada jejak luka fisik, bahkan darah pun tak keluar. Tapi kurasakan kehancuran di pusat kekuatanku - tekanan yang begitu dalam. Saat ini, kekuatan jiwaku bahkan energi biasa pun tak bisa kugunakan.
Wajah Si Pikiran memerah sedikit setelah menyelesaikan ritual ini. Kutatap dia. Kuyakin kemerahan ini bukan karena kelelahan, melainkan... upayanya menahan diri sendiri.
Hehe, permainan catur yang diatur.
Tapi, Shen sepertinya tak menghiraukan tatapanku. Ekspresinya saat ini justru terlihat sangat santai yang belum pernah kulihat sebelumnya. Alisnya terangkat ringan sambil menatapku, "Chen Cheng Yi, aku bahkan tak ingin bertanya keberanian macam apa yang kau punya untuk melawanku. Karena bahkan ikan yang hendak mati pun akan menggelepar dua kali. Yang tak kusangka, kau masih menyimpan kekuatan seperti ini. Kukira kau sudah sangat lemah."
Aku tak bisa bicara, hanya menatap Shen dengan mata penuh kebencian. Bukan karena tak mau bicara, tapi jiwaku telah dipaku olehnya. Bahkan untuk bersuara pun tak bisa.
Dia pun tampaknya tak ingin mendengar pembelaanku. Terus berbicara sendiri, "Pasti diajarkan oleh Lin Xiaohua yang penuh akal licik itu, ya? Sayangnya, kau terlalu bodoh. Menyimpan kekuatan ini bukan untuk serangan pamungkas. Dia hanya ingin menggagalkan rencanaku. Tapi tahukah kau...?"
Shen kali ini tersenyum. Aku belum pernah melihat senyumannya seperti ini - mata berkerut kecil, benar-benar terlihat bahagia. Gigi putihnya berkilat saat berkata, "Dia tak tega meninggalkanku. Dia adalah wanitaku. Pada akhirnya... dia tak bisa membiarkanmu menyakitiku sepenuhnya."
Pikiranku kacau balau. Penyebab kekacauan ini karena Lin Xiaohua sama sekali tak pernah menceritakan hubungannya dengan Shen. Yang kuketahui hanya dia mengikuti seseorang yang terus-menerus mengejar kematian. Tak kusangka Shen akan mengungkapkan kata-kata seperti ini.
"Lin Xiaohua ini... sebenarnya, jika dikatakan Pikiran menganggapnya sebagai wanita miliknya, aku sama sekali tidak heran. Karena saat ini, saat aku mengingat-ingat setiap gerak-geriknya, semua kerlingan mata dan ekspresinya benar-benar mempersonifikasikan arti sebenarnya dari kualitas memesona seorang wanita."
Aku menarik napas perlahan, aku tahu sebenarnya tak ada jalan mundur, aku hanya bisa percaya.
Karena di bawah altar upacara, Guruku dan yang lain masih ada. Hanya alasan ini saja, sudah cukup membuatku rela mempertaruhkan segalanya.
Setelah mengucapkan ini, ekspresi Si Pikiran terlihat kecewa. Entah teringat apa, ia mondar-mandir di atas altar upacara, lalu berkata dengan gelisah: "Sudahlah, untuk apa aku bicara ini denganmu? Tak lama lagi, sepuluh menit? Kau akan tahu segalanya."
"Kau, yang perlu kuwaspadai bukanlah orang lemah sepertimu. Selama ini selalu perempuan itu, Lin Xiaohua." Saat ini, patung dewa itu terlihat benar-benar histeris. Langkahnya di atas altar semakin cepat, seolah tanpa gerakan ini ia tak bisa melampiaskan gejolak dalam hatinya.
Aku diam, menatap dengan tenang. Sepuluh menit?
Kalau begitu... sebentar lagi!
"Perempuan ini benar-benar merepotkan! Yang menyebalkan, mengapa harus seperti ini? Setiap versiku, setiap diriku selalu terpengaruh olehnya." Saat berbicara, Si Pikiran tampak mencapai puncak kemarahan. Langkahnya terhenti mendadak, wajahnya berubah menjadi sangat mengerikan dan berkerut.
"Kupikir dia akan memukuli aku?" Tapi tak disangka, dia tiba-tiba memukul dadanya sendiri hingga memuntahkan darah. Darah itu tercurah di altar upacara, tepat mengisi salah satu formasi energi.
Meski sepenuhnya terkendali, dari warna merah menyala yang berpendar samar, kusadari ini adalah Jingxue milik Yang Ilahi - darah esensial sejati dari jantung.
"Dimulai." Kata Shen sambil menatapku, bibirnya masih basah oleh darah.
Ya, telah dimulai. Entah mengapa, meski sudah tak berdaya, hatiku tetap tak kuasa menahan desahan...
